webnovel

Diego & Irene

Aku hanya seorang gadis malang. Hidupku itu sangat keras, dan semua itu dimulai saat aku diculik oleh penjahat. Mereka membawaku ke New York dan aku tiba-tiba terbangun dengan keadaan sudah berada di negara gemerlap itu, tepatnya disebuah klub. Ternyata aku dijadikan budak, seorang wanita pemuas nafsu, alias jalang. Mereka menjual tubuhku. Aku sangat menderita, terutama saat malam itu. Dimana seorang pria berhasil menjamah tubuhku dan mengambil keperawananku.

Nainaa · Teen
Not enough ratings
81 Chs

Chapter 64 : Identitas Irene [2]

Sebelum membaca ceritanya Ina akan memberikan beberapa peringatan terlebih dahulu :

(1) Kendrick Samuel adalah Kakaknya Kenneth ya... jangan lupa! Ini cukup penting.

(2) Untuk yang pengen tau spoiler next chapter kalian bisa liat di Highlight Instagram Diego dan Irene!

(3) Mungkin beberapa chapter lagi akan segera tamat. Dan... kemungkinan besar ada SEQUEL nya. Judulnya : She Belongs to a Dangerous Man. Isinya itu ada kisah Diego dan Irene setelah menikah, baby twins, Raka, Orang penting di masa lalu Diego dan Irene, dan tokoh-tokoh baru juga bakal muncul. Pokoknya konfliknya LEBIH BESAR. Wkwkwk awas! Siapin mental kalian ya!💪🏻

(4) Terimakasih banyak bagi yang sering komen💕. Ina jadi hapal nama-nama kalian. Jika sering komen, Ina jadi tau siapa-siapa aja yg nemenin perjuangan Ina nyelesain cerita Diego&Irene yg cukup rumit buat aku yg masih 17 tahun😰

Okeee cukup sampai disini.

Terimakasih perhatiannya!😊

Back to the story!

•••

"Kau bukan anak dari Herlambang dan Intan. Kau itu anak dari Bae Angel dan Kendrick Samuel. Dan orang yang menculikmu adalah adik Kendrick. Kenneth Samuel, pamanmu"

CEDARR!!

Bertepatan dengan itu, suara petir yang sangat keras baru saja menyambar langit. Seolah menggambarkan keadaan Irene saat ini.

Irene menahan air mata, meski keinginannya untuk menangis sangatlah besar. "Ibu?" dia menoleh ke arah Intan, menatap wanita itu penuh tanda tanya. "Apa yang di katakan Diego benar?"

"Irene..." Intan meremas sprei dengan erat, suaranya bergetar hebat, sementara matanya sudah berkaca-kaca. Menarik napas dalam, dia berkata, "I-iya." jawab Intan sembari memejamkan mata, membuat air matanya menetes.

Begitu juga dengan Irene. Air matanya langsung jatuh. Irene bahkan mungkin sudah terisak keras jika saja gigitan di telapak tangannya tidak membuat Irene menahan isakannya. Oh Ibu... kenapa selama ini dia menyembunyikan hal sebesar itu darinya? Irene jelas-jelas bisa melihat gurat kesedihan di wajah Intan ketika mengatakan itu. Tapi... kenapa? Apa dia sengaja membuatnya tidak pernah tahu jati dirinya yang sebenarnya?

Tuhan... Irene sama sekali tidak kuat berada disini. Karena itu, Irene memilih membanting pintu dengan keras dan berlari pergi darisana. Dia sama sekali tidak memedulikan orang-orang yang melihatnya berlarian ke arah pintu keluar dengan penasaran. Yang Irene inginkan hanyalah segera pergi darisini. Menjauh dari mereka berdua.

"Nona Irene?" Christian yang berdiri di teras rumah Intan langsung mendekat ketika matanya melihat air mata di wajah wanita itu.

Irene sontak berhenti bertepatan dengan Christian yang menghalangi jalannya. Pria berumur empat puluh tahun itu memandanginya dengan bingung.

Apa nona Irene sudah tahu kebenarannya?

