"Aku sangat senang. Nobody can describe how much you mean to my life. Rasanya seperti di Surga. Aku kembali ke rumah--bersamamu. Bersama babies."
Ucapan Diego Alvaro kembali terngiang-ngiang di telinga Irene. Gadis cantik dengan rambut hitam legam itu juga langsung terjatuh di tanah dengan jantung yang memompa. Membuat koper besar yang ia bawa ikut jatuh bersamanya. Kata-kata Diego tadi.... pengakuannya, kesenangannya, kebahagiaannya.... semuanya, membuatnya frustasi. Air matanya juga tidak dapat ia tahan. Persetan dengan orang-orang yang melihatnya menangis ditengah jalan seperti ini.
Irene padahal sudah menguatkan dirinya. Melupakan bahwa Diego Alvaro sudah membuangnya yang dulu juga laki-laki itu pernah mengatakan bahwa dia sangat berharga bagi hidupnya. Oh Tuhan... kenyataan yang pahit. Mengingat sekarang laki-laki itu benar-benar membiarkannya pergi. Tidak ada permohonan, tidak ada kata-kata manis. Tidak ada cinta. Semuanya lenyap, hilang, seperti terhembus angin.... membuatnya tak berarti. Membuat kata-kata penuh cinta Diego bagaikan beludru yang menyakiti Irene.
Irene kembali menangis.
Diego yang dulu memperkosanya,
Diego yang membebaskannya,
Diego yang melindunginya,
Diego yang mencuri hatinya,
Dan lelaki itu.... adalah ayah dari anak-anaknya.
Kini lelaki yang mengambil semua yang dimilikinya telah membuangnya. Diego membuang Irene. Membuang cintanya, membuang segala kepercayaan Irene kepadanya.
Irene memejamkan mata, menghapus bening kristal yang jatuh bebas dipipinya, lalu ia perlahan bergerak bangkit--berusaha kuat menghadapi semuanya. Irene kembali berjalan, melangkah dengan badan tegap. Satu tangannya membawa koper, lalu satu tangannya yang lain mengelus perutnya. Lapar. Irene bisa merasakan perutnya berbunyi--meminta diisi. Babiesnya lapar.
Irene tidak bawa apa-apa selain koper dan bajunya.
Irene tidak membawa ponselnya, karena itu pemberian Diego. Irene juga tidak membawa uang. Sama sekali tidak. Semua uangnya itu adalah pemberian Diego, dan Irene tidak akan pernah mengambil uang darinya. Tidak akan pernah!
Krrr...krrr....krrr...
Oh Jesus. Perutnya lapar sekali. Irene tidak tahan! Pantas saja, karena seingat Irene ia belum makan apa-apa sejak semalam, dan sekarang langit juga terlihat mau sore. Hampir 18 jam lebih Irene belum makan sama sekali. Irene meringis, perutnya tiba-tiba terasa sakit...
"Kalian lapar ya nak?" tanya Irene sembari menatap perutnya, mengelusnya lembut sembari tersenyum.
Irene kemudian melihat ke sekeliling, mencari tempat makan. Puji Tuhan... Irene bisa melihat sebuah restoran yang berjarak beberapa meter darinya. Irene pun segera berjalan kesana. Begitu tiba disana, Irene langsung masuk kedalam tempat makan itu. Sontak kehadirannya disana membuat Irene menjadi pusat perhatian para pengunjung. Membawa koper besar, pakaian yang kebesaran, tubuh mungil, kulit putih pucat serta rambut hitam legam--sangat berbeda dengan mereka para wanita yang kebanyakan berambut pirang, itulah yang membuat mereka tertarik melihat sosok Irene.
Tanpa memedulikan pandangan aneh kepadanya, Irene langsung bergerak ke meja pemesanan. Ia memesan satu porsi makanan. Tidak mahal, karena Irene memesan satu piring nasi goreng ayam dan segelas air putih.
