webnovel

Dibalik Kegelapan yang Mencekam

Seluruh cerita berasal dari imajinasi penulis. Tidak boleh mengcopy, menjiplak ataupun melakukan perbuatan tercela lainya yang dapat merugikan penulis. Terdapat beberapa adegan kekerasan dan berdarah. Harap bijak dalam membaca. Cover by Canva. *** Sinopsis Bau amis tercium mengelilingi tempat itu. Laki-laki, orang tua, bahkan anak-anak yang tidak berdosa tergeletak tak begerak dengan suhu tubuh yang sudah mendingin. Seorang lelaki berdiri dengan acuh di sekitar tempat mayat-mayat itu berserakan. Memegang pedang yang masih berlumuran darah, Ia menuju suatu tempat yang tidak terkena setetespun noda merah yang menghiasi sekelilingnya. Dirinya berlutut untuk membelai pipi pucat seorang gadis yang terlindung di balik perisai yang Ia ciptakan. Melepaskan kain hitam berkibar yang Ia kenakan dan dengan lembut menyampirkan jubah yang telah ternoda kehangatanya itu kepada sang gadis. "Kau lihat." "Mereka mati karena dirimu." "Seharusnya kau tidak pernah kabur dariku." "Ayo kembali Rosalia." bisik pemuda itu lirih diantara hembusan angin malam yang mencekat.

Renza_Lo · Fantasy
Not enough ratings
101 Chs

Kembali ke Istana

Stevan masih memeluk Rose saat mencapai Istana Matahari. Tempat peristirahatan raja saat ini. Ia secara pribadi mengantarkan gadis dalam pelukanya ke kamar yang disediakan untuk sang peri.

"Besok ada orang yang akan menjemputmu. Beristirahatlah untuk saat ini." Stevan memberitahu Rose.

"Baik Yang Mulia." gadis itu menjawab dengan sopan seperti biasa.

Setelah Steven meninggalkan Rose, dirinya langsung menuju ke ruang parlemen. Tempat dirinya memerintah para abdinya di Ras Zeros.

"Apa ada hal yang terjadi selama aku pergi?" raja muda itu bertanya setelah dirinya duduk di kursi singgasana.

"Tidak ada hal khusus yang terjadi Yang Mulia." Teodhore menjawab sang penguasa.

"Tidak ada?" Stevan berbicara sinis.

"Lalu apa yang terjadi dengan keluarga Vansizger."

"Kenapa aku tidak tahu bahwa mereka menguasai setengah dari wilayahku. Apa mereka ingin menggantikanku sebagai raja." Stevan berucap tajam.

Para jendral dan menteri terdiam saat sang raja mengeluarkan tekanan yang memberatkan. Tidak seperti ksatria yang tidak tahu apa-apa dan jantung mereka meledak karena tekanan yang diberikan oleh pemuda itu, orang-orang di ruangan itu langsung memusatkan seluruh kekuatan ke arah jantung mereka.

"Maafkan kami yang tidak segera menyadarinya Yang Mulia. Ini pasti tanda-tanda pemberontakan." seorang jendral paruh baya mengemukakan pendapatnya.

"Saya rasa pendapat Jendral Ed belum tentu benar Yang Mulia. Keluarga Vansizger sudah seperti Tetua Ras Zeros. Tentu namanya sudah terdengar di seluruh wilayah Ras Zeros. Ini seperti mereka sudah menjadi bagian dari wilayah kerajaan ini sendiri Yang Mulia. Itu tidak berarti mereka merencanakan pemberontakan." Teodhor menyangkal pendapat Jendral Ed.

"Lalu maksudmu mereka sudah sewajarnya mempunyai kekuasaan yang sebanding dengan Yang Mulia?" seorang mentri unjuk bicara melawan Teodhore.

"Mentri Yeraz salah paham mengenai maksud saya. Kita harus menanyakan kepada kepala keluarga Vansizger mengenai klaim ini sebelum memutuskan tindakan selanjutnya." Teodhore menjawab dengan senyum rubahnya.

"Mana ada pencuri yang berteriak bahwa dia adalah seorang pencuri. Jendral Teodhore sangat mementingkan Keluarga Vansizger. Apa Anda memiliki semacam hubungan khusus dengan mereka." Jendral Ed merasa tidak puas.

"Cukup." suara dingin Stevan menghentikan perdebatan mereka.

"Ed, segera siapkan pasukan. Malam ini kita akan berangkat menuju Kediaman Vansizger. Aku sendiri akan memimpin pasukan untuk melenyapkan garis keturunan mereka." Stevan memberikan keputusanya.

"Nyonya Zara. Aku ingin besok kau membawa tamuku mengikuti seleksi ibu penerus tahta." Stevan berbicara kepada wanita paruh baya yang sedari tadi berdiri dengan tenang di sudut ruangan.

"Saya mengerti Yang Mulia." Nyonya Zara membungkuk hormat kepada Stevan.

"Kalian boleh pergi." Stevan mengusir mereka semua.

"Terimakasih Yang Mulia." para bawahan ras zeros membungkukan badan mereka ke arah sang raja sebelum satu per satu meninggalkan ruangan mewah itu.