"Jangan halangi aku, Chris. Minggir!" perintah Irene ketus. Dia sangat tidak suka, apalagi tatapan Christian seakan mengasihaninya.

Christian tidak mengindahkan perintah Irene. Dia tidak boleh membiarkan sesuatu yang bisa memancing amarah tuannya.

"Tolong jangan pergi, nona. Tuan Diego bisa marah be-" mendadak Christian tidak bisa mengatakan apa-apa lagi ketika mata coklat terang milik Irene berkilat saat menatapnya.

"Aku tidak peduli!" seru Irene marah. Suasana hatinya sedang tidak baik sekarang. "Biarkan aku pergi. Aku ingin sendiri!"

Setelah mengatakan itu, Irene melangkah pergi. Dia sempat menabrak pundak Christian karena pria itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.

Langkah kaki Irene sangat cepat. Wanita itu berlari dan terus berlari hingga suara seorang pria yang sangat akrab dengan telinganya terdengar.

"TUNGGU, IRENE!"

Deg. Itu suara Diego.

Tidak. Irene ingin sendiri. Hatinya terlanjur sakit karena merasa di bohongi. Rahasia sebesar ini? Kenyataan ini? Kenapa mereka menyembunyikannya?

Irene mengabaikan teriakan Diego yang perlahan menghilang seiring dengan langkahnya yang semakin jauh. Irene berusaha dan berusaha... Irene takut menoleh kebalakang... karena jika iya maka dia akan langsung berhenti karena Diego adalah kelemahannya.

Irene terus berlari keluar menjauhi rumah Intan dengan hati pedih, tidak tahu hendak kemana. Dia hanya ingin melarikan diri dari rasa sakit yang tengah tertahan di dadanya.

Tak terasa. Irene kini sudah berada jauh dari rumah Intan. Sendirian di tengah malam, juga gelap. Rasa takut sempat ia rasakan. Tapi Irene berusaha keras melawan rasa takutnya. Namun sialnya, kalimat Diego beberapa saat lalu malah berdengung di telinganya.

"Aku sudah tahu semuanya. Kau bukan ibu kandung Irene, Intan Kartika Dewi."

Sontak Irene menutup telinganya. Berharap suara itu hilang dan menjauh darinya. Ini menyakitkan, dan Irene tidak bisa menyangkalnya. Satu hal yang tidak bisa Irene terima. Kenapa... Kenapa Irene baru tahu sekarang? Nyatanya hanya Irene yang tidak tahu, sementara semua orang sudah mengetahuinya. Haha, lucu sekali. Irene merasa jika dia hanya sebuah boneka bodoh yang menikmati pelukan dari pemiliknya. Selalu merasa senang, tanpa tahu yang sebenarnya.

Kaki tanpa alas itu melambat hingga akhirnya berubah jadi langkah lemah menyusuri trotoar. Dan seolah langit tengah mengejeknya, tiba-tiba hujan turun dengan deras dan langsung membasahi tubuh Irene.

Irene bergidik, memeluk dirinya sendiri. Dalam hati mengingat kenangan bersama ibunya saat ia masih kecil.

Meski sulit diterima, kenyataannya Irene mulai mengakui bahwa Intan memang bukan ibu kandungnya. Diego tidak mungkin berbohong tentang sesuatu yang berkaitan dengannya. Irene sangat mengenalnya.

Langkah Irene terhenti. Dia mendongak sambil memejamkan mata, menantang hujan menampar wajahnya berharap hal itu memudarkan rasa sesak yang masih bertahan di dadanya.

Tiba-tiba hujan berhenti mengguyur wajah Irene. Dengan bingung dia membuka mata lalu menyadari telapak tangan yang berada satu jengkal di atasnya.

Buru-buru Irene menegakkan tubuh lalu maju dua langkah sebelum berbalik menghadap orang yang berdiri di belakangnya.

"Kenapa kau mengikutiku? Seharusnya kau biarkan aku karena aku tidak ingin bertemu denganmu." ujar Irene ketus sembari menyeka rambut basah di keningnya.