Setelahnya Irene langsung mengambil tempat duduk, dan menunggu pesanannya. Irene kelelahan. Kakinya serasa mau lepas, karena ia berjalan berjam-jam sampai kesini. Tanpa tujuan. Irene tidak tau dia harus kemana. Pulang? Haha, Irene ingin tertawa membayangkan dia bisa pulang semudah itu. Tidak punya uang, tidak tahu jalan, tidak punya teman, tidak ada kenalan. Dia hanya sendiri. Sendiri! Bagaimana rasanya jika kau tiba-tiba sudah berada di negara yang letaknya sangat jauh dari negaramu? Negara yang sama sekali tidak kau kenali. Pasti menakutkan... Itulah yang Irene rasakan disetiap detik hidupnya.
Menyenderkan punggung dikursinya, Irene mengambil napas dalam-dalam. Berusaha tenang walaupun ribuan masalah sedang menghujamnya. Irene tidak akan menyerah. Dia harus bisa menaklukkan negara ini, dia harus bisa menjadi kuat dinegara yang terkenal jahat ini. Terutama dari orang-orang yang tidak memiliki hati seperti mereka, Alva, Mi Lover, dan Diego. Mereka sudah jelas menjadi daftar orang-orang yang harus dia hindari. Diego Alvaro... Entah apa, entah apa yang membuat Irene bodoh dengan mencintainya setelah kenyataan bahwa lelaki itu yang menghancurkan masa depannya sudah sangat jelas. Bodoh! Irene tidak menyangka jika cinta bisa sesakit ini.
Well, tapi Irene tidak pernah menyesal. Meskipun cintanya... harapannya... impiannya--semuanya, sudah benar-benar tidak bisa ia dapatkan. Irene tersenyum, membayangkan jika kematian akan lebih cocok dengan dirinya yang menyedihkan ini. Tapi keinginan Irene untuk hidup masih besar, ia masih ingin bernapas--karena dia masih memiliki tanggung jawab sebagai seorang ibu. Ya, bayi-bayinya. Anak kembarnya. Sekarang... mereka adalah alasan Irene untuk bertahan hidup.
"Ini nona, silahkan." ucap pelayan wanita sembari meletakkan makanan Irene. Irene sendiri langsung tersadar dari lamunannya, tersenyum, lalu mengucapkan terimakasihnya.
Irene menatap makanannya. Tersenyum senang sembari mengambil satu suap ke dalam mulutnya ketika...
"Welcome to our place, Mr. Alvaro."
Sayangnya keinginan Irene untuk makan langsung pupus begitu dia melihat ke arah pintu masuk restoran itu. Oh My God.... Irene bahkan langsung menutup mulutnya dan menggelengkan kepalanya. Ayolah... dia tidak percaya ini. Itu memang suara si pemilik restoran. Tapi alih-alih mendapatinya sedang menyambut seseorang yang penting baru saja masuk ke restorannya, kenapa malah pemilik restoran itu sedang berbincang dengan.... Diego Alvaro?!
Benar. Itu Diego... Irene bisa mengenali sosoknya dengan jelas sekalipun Diego tengah membelakanginya. Oh Tuhan... Irene langsung panik. Dia buru-buru menyembunyikan dirinya di dekat salah satu tembok, tapi pandangannya tidak lepas dari Diego. Di tempatnya berdiri Irene terus melihat si pemilik restoran itu tengah tersenyum sembari mengatakan sesuatu kepada Diego. Sepertinya pemilik restoran ini terlihat susah untuk bicara ketika Diego baru saja meluncurkan kalimatnya dengan pandangan mata birunya yang sangat tajam itu. Irene bisa melihatnya. Irene bisa melihat dengan sangat jelas jika manik biru Diego yang berkilat itu karena amarah sedang membara didalamnya.
Ya... Diego marah.
Diego tengah mengedarkan pandangannya, lelaki itu melihat seluruh restoran ini lewat tatapan dinginnya. Irene sendiri langsung membalikkan tubuh. Oh God! jantungnya hampir saja lepas jika saja dia tadi tidak langsung membalikkan tubuhnya ketika Diego mengalihkan matanya ke arahnya. Irene lantas memegangi dadanya. Sial! Detak jantungnya berdegup kencang hanya karena dia baru saja melihat lelaki itu. Tidak Irene! Lupakan dia! Lupakanlah lelaki yang telah membuangmu itu!
