ALVAROS SKYSCRAPER BUILDING. Jakarta Pusat—Indonesia. 11:00 AM.
Diego duduk di kursi besarnya di ujung meja meeting dengan lengan di topangkan ke permukaan meja. Jemarinya yang panjang dan anggun mengetuk meja dengan berirama. Tatapannya mengintimidasi, membuat suasana di ruangan itu tegang dan kaku. Meskipun kabar pernikahannya yang sebentar lagi akan di selenggarakan sudah tersebar luas ke seluruh dunia, Diego Alavaro memang tidak semenyeramkan dulu, tapi dia tetap bukan orang yang mudah puas.
Alvaro International memiliki gedung-gedung pencakar langit yang tersebar luas di beberapa belahan dunia—ini bukanlah suatu hal yang lumrah mengingat perusahaan itu adalah perusahaan besar—Giant Company yang terkenal. Cabangnya bukan hanya di Eropa dan Amerika, negara-negara Asia juga termasuk—yang di antaranya ada; Jepang, Indonesia, Singapura, Tiongkok, China, Thailand dan Malaysia. Pusat Alvaro International berada di Jerman—tempat dimana perusahaan itu pertama kali didirikan.
Sementara itu Sean Morgan Alvaro tampak duduk di sebelah sang putra. Diego masih berbincang serius dengan Sean—Direktur Alvaro International sekaligus Ayah kandungnya di perusahaan yang telah melesatkan karier Diego—setelah dua orang klien selesai mempresentasikan proyek mereka. Jika Diego menduduki posisi sebagai CEO, maka Sean lah yang menjadi Direktur utamanya. Well, Sean masih memiliki kendali penuh atas perusahaan karena saham yang dia punya melebihi 60%. Tapi itu tidak akan menyulitkan Diego, putranya itu juga tidak lama lagi akan menggantikan dirinya. Sean hanya akan memberikan semua kekuasaannya pada Diego jika putranya itu sudah menikah.
Diego dan Sean mungkin sama-sama tidak habis pikir bagaimana mereka bisa mengatur perusahaan dalam lintasan yang sama. Sifat Ayah-Anak itu bagai bumi dan langit. Sean selalu santai, dan Diego yang selalu serius. Kesamaan diantara mereka, tentu ketampanan dan daya pikatnya yang membuat wanita rela berbaris dan mengejar-ngejar untuk di ajak kencan.
Sebenarnya, hampir satu tahun yang lalu Diego tidak datang ke perusahaannya yang ada di Indonesia—mereka terlalu sibuk untuk mengurusi cabang-cabang perusahaan. Mereka hanya akan mengandalkan orang-orang mereka yang ahli dalam bidang ini. Tapi karena kebetulan akhirnya Diego menyempatkan diri untuk datang langsung menghadiri rapat.
Meeting kembali di lanjutkan. Kali ini seorang pria berumur empat puluh tahunan asal Israel bersetelan hijau gelap berdiri di podium. Pria itu menjelaskan perkembangan bisnis industri permata Alvaro. Hologram 3D yang menampilkan batu-batu permata dengan kualitas tinggi yang di sertai konsep dan harga jual—termasuk desain-desain unik yang mereka janjikan dan rencana-rencana jangka panjang. Peserta rapat memberikan respon beragam, Diego juga mengajukan beberapa pertanyaan.
Dua jam lebih berlalu, Diego mulai gelisah, terus melirik arlojinya. Dia ingin mengajak Irene kencan siang ini. Dia juga sudah menghubungi Irene untuk menunggunya di rumah. Khawatir. Diego tidak mau membuat Irenenya menunggu terlalu lama.
"Dad...."
Pria yang berdiri di podium akhirnya turun, lalu duduk di tempatnya lagi. Kali ini tatapan Sean teralih pada Diego, menatapnya bingung.
"Aku ada urusan dengan—"
"Aku mau kau temui semua calon rekan bisnis potensial kita di Asia Tenggara setelah kau menikah, pergi kesana dan lihat bagaimana cara kerja mereka. Aku hanya tidak ingin kita salah mengambil keputusan hanya karena tawaran keuntungan besar di awal!" Perintah Sean tegas—memotong ucapan Diego.
