Malam kemarin..... sesudah kematian Jackson.
Unknow Place, LOS ANGELES - USA. 08.00 AM.
Pria bersetelan hitam itu menyesap secangkir wine dengan tangannya sementara matanya menatap tajam mata biru milik wanita berambut pirang yang duduk didepannya.
"Lovelyn. Aku ada tugas untukmu." sahut pria itu sambil menyenderkan punggungnya di sofa yang empuk. Pria itu duduk seperti bos, dia duduk bersender di sofa sambil menyilangkan kaki dengan dagu yang terangkat.
"Katakan apa perintahmu." jawab wanita pirang itu yang bernama Lovelyn.
Pria itu menyunggingkan senyumnya, menatap gelas wine yang di angkat tinggi-tinggi sambil dia goyangkan dengan tatapan penuh kelicikan. "Kau mengenalku 'kan, Lovelyn?" ucapnya tanpa menatap lawan bicaranya.
"Semua orang di kota ini mengenal siapa dirimu. Kau terlihat ramah di luar, tapi hanya sedikit yang tahu jika kau pria yang sangat kejam."
Pria itu menghentikan aktifitasnya sejenak. Melirik Lovelyn sembari tertawa rendah. "Ada lagi?"
"Yeah, there is one more." Lovelyn berdecak sambil menyilangkan tangannya. "Kau itu tidak punya perasaan. Hanya ambisi dan balas dendam yang ada padamu."
"Wah, Lovelyn, wah!" seru pria itu sambil menatap Lovelyn dengan pandangan kagum. "Opinimu itu sangat benar. Selain cantik kau juga pandai menjawab pertanyaanku." gumamnya serak kemudian tertawa.
Lovelyn mendengus. Menatap sebal pada pria itu. "Cepat katakan apa mau mu! Aku tidak punya banyak waktu mendengar ocehanmu. Kau ini menyebalkan!" ucapnya kesal. Pria ini benar-benar! Sudah tau jika beberapa jam lagi dia harus datang ke acara pemotretan dan pria ini tiba-tiba menyuruhnya datang kesini. Bayangkan saja, perjalanan dari Los Angeles menuju Las Vegas itu membutuhkan waktu hampir empat jam! Heh! Dia bisa dipecat jika datang terlambat, dan pria ini malah membuatnya tidak bisa kemana-mana.
"Sssttt... don't noisy my dear." bisik pria itu sembari menempelkan telunjuknya di bibir, matanya menatap lurus pada Lovelyn.
Lovelyn membuang wajah, malas melihat pria yang kini menatapnya dengan tatapan menggoda. Selain sifatnya yang kejam sekaligus menyeramkan, pria ini juga menyebalkan. Banyak bicara dan membuatnya pusing. Tapi dia perlu berhati-hati menghadapi pria satu ini.
"Apa ada yang membuatmu kesal akhir-akhir ini?" tanya Lovelyn serius.
Mendengar pertanyaan Lovelyn membuat pria itu terkekeh. "Kau benar." nada suaranya berubah dingin. Lovelyn menelan ludah, tebakannya mengenai sasaran. Ada seseorang yang berhasil membuat pria itu marah. "Kau bisa melakukan sesuatu untuk si Alvaro yang kurang ngajar itu. Lakukan apa yang aku suruh."
Lovelyn mengerutkan dahi. "Memangnya apa rencanamu?"
"Habisi anjing itu." geram pria itu, matanya menggelap. "Diego Alvaro sudah mencari masalah denganku. Jika seekor anjing mengusik sarang lebah, maka... lebah-lebah itu akan menyerang anjingnya dengan membabi-buta. Tapi sang ratu lebah-" jeda pria itu sembari meneguk minumannya. "Akan menusukkan jarum sengatannya tepat di jantung anjing itu."
"Lovelyn."
Pria itu berdiri. Melangkah melewati meja dan mendekati Lovelyn. Tersenyum miring sambil memutari sofa yang Lovelyn duduki.
"Lakukan rencana B." bisik pria itu. Lovelyn mengangguk, sedikit menolehkan kepalanya melihat pria yang kini berdiri di belakangnya.
"Baiklah." ucap Lovelyn sambil tersenyum dan mengelus tangan pria yang memegang bahunya.
***
"Mi Lover?" Diego berbalik dan menatap wanita berambut pirang yang kini tengah mengepalkan tangannya.