Oh... Lengkap sudah. Ternyata Christian dan Lucas juga ada bersama Diego. Mereka baru saja masuk setelah Diego memencet layar kecil di jam tangannya. Dengan adanya mereka--Christian dan Lucas, membuat Irene semakin panik. Semua itu membuat Irene segera pergi darisana. Berusaha sekuat mungkin menghindari mereka.
Namun sepertinya Irene terlalu terfokus dengan pikirannya hingga dia tidak awas. Sontak dia menabrak seseorang, membuat pelayan yang sedang berjalan dan membawakan makanan pun terjatuh. Nyaringnya suara pecahan piring dan gelas pun tak terhindarkan, membuat perhatian semua orang tiba-tiba terpusat ke arahnya.
"Oh Tuhan... Maaf ya," ucap Irene buru-buru duduk untuk membantu pelayan itu memunguti pecahan beling yang berserakan.
"Irene! Kau kah itu?"
Deg!
Irene melotot. Itu suara Diego! Irene tanpa sadar langsung menolehkan kepalanya begitu mendengar suara Diego yang memanggilnya. Dan ketahuan sudah... Irene bisa melihat jika tatapan Diego yang melihatnya sekarang sangat-sangat dalam. Lelaki itu menatapnya tanpa cela--membuat Irene sejenak melupakan tujuan utamanya.
Tidak!
Dia harus pergi. Tidak ada gunanya ia kembali pada lelaki itu... Diego Alvaro bukan lagi lelaki yang masih mencintainya, lelaki itu tidak menginginkannya! Untuk apa Irene kembali jika nantinya semua itu hanya akan membuat hatinya sakit? Irene tidak akan membiarkan Diego dengan mudah mendapatkan dirinya, mereka tidak boleh bertemu.
Benar, mereka berdua tidak boleh bertemu lagi. Tidak boleh sama sekali.
Dan sepertinya keputusan Irene tadi memang yang paling benar. Karena beberapa saat sebelum dia bergerak ke menuju pintu keluar yang berada dibelakang, Irene benar-benar mendengar teriakan Diego yang memanggil namanya. Itu membuat Irene buru-buru membuka pintu belakang dan langsung menutupnya lagi begitu Irene mendapatkan kuncinya. Ya, Irene langsung mengunci pintunya. Ugh! Akhirnya Tuhan menyelamatkannya.
Dua puluh menit setelahnya barulah Irene merasa lega. Taksi yang dinaikinya sudah melaju menembus kota jalanan Berlin, meninggalkan restoran terkutuk itu dibelakang. Dia beruntung, padahal cukup membutuhkan waktu lama baginya untuk mendapatkan taksi, tapi sepertinya Diego terkendala sesuatu disana hingga belum terlihat bahkan sampai Irene menemukan taksinya datang. Irene memilih memejamkan matanya sepanjang perjalanan, mencoba mengembalikan kewarasannya lagi.
Sayangnya Irene tidak tahu jika keputusannya ini membuatnya lengah. Membuatnya tidak menyadari jika dibelakang taksinya, sebuah mobil sport biru metalik tanpa nomor plat sedang mengikuti.
***
At Kiel City, Schleswig-Holstein. Jerman | 05:00 PM.
Irene hendak keluar dari taksinya ketika suara supir menghentikannya.
"Mau kemana, nona? Anda belum bayar."
Irene terkesiap. Dia langsung panik. Astaga... Bodohnya dia! Bagaimana bisa dia melupakan kopernya?! Dan uang... Irene tidak punya sama sekali. Tapi daripada dia dilaporkan kepada polisi oleh sopir itu karena tidak bisa membayar taksi, Irene terpaksa menjual salah satu barang miliknya. Ya, sebuah liontin...
"Mama, Irene minta maaf karena harus menjual linotin pemberian mama... maafkan Irene..." ucap Irene lirih seraya menatap liontin di lehernya. Menatap foto kecil mamanya.
"Ini pak, aku membayar dengan kalung ini. Apa cukup?" tanya Irene.
Supir itu terkejut. Well, kalung yang indah... sepertinya dia memang harus menerima bayarannya itu.
"Ini lebih dari cukup, nona. Terimakasih."
Irene pun tersenyum, lalu ia bergerak keluar darisana.