Helaan napas terdengar.
"Ok, dad! Aku akan meminta sekretarisku mengatur jadwal kunjungan ke Jepang, Singapura dan Thailand. Tapi setelah itu kau harus berjanji padaku." sahut Diego dengan arogansi di wajahnya.
Sean mengangkat alis. "Kau mau apa, Son?"
"Kau tidak boleh menimpakan semua urusan kantor padaku saat aku menikmati hari-hari pertamaku sebagai suami. Can you promise?" ucap Diego sembari menatap Sean serius.
Sean terkekeh sebentar. "Baiklah. Tidak masalah. Aku juga ingin agar Irene selalu ada di dekatmu. Akhir-akhir ini aku melihat musuhmu semakin banyak. Aku jadi khawatir."
"Tenanglah, Dad." tukas Diego, mengepalkan tangan. "Gerak-gerik mereka selalu berada di bawah pengawasanku. Irene-ku tidak akan terluka. Itu janjiku."
Sean menatap Diego. Tersenyum kecil, menyadari tatapan Diego yang dipenuni amarah begitu mengatakannya.
"Tidak peduli apa yang akan ku hadapi. Aku akan tetap bertahan." Mata biru Diego berkilat. "Jika harus meregang nyawa, akan aku lakukan demi Irene."
Sean menghela napas panjang, menutup mata sejenak. Sialan. Semuanya di luar kendali. Perasaannya tidak enak. "Tapi ingat, Son... Kau juga harus perketat penjagaan untuk dirimu sendiri. Kau anakku. Hidupmu terancam. Walaupun musuhmu bukan orang kuat tapi jika tekadnya untuk menyingkirkanmu sangat kuat maka akibatnya bisa fatal. Kau tidak tahu apa yang bisa mereka lakukan."
"Aku akan mengingat nasehatmu." Diego tersenyum dingin—mengingat nuraninya sudah terbakar di ujung neraka. "Aku bahkan tidak sabar merasakan darah mereka di tenggorokanku." ucapnya serak, penuh ancaman.
Sean menggeleng pelan, untuk sejenak dia kehilangan kata-kata. Tapi setelah itu Sean berdiri, memberi perintah untuk mengakhiri rapat dan penutup. Dia menepuk pundak Diego sekilas sebelum melangkah keluar menuju pintu. Diego pun mengekori Sean—cara mereka bergerak seperti singa yang angkuh. Christian dan Dave Petterson—sekretaris Sean mengikuti mereka, terus mendampingi dua orang penting itu sampai ke depan elevator.
"Aku akan ke rumah mertuamu nanti sore. Ada sesuatu yang harus aku urus." ucap Sean datar.
Kening Diego berkerut. "Kenapa tidak sekarang?"
Sean berdecak. "Organisasimu itu." gumamnya kesal. Diego menyipitkan mata. "Maksud, Daddy?"
"Biderberg Group. Akibat beredarnya kabar pernikahanmu, mereka tidak berani memintamu menghadiri pertemuan karena takut mengganggumu. Jadinya mereka memaksaku untuk menggantikanmu." dengus Sean.
Diego terkekeh mendengarnya. "Mereka memang mengenaliku. Lagipula, Dad... Kaulah orang yang pantas untuk menggantikanku, bukan orang lain."
"Yeah..." Sean bergumam bersamaan dengan pintu lift yang terbuka, dia cepat-cepat masuk bersama Diego, Christian dan Dave.
Tujuan Diego ke lantai paling atas; 110, bukan kebawah. Tapi dia membiarkan lift mereka menuju lantai pertama lebih dulu, karena Ayahnya ingin segera pergi.
Begitu sampai dan lift terbuka, Diego buru-buru keluar, melangkah cepat sembari melirik arlojinya. Diego langsung mengumpat. Kesal karena lagi-lagi mengundur waktu—ada barang yang harus dia ambil di ruangan pribadinya sebelum dia pulang. Christian yang mengikuti di belakangnya tampak menahan senyum.