Diego malah terkekeh geli. "Akan ku pastikan kau sedang berbohong. Buktinya aku masih bisa menyusulmu."

"Jangan sok tahu!" erang Irene kesal.

"Well, aku hanya menebak dari matamu." Diego menyeriangi. "Jangan pikirkan hal lain, sayang. Aku belum menjelaskan apa-apa padamu, tapi kau malah seperti anak kecil yang merajuk dan kabur dari rumah."

Irene menghentakkan kakinya kesal lalu berbalik pergi meninggalkan Diego. Di belakangnya Diego hanya tersenyum geli seraya mengikuti.

Beberapa saat berjalan dalam keheningan, akhirnya Diego angkat bicara. "Kau bisa sakit jika hujan-hujanan seperti ini lebih lama. Sebaiknya kita berteduh."

Irene tidak menanggapi. Dia terus berjalan dengan kepala tertunduk, menatap tetes hujan yang tampak bersenang-senang membasahi bumi.

"Irene...."

Mendadak Irene berhenti lalu berbalik, membuat langkah Diego terpaku di tempat.

"Kenapa kau dan ibu menyembunyikan hal sebesar ini padaku, Diego?"

Diego tidak langsung menjawab, hanya menatap Irene dengan sorot lembut. "Saat aku tahu kebenaran ini, aku ingin langsung memberitahumu. Tapi... aku seringkali lupa, itu karena banyak sekali orang yang mengganggu-" jeda Diego, memejamkan mata--membahas itu membuatnya marah, tapi dia menahannya. "Kau tenangkan dulu dirimu. Aku akan menjelaskan semuanya padamu."

Irene bergidik ketika angin dingin menyapu tubuhnya. Melihat itu, tanpa peringatan Diego menarik lengan Irene dengan tegas ke bawah emperan toko yang sudah tutup. Tubuh menggigilnya membuat wanita itu tak kuasa melawan.

Begitu mereka terlindung dari guyuran hujan, tiba-tiba Irene bersin.

Diego yang mendengarnya membulatkan mata, sementara tangannya mengepal.

"Ini semua gara-gara kau. Kau sakit karena sikap keras kepalamu!" suara keras Diego membuat Irene kaget. Pria itu menatapnya penuh amarah. "Seharusnya kau dengarkan Christian dan tetap di rumah!"

Irene menatap kecewa pada Diego, air matanya merembes. "Kau... kau membentakku?"

Irene menggeleng tak percaya. Sungguh, hati Irene sudah sakit, kenapa Diego harus membentaknya untuk menambah rasa sakitnya?

Gurat emosi di wajah Diego berubah. Dia tertegun, kemarahannya langsung menguap begitu saja. Hormon sialan. Diego baru ingat jika Irene terlalu sensitif karena mengandung anaknya. Irene tidak bisa di kasari seperti tadi. Dia sedang hamil.

Diego mengumpat pelan, lalu memeluk Irene erat. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud. Aku hanya sangat khawatir."

Irene hanya diam, masih marah pada Diego. Perasaannya campur aduk; marah, kesal... ingin menangis. Kemudian dia mendengar Diego menghela napas, melepaskan pelukan mereka dan menghapus air matanya. "Jangan marah. Aku salah. Kita pulang ya?" mohon Diego lembut sembari menggenggam jemarinya.

Irene melirik Diego sebal, nyaris luluh. Memangnya kapan dia bisa menolak pria ini? Ketika Irene ingin bicara, tiba-tiba Christian muncul, dia datang dengan payung di kedua tangannya. Satunya sedang dia pakai.

Christina membungkuk pada Diego--memberi hormat, lalu memberikan payung pada Diego. Diego menerimanya, membukanya, dan menghela Irene berjalan di bawah payung bersamanya menuju rumah Intan. Sementara Christian mengekori mereka.

Keesokan harinya...

Setelah kejadian semalam, Irene tidak bisa tidur dengan tenang. Dia hanya memejamkan matanya erat-erat merasakan pelukan dan elusan jemari Diego di perutnya semalaman. Berbeda dengan Diego, lelaki itu justru sangat lelap ketika tidur. Irene bisa merasakan hembusan napasnya yang teratur di lehernya.

