webnovel

Diary Horor

Mereka adalah sesuatu yang tidak bisa terlihat namun terkadang bisa dirasakan. Dengan perwujudan dari berbagai bentuk, ukuran, dari yang paling bagus hingga paling buruk. Bertempat tinggal dimana saja yang tidak jauh dari manusia . Tidak kenal waktu ketika ingin menampakkan diri, malam, bahkan siangpun jadi. Apalagi jika menjelang magrib , waktu dimana antara dunia manusia dan mereka akan berbaur menjadi satu.

Nimas_3462 · History
Not enough ratings
275 Chs

Kesambet

Terkadang aku ingin sekali menceritakan apa yang aku lalui terhadap Widya, Sahabatku. Bagaimana aku melihat mereka, bentuk mereka, tapi aku takut ditertawakan. Berat memendam semua ini sendirian, ingin bercerita pada mama tapi jarak kami terlalu jauh, apalagi dikampung belum tersentuh sinyal dan juga ponsel. Sepulang sekolah aku melihat mbak Ani telah ada di rumah mbah putri.

Mbak Ani yang tidak lain adalah anak dari budeku akan tinggal bersamaku dengan mbah putri. Dia lagi nunggu dijemput bude untuk ikut bekerja di Jakarta, dulu sekolah dia hanya lulus sekola dasar, umur mbak ani juga asih belasan tahun, setelah lulus sekolah dia memutuskan untuk bekerja daripada menikah. Mbak Ani memiliki kulit yang putih bersih, paras cantik, tubuh ideal, banyak sekali pemuda yang naksir sama mbak Ani.

Dia juga suka meakai riasan di wajahnya, maklum umur segitu masih kemayu kalau orang jawa menyebutnya. Namun dari riasan wajahnya inilah yang menjadi bumerang untuknya. Suatu hari mbak Ani selesai merias wajahnya, aku kira dia akan pergi ke acara kondangan tapi ternyata tidak.

"Mbak mau kemana menor amat?"

"Aku mau ke kali mau nyuci baju"

"Ga salah mbak? Mau ke kali aja pake dandan"

"Yee biarin!" ucapnya jutek padaku.

Ketika itu juga mbah putri keluar dari pawon, mengamati wajah Mbak Ani seksama. "Ani, kamu mau pergi kemana?"

"Mau ke kali lah mbah, nyuci baju"

"Ke kali? Apa ga salah kamu mau kekali menor kaya gitu!"

"Dih mbah. Memangnya kenapa sih"

"Mbah ga melarang kamu dandan pake riasan wajah, tapi kalau mau ke kali hapuslah riasanmu. Pamali!" mbah putri memberi peringatan keras. Aku jadi sedikit khawatir kalau mbah sudah berucap seperti itu.

"Pamali kenapa mbah?" Tanya mbak Ani.

"Kalau kamu dandan menor kaya gini nanti di taksir loh sama dedemit yang ada di sana!" mbah putri berubah ekspresi serius.

"Ha? Haha mbah bisa aja. Mana ada demit naksir sama manusia." Mbak Ani masih dengan pendiriannya, sayang kan, udah makupe susah-susah masa mau dihapus. "Udah mbah, aku mau ke kali dulu" mbak Ani mengambil keranjang yang terbuat dari anyaman bambu lalu bergegas pergi tanpa memperdulikan peringatan mbah putri.

Aku terdiam menatap punggung mbak Ani yang semakin menjauh. Kali itu adalah kali angker dimana dulu sukmaku pernah diculik penunggu yang ada disana, apalagi mbak Ani bukan orang asli dari desa ini, sangat rawan untuk kesambet karena aura asing. Meskipun aku belum paham saat itu tapi aku percaya sama perkataan mbah putri. "Mbaaakkk.... Mbak Ani tunggu!" aku berlari mengejar mbak Ani sebelum terlambat.

"Apa lagi sih!" ucapnya kesal.

"Mbak, mending mbak Ani nurut aja sama mbah putri. Hapus riasan mbak sebelum pergi ke kali itu"

"Halah kamu. Anak kecil kaya kamu tau apa sih! Udah mending pergi main sana! Ga usah urusin aku."

Mbak Ani mendorong pundakku dengan kasar. "Ya udah terserah!" kesal rasanya, diperingatin baik-baik malah gitu perlakuannya. Aku langsung berbalik mebiarkan mbak Ani yang berjalan semakin cepat menuju kali.