Ketika sampai di pintu, Diego langsung masuk sedangkan Christian menunggu di luar. Bersamaan dengan itu Diego terpaku melihat seseorang di dalam ruangannya.
"Katherine?"
Diego menatap Katherine. Terkejut. Kenapa Katherine bisa tidur di atas sofanya? Lalu kapan wanita itu datang?
"Diego..." Kath bergumam dalam tidurnya. Matanya terpejam, tapi bibirnya bergetar lirih.
Diego yang mendengar Kath memanggil namanya berjalan mendekatinya. Dia lalu menepuk bahu Kath—berniat membangunkannya.
"Bangunlah, Kath." ucap Diego, masih menepuk bahu Kath.
Dua detik, lima detik, sepuluh detik, Kath tidak kunjung bangun. Diego menggeram. Waktunya terbuang sepuluh detik, dan itu karena wanita ini. Akhirnya Diego memilih untuk tidak peduli dengan sekretarisnya itu dengan segera mengambil barang yang harus dia bawa. Namun, baru saja Diego berbalik tangannya di cekal dari belakang. Diego lantas menoleh, melirik Katherine tidak suka. Diego juga langsung menghempaskan tangan Kath dari tangannya.
"Tuan..." Kath tidak menyebut nama Diego ketika wanita itu membuka matanya, manik biru miliknya juga kini tengah menatap Diego.
Diego melipat tangannya di dada. "Untuk apa kau kesini?" ucap Diego sembari menatap Katherine tajam.
Katherine berdiri, membuat Diego bisa melihat figur cantik Katherine. Diego melihat rambut Katherine yang biasanya rapi, tampak berantakan. Rambut hitamnya tergerai dan menjuntai ke bawah.
"Tuan... Aku... Sangat merindukanmu." Lirih Katherine dan setelah itu tubuhnya langsung limbung. Diego terkejut, tanpa sadar dia menangkap tubuh Kath.
Katherine mengangkat kepalanya, memandangi wajah Diego yang sempurna. Tampan, seperti biasanya.
"Kath! Kau kenapa?!" pekik Diego— mendadak panik, dia buru-buru melepaskan pelukannya dan mendudukkan tubuh Kath. Namun tanpa peringatan Kath tiba-tiba menarik tubuh Diego dan mendorongnya ke bawah. Gerakan Katherine tadi membuat tubuh Diego jatuh ke atas sofa. Katherine pun langsung menindih tubuh Diego.
Diego melotot.
"Katherine Elizabeth!" bentak Diego. Dia benar-benar marah sampai-sampai menyebutkan nama lengkap Katherine.
Namun reaksi Katherine setelahnya membuat Diego menggeleng tak percaya.
"I miss you so badly..." Katherine tersenyum.
"Kau mabuk." itu bukanlah sebuah pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan. Diego jelas merasakan bau alkohol dari napas Katherine.
Sebelum ini semakin jauh, Diego mendorong keras tubuh Katherine.
"Akh!" Dorongan Diego yang begitu kuat sukses membuat Katherine menjauh dan terhempas ke lantai. Wanita itu langsung memekik kesakitan.
Diego berdiri, menggertakkan rahang. Dia membenarkan setelannya yang berantakan sembari terus menatap Katherine dengan mata menyipit. "Sadarlah, Kath. Jangan biarkan aku benar-benar menganggapmu sebagai wanita rendahan. Apalagi sikapmu yang sekarang sudah membuatku muak. Kau tahu? Menghancurkan wanita sepertimu itu mudah sekali." desis Diego dingin sebelum beranjak ke arah meja kerjanya—ingin segera mengambil barangnya.
Mata Katharine berkilat melihat Diego yang berjalan tenang melewatinya. Amarahnya langsung naik ketika dia baru menyadari kalimat Diego. "Aku mencintaimu, Diego Alvaro!"
Langkah Diego terhenti. Pria itu berbalik dan menatap Katherine lama. Wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi membuat Katherine geram, seakan tidak ada yang terjadi.
Katherine melempar bantal sofa yang bisa dia raih ke arah Diego. "Aku mencintaimu! Kenapa kau diam saja?!"