Lalu sekarang, tepat jam enam pagi, Irene masih terjaga. Wanita itu tengah duduk di meja riasnya. Dia sempat meringis ketika memandangi wajahnya cermin. Lingkaran hitam di bawah matanya benar-benar menakutkan. Matanya bengkak. Irene yakin itu karena dia kebanyakan menangis. Seketika dia ingat sikapnya tadi malam dan--Ah, bodohnya dia! Irene merasa dia seperti anak kecil. Ya Tuhan... berapa menyebalkannya dia. Irene tidak berani membayangkan betapa kesalnya Diego menghadapi dirinya malam itu. Ampun! Irene langsung memukul kepalanya.

Seharusnya aku tidak kabur dan mendengarkan penjelasan Diego. Batin Irene sesal.

"Memikirkan apa, sayang?" suara berat itu membuat Irene menoleh.

Diego muncul dari arah balkon. Bibirnya tersenyum ketika menatap Irene. Irene memperhatikannya. Diego terlihat tampan dengan setelan berwarna biru nevy yang sangat pas membalut tubuhnya yang atletis. Rambutnya tertata rapi dan tampak bersinar ketika terkena cahaya. Sementara mata birunya, tampak menakjubkan ketika Irene tatap.

"Semalam." jawab Irene tanpa senyum.

Diego mengerutkan alisnya. "Kantung matamu hitam sekali. Kau tidak tidur?" mata Diego memicing.

Irene membuang wajah, tidak tahan di perhatikan Diego begitu dalamnya. "Pertanyaan di kepalaku banyak sekali, Diego. Itu sebabnya aku tidak bisa tidur."

"Kakak!"

Sebelum Diego sempat menjawab, tiba-tiba pintu terbuka, bersamaan dengan suara khas anak lelaki menggema di ruangan itu. Irene langsung menoleh ke arah pintu. Mendapati sosok anak kecil dan wanita sampingnya yang berdiri di depan pintu kamar. Mendadak wajah muram Irene menghilang, berganti dengan binar bahagia.

"Reyhan!" pekik Irene. Matanya sampai membulat saking senangnya.

Reyhan berlari menghampiri Irene, bocah lelaki dengan baju piyamanya itu langsung menghambur ke pelukan Irene.

Irene memejamkan mata, memeluk Reyhan--adiknya dengan erat. "Astaga, sayang... lama tidak berjumpa."

Intan berjalan masuk dan berhenti di belakang Diego, menatap Diego serius. "Cepat jelaskan semuanya pada kami, Diego."

"Aku memang ingin sekali memberitahu kalian. Tunggulah mereka, kau tidak lihat? Mereka benar-benar seperti adik kakak yang saling menyayangi." jawab Diego tanpa melihat Intan.

Irene melepas pelukan, menatap Reyhan sedih. Dia berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Reyhan. Meskipun mata polosnya tidak mengerti, Reyhan menatapnya khawatir, tangannya terulur memegangi pipi Irene. Seketika rasa salah menyergap Irene. "Aku sangat merindukanmu, Rey. Kakak bahagia bisa bertemu denganmu. Sekarang aku sudah disini. Jangan sedih ya." ucap Irene sembari mengecup pipi Reyhan.

Mata Reyhan berkaca-kaca, dia menarik ujung baju Irene dan menggenggamnya erat. "Tapi kenapa lama sekali, kak?"

Irene menggeleng. "Jangan nangis, Rey... Aku yang salah. Maafkan aku. Seharusnya aku pulang lebih cepat." lalu semuanya berjalan sesuai alur, mereka berdua bercerita banyak. Terlihat sesekali bocah itu memekik senang ketika Irene menceritakan suatu hal padanya. Irene ikut tertawa. Mereka dekat sekali.

Diego memperhatikan mereka, lalu menghembuskan napas lega. Beralih menatap Intan dan Christian di belakangnya. "Christian sudah bawakan dokumen tentang Irene. Akan ku jelaskan isinya padamu."