********

Sore harinya saat aku baru pulang main dari rumah Widya, aku denger ada rame-rame di rumah mbah putri. Samapai di depan pintu banyak tetangga yang datang kesana. "Mbah putri? Apa terjadi sesuatu dengannya?" gumamku. aku langsung menerobos masuk takut mbah putri kenapa-napa. Tapi, waktu aku sudah bisa masuk rumah, mbah putri baik-baik saja. Cuma waktu itu aku liat mbak Ani terbaring di atas dipan.

"Mbah, mbak Ani kenapa?"

Mbah hanya diam menatapku sedih, tidak menjelaskan apa-apa. "Mbah, kalau gitu kami pamit pulang ya, semoga Ani ga kenapa-napa" ucap salah satu tetangga lalu satu persatu dari mereka pergi.

"Mbah kan sudah meperingatkan kamu, tapi kamu ga peduli sama mbah. Ginilah jadinya" nada bicara mbah putri bergetar.

Aku cuma mengamati wajah mbak Ani yang pucat, riasan di wajahnya sudah tidak ada lagi. Aku dengar dari orang yang berkerumun tadi, katanya mbak Ani teriak-teriak di kali waktu nyuci baju. Dan dia dibawa oleh warga yang kebetulan sedang ada di sawah ga jauh dari kali itu dengan keadaan pingsan.

Setelah mbak Ani pulih hari itu juga ga ada yang aneh sih, masih bersikap dan beraktifitas seperti biasanya. Hanya saja tatapan matanya jadi agak kosong dan suka bengong. Aku masih diam dan cuma mengamati saja. Malam harinya, waktu itu tepat pukul 12 malam.

"Hahaha" suara tertawa terbahak memecah malam yang dingin dan sunyi. Bahkan mbah putri yang pendengarannya bermasalahpun sampai terkejut dan terbangun. Kami langsung bergegas menuju kamar yang ditiduri mbak Ani. Betapa kagetnya, saat aku dan mbah putri sedang memergoki mbak Ani yang sedang merias wajahnya.

"Ani! Malam-malam begini ngapain kamu dandan?"mbah putri heran.

"Hihi. Biar cantik mbah. Aku mau kekali ya" mbak Ani beranjak dari depan cermin.

Aku merasa merinding melihat polah mbak yang seperti itu. Aneh, apa dia ga tau ini jam berapa? Kenapa dandan dan tingkahnya semakin aneh.

"Ke kali? Ani kamu sadar ini baru tengah malam ngapain kamu ke kali!"

"Ga papa. Meskipun malam juga aku ga takut kok hihi"

Deg, tawa mbak Ani terdengar berbeda. Seketika itu juga ada hawa dingin yang meniup tengkukku. Ada yang ga beres sama mbak Ani saat itu. Dia berubah jadi semakin centil dan banyak ketawa sendiri padahal ga ada yang lucu.

"Ini masih malam. Kamu ga boleh pergi!" Mbah putri merebut keranjang baju yang telah dijinjing oleh mbak Ani.

"Ga! Pokoknya aku mau ke kali mbah. Aku mau kesana" semakin berontak kuat berebut keranjang baju sama mbah.

Mbah putri ga mau kalah, dia tetap bersikekeh tidak mebiarkan cucu tertuanya pergi malam-malam ke kali. Mbah putri berhasil merebut keranjang pakaian, bukannya berhenti bertingkah, mbak Ani malah semakin berteriak histeris. Dia meraung, mengamuk sambil menangis dan memohon untuk pergi ke kali malam itu juga.

Aku gemetar takut, melihat tingkah Ani yang tidak normal itu. Marah, Ani langsung mengurung diri di dalam kamarnya masih tetap menagis sedih. "Lihat Nimas. Mbak kamu jadi kaya gitu karena ga nurut sama mbah. Dia pasti kesambet itu" ucap mbah dengan ekspresi khawatir.

Aku hanya diam, ga ada yang bisa aku lakukan selain menjadi saksi kejadian aneh itu. Meskipun semakin larut, aku jadi ga bisa tidur, mbak Ani masih kedengeran nangis di kamarnya. Tapi tangisannya terkadang di selingi dengan tertawa terkekeh yang menyeramkan kalau didengar.

"Mbaahhh. Mbaaah tolong. Mbaaahhh toloong" teriak Ani.

Sumpah aku kaget banget. Perasaan lagi ga karuan tiba-tiba denger teriakan kaya gitu langsung glagapan. Lagi-lagi kami menghampiri Ani, dia meringkuk ketakutan di sudut kamarnya sambil menutup wajahnya dengan tangan.

"Ada apalagi? Kenapa kamu teriak-teriak kaya gitu!" Tanya mbah putri.

"Itu. Itu ada setan. Ada setan" mbak Ani gemetar sambil menunjuk pintu kamarnya.