Dada Katherine naik turun saat ia selesai meneriakkan kekesalannya. Ia bahkan tidak peduli jika ada orang yang mendengarnya ketika dia mengatakan itu semua. Persetan dengan segala tata krama sebagai sekretaris yang baik! Demi Tuhan, Katherine sudah membuang harga dirinya untuk pria itu, tapi nyatanya Diego Alvaro malah meresponnya dengan tatapan datar! Benar-benar tidak punya hati!
"Sudah selesai?" Diego berkata dengan suara datar, menatap Katherine yang meremas rambutnya dengan wajah memerah menahan emosi.
Katherine mendelik namun tak mengatakan apapun. Ia mengangkat tubuhnya dan berusaha berdiri—seketika itu dia juga merasakannya pening di kepalanya, mungkin karena efek alkohol. Fucking shit! Dia baru menyadari kebodohannya yang menangisi kabar pernikahan Diego dengan wanita lain hingga mabuk berat dan pada akhirnya dia juga harus mempermalukan dirinya sendiri. Sialan! Katherine tidak bisa menerimanya—sudah terlanjur, pengakuan cintanya juga sudah dia ucapkan. Untuk apa lagi berpura-pura tidak suka? Katherine tidak sanggup!
Katherine menatap Diego dengan sayu, pandangannya terluka, dengan lirih dia berkata, "Baiklah. Aku langsung saja, Diego."
Diego memperhatikan dengan intens ketika Katherine menanggalkan seluruh pakaiannya dan membuatnya lolos begitu saja dari tubuhnya. Dia berjalan ke arah Diego dan membelai dada pria itu dengan cara yang amat sensual. Diego menangkap tangan Katherine dan membawanya ke balik punggung telanjang itu. Sebelum tangannya menarik rambut Katherine dan dia menunduk untuk mencium lehernya.
Tubuh Katherine beraroma mawar dan Diego naik untuk menjelajahi bibir Diego dengan cara yang dia suka. Tapi di detik berikutnya Katherine memekik ketika Diego menggigit bibirnya hingga berdarah sementara tarikan Diego di rambutnya berubah kuat. Kencang. Menyakitkan. Membuat Katherine meronta.
"Sakit, Diego...."
"This is how i treat you like a bitch, Katherine." bisik Diego penuh emosi.
Katherine menggigil, bergetar—sangat ketakutan. Entah kemana keberaniannya tadi. Melihat cara Diego menatapnya sungguh menyeramkan. Dia tidak pernah mendapati tatapan mata seseorang setajam tatapan Diego Alvaro.
Diego menyeriangi melihat Katherine yang seperti kelinci ketakutan setelah sebelumnya bertindak seperti anjing liar. Dengan kasar, Diego kembali menghempaskan tubuh polos Katherine. Kemudian pria itu mengambil barangnya—sebuah kotak kecil berwarna merah berisikan sebuah cincin yang tersimpan aman di dalam lacinya. Tujuan dia kesini untuk mengambil cincin ini. Tapi ternyata Diego harus merepotkan dirinya hanya untuk menyingkirkan batu kerikil seperti Katherine.
"Mulai sekarang kau bukan lagi sekretarisku. Kau di pecat." ucap Diego dingin, sedingin matanya.
Sementara disana, Katherine memperhatikan dengan tatapan terhina kepada Diego.
Ketika tangan Diego baru saja membuka pintu, Diego di kejutkan dengan sosok berdiri di depan pintu. Bukan Christian yang dia tahu memang menunggunya di depan pintu, melainkan sosok wanita berambut hitam dengan wajah cantiknya yang selalu Diego puja.
"Irene?"
Bersamaan dengan itu senyum cerah Irene menyambut Diego. Irene dengan semangat langsung memeluk Diego erat-erat dan memejamkan matanya. Diego membatu—sangat terkejut. Rasanya seperti tersengat arus listrik. Irene memeluknya? Apa wanita ini tidak tahu kalau...
"Di-diego, wanita yang disana... Ke-kenapa...."
Mendengar suara Irene yang gemetar membuat Diego menutup matanya keras-keras sembari mengumpat dalam hati. Oh, shit! Katherine Elizabeth benar-benar sialan!
To be continued.