"Tunggu dulu. Aku mau ikut, kau tidak bisa memulainya tanpa aku." sanggah Irene cepat. Diego menatapnya lekat.

Tiba-tiba Reyhan memukul keningnya. Sepertinya dia lupa sesuatu. "Kakak! Aku mau ke kamar dulu."

"Kenapa, sayang?"

Reyhan mengangkat kepalan tangannya ke udara. Dia tersenyum lebar hingga menampakkan gigi susunya, binar matanya tampak bahagia. "Ada banyak mainan baru di kamarku, kak! Aku senang sekali!" pekik Reyhan heboh.

Irene tertawa lagi. Dia mengacak-ngacak rambut Reyhan gemas. Well, pasti semua mainan itu dari Diego. Tebakanya pasti tidak salah. Memangnya siapa lagi selain Diego?

"Baiklah. Ayo ke kamarmu. Mainannya pasti menunggumu." bisik Irene yang langsung di angguki oleh Reyhan. Bocah lelaki itu pun pergi. Dia berlari keluar dengan semangat.

Irene tersenyum geli. Reyhan memang bisa membuatnya tertawa lepas seperti tadi. Karena itu, Irene sangat menyayangi Rey.

Diego melangkahkan kakinya menuju sofa. Lalu duduk, sementara Christian, Intan, Irene segera mendekat dan mengambil tempat duduk di dekat Diego.

Irene duduk di samping Diego, lalu Intan. dan Christian duduk di depan mereka. Mereka duduk saling berhadapan.

Mendapat lirikan tajam dari Diego membuat Christian segera memberikan berkas yang ada di genggamannya pada Diego.

Jantung Irene berdebar ketika menatap berkas itu. Dia sudah siap mendengar kenyataan ini. Karena inilah yang sebenarnya. Irene harus tau siapakah dirinya.

"Bacalah." Diego memberikan dokumen itu pada Irene. Irene menerimanya dan langsung membukanya.

"Kau adalah putri dari Kendrick dan istrinya--Bae Angel. Kau bisa lihat fotonya didalam sana." ucap Diego sembari menatap Irene lekat.

Irene terus membaca dokumen itu, hingga dia melihat foto yang di maksud oleh Diego. Foto kedua orang tua kandungnya.

(Bae Angel, saat usia 20an)

(Kendrick Samuel, saat usia 20an)

"Ibu kandungmu berdarah campuran Indonesia-Korea, sedangkan Ayah kandungmu orang asli Amerika. Jadi kau memiliki perpaduan darah tiga negara itu, Indonesia-Korea-Amerika."

Irene yang mendengarnya tertegun. Pantas saja wajahnya tidak mirip dengan Intan. Jadi ini alasannya.

Diego menarik napas panjang. "Kau putri mereka satu-satunya. Hubungan Ayahmu dan Kenneth cukup baik saat masih lajang. Tapi... setelah menikah, Ayah dari Kenneth dan Kendrick meninggal, lalu otomatis sebagai besar harta warisan di berikan pada putra pertama--yaitu Ayahmu. Tapi karena sifat keras dan iri hati yang di miliki Kenneth, dia tega membunuh Ayahmu agar seluruh harta warisannya jatuh kepadanya. Dia membantai kalian bertiga--Kau, Angel dan Kendrick. Usiamu saat itu masih sangat kecil, sekitar tiga bulan. Ayahmu berhasil di bunuh namun ibumu berhasil melarikan diri. Dan akhirnya, Angel meletakkan kau di teras rumah Intan. Itu dia lakukan demi keselamatanmu. Intan pun pergi darisana, entah kemana... aku tidak tahu." jelas Diego.

Ayahku... di bunuh?

Air mata Irene jatuh. Dia menggigit bibir bawahnya dengan keras, menahan jeritan. Ayah... kenapa kau harus pergi? Aku bahkan belum bertemu denganmu, Ayah... hiks... lirihnya dalam hati.

Irene mengusap air matanya di pipi. Diego yang melihatnya mengepalkan tangan.