"Setan?" guamku.

"Mana ada setan. Makanya kamu tidur sekarang ga usah aneh-aneh!"

"Aku ga bohong mbah. Ada setan itu di depan pintu kamarku. Dia botak kecil-kecil banyak banget" mbak Ani mulai terisak.

"Sudah, sekarang kamu tidur. Mbah temenin. Besok aku panggilkan bapakmu supaya ngusir setan itu ya, udah sekarang tidur"

Gara-gara ngeyelnya mbak Ani, sekarang bikin repot mbah putri kan!. Kesal, takut, kasihan, campur aduk di perasaanku. Tapi tentang setan yang dilihat mbak Ani tadi... Aku ga lihat apa-apa, hanya saja, aku melihat ada banyak lendir berwarna coklat di depan pintu kamarnya. Cuma sekilas memang, waktu aku noleh lagi lendir itu udah hilang entah kemana.

Siangnya mbah putri meminta tolong pada ojek untuk menjemput pakde supaya datang menemui anaknya. Tapi sayang sekali, pakde masih ada kerjaan di area Purworejo dan baru pulang dua hari lagi. Bagiku dua hari cukup lama, dengan tingkah mbak Ani yang kaya gini otomatis aku ga akan bisa hidup nyaman dan tidur nyenyak selama dua malam lagi.

Kian hari Mbak Ani semakin parah. Dia tertawa sendiri tanpa sebab yang jelas, kadang nagis, dandan merias wajah kalau sudah cantik nanti dihapus lalu dandan lagi. Pusing aku lihatnya. Dan lebih parah lagi, pada setiap selesai dandan angannya pasti pengen pergi ke kali. Ga siang, ga malem, kalau dilarang dia akan ngamuk dan meraung. Hiiihhh, aku merinding mengingat kejadian itu.

**********

Meskipun ngantuk berat tapi ga mungkin kalau ga sekolah, lemes, malam ga bisa tidur nyeyak. Selain mbak Ani yang teriak-teriak juga atmosfir rumah jadi ga enak. Aku berjalan lesu menuju kelas yang runpanya Widya udah dateng duluan.

"Aih. Kenapa kamu lesu gitu? Datangnya juga siang. Biasanya kan kamu duluan yang dateng" Sambut Widya, aku menaruh tasku lalu menggeletakkan kepalaku di atas meja.

"Aku ngantuk banget Wid, dah tiga hari ini ga bisa tidur"

"Lah, kenapa emangnya?"

"Kamu tau mbak Ani kan? Anaknya budeku. Dia kesambet di kali, tingkahnya dah kaya orang ga waras"

"Hah. Kali Silatri itu? Kok bisa!"

"Iya di kali itu. Kemaren itu dia pergi ke kali setelah dandan menor, pulang pulang jadi aneh sifatnya"

Terlihat Widya mencoba untuk menahan tawanya. "Kenapa ketawa!" kesal.

"Haha, ga. Heran aja, lagian kenapa ke kali aja kok pake dandan"

"Ya ga tau. Padahal mbah putri udah memperingati mbak Ani, jadi gini kan akibatnya. Fatal"

"Trus gimana donk nasibnya?"

"Ya ga tau. Tunggu aja pakde datang. Semoga bisa mengatasi semua ini"

Kami menghentikan obrolan setelah Ibu guru masuk kedalam kelas. Hari ini pakde datang, dari Purwokerto dia langsung menuju kerumah mbah putri untuk mengetahui kondisi mbak Ani.

"Apa yang terjadi mbah?" tanya pakde yang baru datang.

"Haduh, lihat sendiri anakmu itu." mbah putri langsung mebawa pakde menuju kamar mbak Ani.

Saat pintu kamar dibuka, lagi-lagi mbak Ani lagi merias wajahnya. "Aku sudah memberinya peringgatan untuk tidak dandan menor saat pergi ke kali itu. Di sana itu angker. Bahkan kamu sendiri pernah menyaksikan nasib Nimas dulu kan? Tapi Ani ga mau denger nasehatku"

Pakde terdiam menatap lekat pada anaknya, kemudian menghela nafas panjang. Sepertinya ini sangat berat untuk pakde. Setelah itu pakde memutuskan untuk membawa mbak Ani pulang kerumahnya, katanya disana agar lebih mudah netralisir dan alangkah lebih baik kalau Mbak Ani jauh dari kali supaya angannya ga ke sana terus. Sebenarnya aku pengen tau gimana cara pakde menetralisir mbak Ani. Tapi kayaknya caranya jauh berbeda dengan cara pakde saat menebusku dulu.