Seorang pemuda berambut putih bergegas ke kediaman miliknya setelah rapat parlemen berakhir.

Raja akan memusnahkan Vansizger.

Teodhor menulis di secarik kertas ajaib yang bisa berubah menjadi semacam berlian kecil. Ia segera menempelkan berlian kecil itu ke tubuh salah satu ular putihnya dan memerintahkan ular itu untuk menemui Kepala Keluarga Vansizger.

Sudah bertahun-tahun Ia berkoalisi dengan Keluarga Vansizger. Jika mereka berhasil dimusnahkan secara keseluruhan, Ia akan mengalami banyak kerugian.

***

Rose berendam air hangat setelah memasuki kamarnya. Merilekskan tubuhnya yang baru-baru ini sering mengalami cidera. Gaun tidur berwarna biru sudah disiapkan begitu Ia selesai membersihkan diri.

Ia menatap pantulan dirinya yang di dominasi oleh warna biru. Bola mata, gaun dan tanda lahir yang Ia miliki semuanya berwarna biru. Setelah Ia kembali, kamarnya terlihat bersih dan rapi seperti saat dirinya pergi.

Namun, ada satu hal yang berubah. Itu adalah warna biru. Selimut, gaun bahkan asesoris yang Ia miliki semuanya berubah menjadi warna biru.

"Apakah raja muda itu tiba-tiba terobsesi dengan warna biru?" Rose bertanya pada dirinya sendiri.

"Orang itu sangat aneh. Ia terlihat mengerikan pada awalnya, namun sekarang aku merasa bahwa dia tidak seburuk yang aku pikirkan."

"Aku juga merasa cukup senang dan puas saat mendapatkan perlindungan dari dirinya." peri itu masih berbicara sendiri.

"Hm.. Kenapa aku membuang waktu untuk memikirkan dirinya." Rose mendengus sebelum berbaring di ranjangnya yang empuk.

Mencoba untuk tidur lebih awal karena orang itu menyuruhnya untuk bersiap besok pagi.

Tok.. tok.. tok..

Di pagi yang cerah, terdengar ketukan ringan dari balik pintu sang putri peri.

Ceklek

Rose segera membukakan pintu kamarnya.

"Selamat pagi, Tuan Putri. Perkenalkan saya Zara Delovaria."

"Yang Mulia memerintahkan saya untuk mengantarkan tuan putri ke suatu tempat." seorang wanita paruh baya yang terlihat memiliki etiket tinggi menyapa Rose.

"Selamat pagi Nyonya Zara. Saya Rosalia Devonia Razak. Anda bisa memanggilku Rose." Rose sedikit menekuk lututnya saat memperkenalkan dirinya.

"Silahkan ikuti saya Nona Rose." Nyonya Zara berjalan di depan Rose dengan etiket yang sempurna.

Rose mengikuti wanita paruh baya itu dengan diam. Ia mengira bahwa pemuda itu yang akan menjemputnya dan sudah bersiap lebih awal dari biasanya. Mengetahui bahwa bukan orang itu yang datang, dirinya merasa sedikit kecewa.

"Tidak. Sadar Rose. Kau hanya seorang tawanan. Hanya karena dia berkali-kali menyelamatkanmu dan mendapatkan pelukan sebentar dari pemuda itu, kau tidak seharusnya mempunyai harapan yang begitu tinggi." Rose memberikan tamparan kepada dirinya sendiri dalam hati.

"Kita sudah sampai Nona Rose." Nyonya Zara berhenti di sebuah kastil besar yang mempunyai jalan setapak batu mulia berwarna warni.

"Selamat datang Nyonya Zara." ada dua orang wanita yang menyapa Nyonya itu.

"Mulai hari ini, kita mempunyai anggota baru. Nona Rose dipilih secara langsung oleh raja. Aku berharap kalian bisa rukun." Nyonya Zara berbicara kepada dua orang wanita yang menyapanya.

"Anda tidak perlu khawatir Nyonya Zara." seorang gadis bersurai perak menjawab dengan senyuman lembut.

"Nona Rose, biarkan aku memperkenalkan mereka berdua. Yang memiliki rambut perak adalah Nona Leona Vanjicke. Ia adalah adik dari Jendral Teodhore."

"Sedangkan yang bersurai hitam bernama Eliza Kromselia. Ia adalah putri tunggal dari Jendral Ed. Salah satu orang kepercayaan Yang Mulia." Nyonya Zara memberikan perkenalan singkat kepada Rose.

"Senang bertemu dengan kalian. Saya Rosalia Devonio Razak." Rose memberikan senyum sopan saat memperkenalkan diri.

"Mari kita masuk." Nyonya Zara memimpin yang segera diikuti oleh ketiga wanita muda di belakangnya.

Rose sedikit mengerutkan kening saat berjalan. Dia merasa aneh saat harus bertemu dengan dua orang wanita cantik yang masih terlihat muda dan menawan.

"Ini bukan pemilihan calon pendamping raja kan." gadis peri itu tidak percaya dengan hal yang terlintas di benaknya.

"Kuharap ini tidak seperti yang aku pikirkan." Rose menggigit bibir bawahnya mencoba mengelak dari kenyataan yang tersaji di depan matanya.