"Kendalikan dirimu, Irene." ucap Diego lembut, berusaha membuatnya tenang. Irene hanya mengangguk lemah ketika Diego mengusap bahunya.

"La-lalu... dimana Ibu kandungku? Apa dia masih hidup?" tanya Irene.

"Masih." Diego tersenyum, memastikan jawabannya benar.

Senyum Irene mengembang, meski air matanya masih saja mengalir. "Dia dimana, Diego? Dimana?" desak Irene.

"Kau buka lembar berikutnya." perintah Diego.

Irene mengernyit. Tapi dia menurut.

Intan dan Christian memerhatikan mereka. Kini banyak sekali hal yang di pikirkan Intan.

Begitu dibuka, Irene mendapati potret Ibunya. Irene jadi bertanya-tanya, dimana tempat itu?

Seolah mengerti, Diego langsung berkata, "Itu potret yang ku ambil terakhir. Dia berada di Jerman."

Irene mendongak cepat, menatap Diego. "Jerman?" ulangnya tak percaya. "Kenapa ibu bisa disana?"

"Karena suami barunya tinggal disana."

Irene menutup mulutnya, terlampau kaget. "Maksudmu--aku punya ayah angkat?"

Diego mengangguk. "Dan Ayah angkatmu itu adalah anak buahku sendiri. Namanya Glen Michael Johannson."

Irene memijit keningnya, berpikir keras. Dia merasa tidak asing dengan anak buah Diego yang bernama Glen itu.

"Kau pernah bertemu dengannya. Dia yang menjadi supir kita saat ke bandara." ucap Diego.

"Bisakah kita menemuinya? Ibu pasti bersamanya." tanya Irene penuh harap.

"Tidak perlu-"

"Kenapa?!" potong Irene cepat. Oh God... wanita itu menatapnya marah, Diego menghela napasnya.

"Tenanglah, Irene." pinta Diego, menatap Irene tajam. Seketika suasana menjadi canggung. Christian dan Intan merasakan itu.

"Mereka yang akan kemari. Aku sudah menyiapkan semuanya, tinggal tunggu kedatangan mereka." jelas Diego.

Irene tersenyum lebar, merasa senang. Tapi sayangnya tak berlangsung lama, mendadak dia sadar akan sesuatu.

Haish...

Tangan Irene memukul pundak Diego, lalu perlahan mendekat. "Aku ini sangat tidak sabaran ya." bisik Irene tepat di depan telinga Diego.

Diego menyeriangi. "Kenapa kau berpikir seperti itu?"

Irene merengut. "Kata-katamu malah membuatku terlihat menyebalkan."

Diego terkekeh. Dia mengacak rambut Irene dengan gemas. "Kau memang wanita yang paling menyebalkan dalam hidupku. Kau keras kepala, menjengkelkan, menyusahkan. Tapi... aku tetap sayang dan mencintaimu. Gila memang, tapi aku menyukainya." ujar Diego--kelewat jujur.

Sontak hal itu malah membuat Irene melotot. Berbeda dengan Intan dan Christian yang langsung tertawa geli melihat kelakuan Diego. Ah, apalagi saat itu mereka menyaksikan sendiri bagaimana Irene membuat Diego berlari hanya karena dia melepas sepatu yang dia pakai.

"Tidak kena!" ejek Diego sembari menjulurkan lidah ketika sepatu Irene melayang melewati kepalanya.

Irene menggeram, dia makin gencar mengincar Diego dengan melepas sepatunya lagi. "Aku pastikan sepatu ini tidak akan meleset, Diego!" teriak Irene kesal.

Lalu, aksi kejar-kejaran antara Irene dan Diego tak terhindarkan. Christian dan Intan tertawa melihatnya. Well, pasangan yang langka.

To be continued.

HOPE YOU LIKE IT!

JANGAN LUPA LIKE, KOMEN + SHARE KE TEMEN KALIAN YA!

Gak enak amat ya... di webnovel gak bisa upload gambar:( sedihhh. Yaudah lah ya, mau gimana lagi.

Okeee! TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA!😊

SAYANG KALIAN!♥️

Dari Ina.