Disinilah dia, berada di Kota Kiel yang merupakan salah satu pusat maritim utama Jerman. Dari Berlin , dia memerlukan waktu 4 jam lebih untuk sampai kesini. Kota Kiel ternyata memiliki garis pantai yang cukup panjang, lautan biru cantik itu menjadi aksen yang khas di kota tersebut. Padahal awalnya dia sama sekali tidak tau harus kemana, tapi karena si supir yang terus menanyakan kemana tujuannya membuatnya setuju ketika supir itu mengajukan tempat yang letaknya sangat jauh dari Berlin. Dan sekarang... tibalah dia disini.
Sementara disisi lain...
Mobil sport biru metalik itu berhenti beberapa meter dari sebuah taksi yang tadi juga berhenti didepannya, sengaja menjaga jarak agar keberadaannya tidak diketahui. Taksi yang dinaiki Irene sebenarnya juga sudah pergi sejak tadi, tapi di belakang kemudi Diego Alvaro masih tidak ingin beranjak. Mata biru Diego bahkan terus saja menatap tubuh ramping Irene dengan awas. Irene terlihat sedang duduk di bangku yang berjejer di pinggir jalan. Tersenyum tipis dengan wajah pucat pasi, sementara tangannya memeluk tubuhnya. Oh, God.... Apa dia kedinginan?
Dada Diego serasa diremas. Membuatnya langsung mengepalkan tangannya kuat untuk menahan diri agar tidak memeluk Irene erat. Irene terlihat sangat rapuh. Tapi tidak... tidak boleh. Semua ini tidak akan selesai jika dia terburu-buru. Diego tidak ingin membuat Irene semakin menghindarinya dengan menunjukkan dirinya kepadanya. Diego harus diam... biarlah dia tetap disini, bersembunyi--memerhatikannya sekalipun dari jarak yang jauh, asalkan Diego tetap bisa melihatnya--sudah cukup membuat Diego merasa tenang. Karena jika Diego muncul maka dia akan kehilangan Irene-nya lagi. Irene dan kekecewaannya, Diego tidak akan menyakitinya lagi.
***
Bruk!
Irene terkejut ketika sebuah batu secara tiba-tiba datang dengan lemparan keras melayang dari arah berlawanan menuju ke arahnya. Berhasil melukai tangan Irene dengan luka gesek kemerahan. Bahkan akibat kepalanya yang terkena lemparan tadi, membuat keningnya berdarah.
"Aduh!" Irene mengaduh kesakitan ketika dilihatnya darah segar yang mengalir dari keningnya.
"Mau pergi kemana kau, jalang?!" Mi Lover berteriak dari tempatnya berdiri.
Irene melihat wanita itu. Tapi pandangan matanya mendadak samar--sedikit buram. Rasa pening juga menyerang kepalanya. Sakit. Irene berusaha untuk melihat dengan jelas sosok wanita yang berada didepannya. Dia... Dia adalah Mi Lover. Tapi, tapi kenapa Mi Lover yang berdiri beberapa meter darinya ada dua?! Kedua wanita itu... kenapa wajah mereka sangat mirip?!
Apa Irene sedang berkhayal? Oh, apakah dia memang sudah gila?
"Ka-kalian.... Mi Lover?"
Irene perlahan bangkit, matanya yang sendu memperhatikan dua orang didepannya yang kini datang menghampirinya. Itu membuat Irene takut. Tanpa sadar kakinya melangkah mundur, sementara tangannya meremas bajunya.
"Berhenti, Mi Lover! Aku bilang berhenti!" Irene menjerit ketika dua orang yang berwajah sama itu semakin dekat dengannya.
"Tidak!" dan terkena sudah, Mi Lover bersama Lily berhasil menangkap Irene dan langsung mencekal kedua lengan Irene.
"Ikut kami!" dengan satu tarikan kasar, Mi Lover dan Lily menyeret Irene menuju suatu tempat, Irene yang merasa ketakutan sekaligus sakit di kepala dan pergelangan tangannya karena cengkraman mereka yang begitu kuat.
"Akh, sakit! Lepaskan aku! Lepas!"
"Diam, jalang!" bentak Lily dingin.