Irene yang melihat itu langsung menundukkan kepalanya dan buru-buru melepaskan diri dari gendongan Diego, namun Diego enggan untuk melepaskan gendongannya.
"Diego.... lepas..." Irene memohon, namun Diego tidak bergeming.
Diego semakin mengeratkan gendongannya di tubuh Irene. Sementara matanya menatap wanita yang berdiri beberapa meter darinya dengan malas.
"Kenapa kau tidak mengetok pintu dulu, Mi Lover?" tanya Diego santai.
"Apa aku harus meminta izin dan mengetok pintu ke kamar tunanganku sendiri?!" marah Mi Lover dengan nada membentak, matanya menatap marah ke arah Diego yang terdiam. Namun tak lama kemudian, tatapan itu beralih pada Irene.
Mi Lover menatap Irene dengan nyalang.
"KAU?!" teriak Mi Lover sambil menunjuk Irene dengan jarinya. "Kenapa kau ada di kamar tunanganku?" tanya Mi Lover sinis.
Irene sendiri kini tengah mengatupkan kedua jemarinya untuk menutupi kedua mulutnya agar dia tidak bersuara. Padahal sungguh.... mengetahui jika wanita itu adalah tunangan Diego membuat dadanya sesak. Rasanya.... sakit. Bagaimana bisa Diego melakukan hal ini padanya? Bagaimana Diego bisa mengkhianatinya seperti ini?! Bagaimana Diego bisa-bisanya membuat dia jatuh begitu dalam sementara lelaki itu sudah memiliki hubungan dengan wanita lain?!
Kenapa?!!
Kedua mata Irene langsung berkaca-kaca, mengancam bening kristal di dalamnya akan keluar.

"Turunkan aku, Diego." pinta Irene sembari menahan air mata. Diego lantas menatapnya. Oh ayolah..... Irene tidak boleh menangis hanya karena mendengar siapa wanita itu. Irene pasti berpikir jika dia memiliki hubungan dengan wanita itu karena alasan cinta. Hell, padahal Diego hanya mencintai Irene. Perasaannya tidak pernah berubah.
Tanpa mengatakan apapun, Diego menuruti Irene. Dengan gerakan pelan, lelaki itu menurunkan tubuh Irene dan membantu gadis itu untuk berdiri tegak, sementara satu tangannya yang bebas membukakan pintu kamar mandi, kemudian dia membiarkan Irene masuk sembari menatapnya penuh keyakinan sebelum wanita itu benar-benar masuk.... agar Irene mengerti jika yang terjadi saat ini tidak benar, itu karena hanya Irene satu-satunya wanita yang bisa menyentuh hatinya.
"Kau tidak boleh berteriak kepadanya, Mi Lover." Diego berkata lembut seraya berjalan mendekati Mi Lover. Matanya memandang hangat pada Mi Lover.
Mi Lover mendengus sinis. "Jadi maksudmu kau lebih membela wanita itu daripada aku, Diego?"
"Setidaknya pagi ini sifat kekanakanmu tidak membuatku kesal, Mi Lover."
"A-apa katamu? Kekanakan?! Diego, aku ini tuna-"
Diego memotong protes Mi Lover. "Tunggu aku di ruang pribadiku." katanya sembari berjalan melewati Mi Lover.
"Kau mengusirku, Diego?!" Mi Lover tidak terima dengan sikap Diego kepadanya.
Diego berhenti lalu memutar tubuh. Kemudian memandang Mi Lover dengan malas. "Aku bilang, tunggu-aku-di-ruang-pribadiku." Diego sengaja mengeja kalimat bernada perintah itu kepada Mi Lover.
Mi Lover mengepalkan tangan sembari membatin kesal; 'bisa-bisanya Diego membela gadis tidak tahu malu itu daripada aku?' Tunangannya sendiri!'
"Fine! Jangan membuatku menunggu lama, Diego. Kau berhutang penjelasan tentang gadis tak tahu malu itu padaku!" Mi Lover menunjuk ke arah kamar mandi yang di masuki Irene dengan murka.
Diego yang melihat kelakuan Mi Lover hanya geleng-geleng kepala. Dasar Mi Lover! Wanita ini cepat sekali marah, dia masih sama seperti dulu. Wanita ini benar-benar!
"Sebenarnya aku ada urusan penting. Well, Mi Lover.... sepertinya setelah sarapan aku akan langsung pergi." gumam Diego yang membuat Mi Lover berhenti melangkah sebelum wanita itu sengaja menghentakkan kakinya kesal.
Mi Lover berbalik, raut kejengkelan menghiasi wajahnya dan matanya menatap marah pada Diego. "Tadi katamu 'tunggu aku diruang pribadiku' lalu sekarang...." jedanya kesal sembari memicingkan matanya tajam. "Apa kau berniat membuatku marah? Apa kau ingin semua barang-barangmu aku pecahkan seperti dulu?!"
Mendengar kata 'pecah' membuat sekelebat bayangan masa lalu berputar di kepala Diego. Dimana ingatan itu kembali berputar di kepalanya, bagaimana keganasan seorang Mi Lover yang marah besar kepadanya dengan membanting semua barang koleksinya, mulai dari gitar akustik dari London, miniatur kapal pesiar yang dihiasi lebih dari 600 kristal, lukisan Venus of Urbino; lukisan yang menggambarkan sosok Dewi Venus karya dari sang pelukis terkenal; Titian, hingga Champagne seharga 1 juta poundsterling. Gadis itu menghancurkan semuanya seperti setan, bahkan akibat dari perbuatannya itu membuat kamar Diego seperti kapal pecah. Tapi dibalik usaha melupakan semua itu ternyata Diego masih ingat jika; dia sempat menangis saat melihat tangan kecil milik Mi Lover berdarah usai menghancurkan semua barangnya.
Hell, sekarang Diego menyadari jika dia masih sangat menyayangi Mi Lover walaupun wanita itu sering menyulut emosinya. Mi Lover benar-benar sialan! Wanita itu selalu berhasil membuat Diego kehilangan kewarasannya.
"Jika kau berani menyentuh barang-barangku, kau akan tamat." kali ini mata Diego tampak berkilat dan mengancam.
Namun sepertinya ancaman serta tatapan mematikan dan wajah sangar Diego tidak membuat Mi Lover takut, wanita itu justru mengangkat dagunya tinggi-tinggi.
"Haha, kau mengancamku?" tawa sinis Mi Lover mengudara, membuat Diego berusaha menahan tangannya untuk tidak menyeret wanita itu keluar dan memberikan ciuman brutal sebagai hukuman.
Well, jika itu sampai terjadi, mungkin ciuman panas mereka akan berlanjut dengan aksi saling menyerang di atas ranjang. Tidak! Dia tidak boleh melakukan itu lagi! Cukup!
"Kali ini aku serius. Jika kau tidak mau aku membuat kakimu tidak berjalan maka turuti perintah ku, Lovelyn Mikhailova." kata Diego dingin, tatapan matanya benar-benar tajam, dia juga mengatakan nama asli Mi Lover.
Yaitu, Lovelyn Mikhailova.
Mi Lover berdecak sebal, dia mengerutkan hidungnya dan membuang pandangan, sementara rasa gatal di kukunya yang meronta untuk mencakar-cakar wajah Diego membuatnya frustasi.
"Baiklah, tunanganku tersayang....." kata Mi Lover sembari menahan emosi. "Tapi sebelum aku pergi, aku hanya penasaran."
Diego menaikkan sebelah alisnya. "Apa?"
"Kau jarang sekali memanggilku dengan menggunakan nama lengkap. Well, Mi Lover; nama panggilan darimu itu, aku menyukainya. Tapi darimana kau mendapatkan nama itu?"
"What?!" sontak Diego menunjukkan raut wajah tak percaya. "Ternyata selama ini kau masih belum mengerti?"
Mi Lover menggelengkan kepalanya tanda tak mengerti, melihat itu membuat Diego mengambil nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan.
Diego tersenyum kecil, sementara tangannya terulur memegangi pipi Mi Lover, mengusapnya penuh kelembutan. Tatapan di mata birunya membuat Mi Lover membatu.
"Mi Lover.... yang memiliki arti manis. Kau adalah kesayanganku, kau alasanku untuk hidup, kau segalanya, dan kau adalah cinta pertamaku." tapi sepertinya sekarang sudah berubah, lanjut Diego dalam hati.
Dan sekarang Diego masih belum tahu, sejak kapan cintanya kepada Mi Lover berubah. Diego tidak tau....
Apa mungkin karena; Cinta pertama yang sering menyakiti akan mudah tergantikan, dan dia yang menjadi kedua akan beruntung, karena hanya dia yang akan di cintai.
Atau mungkin... yang menjadi alasan dari perasaannya yang telah berubah, semuanya karena gadis bodoh dan penakut itu? Bae Irene?
To be continued.