Irene menahan air matanya, berusaha untuk tidak menangis di saat-saat yang seperti ini. Dia seharusnya melawan. Ya, dia harus melawan mereka. Irene tahu jika ia melawan dengan tenaganya yang sudah sangat jelas sangat lemah ini akan berbanding jauh dengan kekuatan mereka, tapi Irene tetaplah Irene. Dia akan tetap berusaha untuk melawan. Bukan untuk nyawanya, tapi setidaknya dia harus bertahan untuk bayi-bayinya.
Dengan tekad dan keberanian besar, Irene menendang-nendang tubuh kedua wanita itu, ia memukul, berteriak, meronta dan menggigit bahu mereka berkali-kali. Tapi sayangnya ia gagal, kedua wanita itu malah semakin kuat mencekal tangannya.
"Mi Lover! Are you lost your mind?!" pekik Irene panik ketika menyadari mereka membawanya ke ujung tebing.
Glek. Irene menelan ludahnya pahit ketika matanya melihat dengan jelas birunya lautan berada tepat dibawahnya.
Mi Lover dan Lily melepaskan Irene dan memberi jarak agar mereka bisa saling beradu pandang. Mi Lover tersenyum miring, bersidekap tangan sambil geleng-geleng kepala. Lalu Lily, wanita itu terlihat tengah menahan tawanya. Melihat wanita yang begitu dicintai pacarnya dalam kondisi yang mengasihankan. Ck, benar-benar malang.
"Mi Lover...."
"Kau seharusnya malu, lihat dirimu! Kau hanya seorang wanita jalang yang di pungut Diego dari tempat terkutuk itu. Sama sekali tak sebanding dengan Diego!" ejek Mi Lover sembari menatap Irene sinis.
"Kau itu wanita pelakor. Tapi sepertinya kau lebih pantas disebut sebagai wanita perusak hubungan orang. Kau merusak hubungan kakakku dengan Diego! Kau juga yang merusakkan hubunganku dengan Alva! Kau adalah perusak! Kenapa kau kembali, Irene?! Kenapa wanita semenjijikan dirimu itu masih saja pantas untuk hidup?! Kenapa?!" bentak Lily seraya mendorong tubuh Irene hingga terhuyung kebelakang.
Merebut Diego? Merebut Alva? Apa... Apa maksud mereka?
"I-irene tidak seperti yang kalian pikirkan..." Irene berusaha menahan perih di kedua matanya.
Irene yang hendak berlari meninggalkan mereka, tiba-tiba dicekal lengannya.
"Mau kemana? Aku belum selesai bicara denganmu, wanita murahan!" kini Mi Lover mendorong dan menyudutkan Irene hingga di ujung tebing curam.
"Mi-Mi Lover...." Irene melihat kebawah dengan tatapan ngeri. Laut yang terlihat sangat dalam berada tepat di bawahnya. Apa Mi Lover akan mendorongnya?
"Aku melihatmu menggoda Diego. Dan aku benci itu!"
"Mi-Mi Lover...." Irene melihat ke sekeliling, mencari sosok Diego meskipun mustahil lelaki itu ada disini.
"Mencari Diego? Sayang sekali, Diego tidak ada. Kali ini tidak ada yang bisa membantumu. Tidak ada." ucap Mi Lover dengan seringai di wajahnya.
Dengan kasar Mi Lover kemudian mendorong Irene.
Irene kehilangan keseimbangan. Tubuhnya mulai melayang ke bawah.
Diego...
"Irene!"
Diego berlari dan mendorong Mi Lover ke samping.
Dengan cepat Diego meraih tangan Irene, yang kini bergelantungan di tepi tebing dengan hanya sebelah tangan yang digenggam kuat olehnya.
"Diego...hiks..." Irene menangis melihat lelaki yang ia cari muncul untuknya. Laki-laki yang telah memberinya penderitaan, namun memberikan kebahagiaan untuknya.
"Jangan lepaskan tanganku, Irene!"
Jangan menatapku seperti itu, Diego. Jangan!
To be continued.
Hehehe, btw gimana menurut kalian chapter terpanjang ini?
Komen yaaaaa!!!
2437 words loh ini:)