webnovel

Bab 1 Nasi Sisa

"Bunda, Habsyi lapar," ucap bocah berumur empat tahun itu.

Sela menatap wajah putra semata wayang iba, merasa bersalah pada anak sendiri yang baru berumur empat tahun. Seharusnya masa kecil Habsyi, dia habiskan dengan penuh kebahagian, namun harus menderita bersama di sini hidup miskin dalam tekanan.

Pekerjaan Sela masih menumpuk belum selesai menyetrika baju milik suami dan juga ibu mertua. Sela menatap keranjang yang berisi pakain kotor belum dicuci menggunung dalam kamar mandi. Ibu mertua yang cerewet pasti akan marah dan tidak memberikan jatah makan bila pekerjaan belum selesai.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Akibat napas yang sering sesak membuat wanita berlesung pipi itu tak segesit dulu ketika masih gadis mengerjakan urusan pekerjaan rumah tangga. Penyakit asma sering kali kambuh karena terlalu capek dan kurang istirahat mengerjakan pekerjaan di dapur.

Padahal bulan ramadan sebentar lagi akan tiba tidak mungkin Habsyi akan tahan berpuasa seharian karena tidak ada makanan. Sudah tentu Sela sulit untuk mendapat makanan untuk anaknya itu. Haruskah dia menyuruh Habsyi untuk berpuasa juga?

"Sabar ya, Nak. Bunda beresin ini dulu."

Wajah Habsyi berubah murung ketika permintaan untuk makan tidak kesampaian. Bocah kurus itu duduk di pojokan dengan wajah memelas dan kurang nutrisi. Tubuhnya kurus meski dalam  masa pertumbuhan.

Tiba-tiba Arman datang dengan wajah yang memerah. Matanya menatap dengan sorotan tajam ke arah sang istri.

"Kamu lama banget nyetrika dari tadi gak siap-siap. Bayar listrik mahal tau!" hardiknya.

"Anu, Mas. Tadi napasku agak sesak jadi istirahat sebentar."

"Alasan saja. Cepat selesaikan pekerjaanmu dan lap meja makan. Aku lapar mau mengisi perut yang keroncongan."

Arman membalikkan badan hendak meninggalkan Sela, tapi dia mencekal pergelangan tangan sang suami.

"Tunggu, Mas! Bisakah kasih Habsyi makanan dulu. Kasihan dia kelaparan," ujar Sela memelas.

Habsyi hanya memandang laki-laki yang disebut sebagai ayahnya itu dengan wajah memelas dan penuh harap. Perut yang lapar hanya menginginkan makanan sisa seperti biasa. Tanpa lauk pun tak mengapa, asal lambung kenyang terisi.

"Jangan harap, selesaikan dulu pekerjaan baru boleh kalian berdua makan," ketus Arman berlalu.

Lelaki jangkung itu lantas meninggalkan ruang tempat Sela menyetrika tanpa perasaan. Tentu saja wajah Habsy sangat sedih karena mendapat penolakan dari ayah tirinya. Bukan hanya Habsyi yang terluka, tapi sebagai ibu hati Sela tersayat-sayat.

"Bunda jangan nangis, Habsyi bisa menahan lapar."

Entah sejak kapan Habsyi ada di dekatnya. Tangan mungil itu sudah menghapus jejak air mata sang Ibunda yang sedari tadi mentes di pipi. Padahal Sela tak pernah menangis di depan sang anak biasa wanita kurus itu akan menyimpan sendiri rasa perih di hati.  

"Maafin Bunda ya, Nak. Bunda akan segera selesaikan pekerjaan ini supaya kamu bisa cepat makan."

"Habsy bantu ya, Bun."

Dengan tangan kecil itu dia membantu Sela melipat pakain dalam agar secepatnya selesai. Sela takut Habsyi pingsan karena menahan lapar, namun dugan wanita itu salah. Dia lebih kuat dari yang dikira.

Seringkali Sela sesali karena melahirkan bocah itu, bukan tidak sayang. Tapi … membuat ia merasakan kesulitan hidup terasa lebih jahat dibandingkan membunuh ketika janin.

Ketika lima tahun yang lalu Sela berusia dua puluh tahun. Dia jatuh cinta dengan kakak kelas, Rian Dinata, ayah kandung Habsyi. Orang yang tidak tahu kalau Habsyi itu ada di dunia.

Rasa dan cinta itu membuat bodoh, mau menolong  pria itu ketika mabuk membawa ke kosan. Saat itu Sela tak berdaya melawan karena sudah mengambil paksa kehormatannya. 

Sela pikir, Rian orang yang akan bertanggung jawab setelah menodai, nyatanya ia menghilang setelah mengambil harga diri  satu-satunya yang paling berharga. Membuat gadis itu mengandung anak di tengah kesulitan.

Sela hanyalah anak yatim piatu yang menumpang hidup pada bibi dan paman yang tidak pernah memberi kasih sayang. Hidup wanita itu malang, sudah sulit malah ditambah menghadirkan Habsyi ke dunia.

Satu tahun yang lalu, paman dan bibi memaksa menikah dengan Arman. Orang yang kata paman dan bibi bisa menerima Sela dan Habsyi apa adanya. Kalau dipikir Habsyi juga butuh seorang ayah dan Sela butuh pasangan pendamping hidup. Tidak menyangka pernikahan ini malah membuat hidup mereka semakin  menderita.

"Sudah selesai. Ayo kita makan, Nak!"

"Yeey makan," teriak Habsyi girang.

Habsyi berteriak diantara kegetiran hati. Hanya untuk makan saja dia kegirangan. Lantas kedua ibu dan anak menuju ke dapur. Memberikan makan untuk Habsyi sementara Sela mengelap meja makan dan membersihkan dapur.

Bocah kecil itu terlihat lahap menikmati makanan bekas semalam. Tidak memedulikan bahwa sayur yang dia makan adalah sisa kemarin malam. Sedikit pun bocah itu tak protes apalagi mengeluh.

Mungkin Habsyi sadar diri bahwa mereka berdua hanya menumpang hidup di rumah itu. Sejak kecil Habsyi sudah diperlakukan tidak baik oleh paman dan bibi. Sela pikir setelah menikah keadaan ini akan lebih baik. Tapi, ternyata sama saja tidak ada perubahan malah semakin parah.

Pernah suatu hari Sela berniat ingin kabur bersama Habsyi, tapi lulusan SMA sepertinya tak banyak pekerjaan  yang bisa dilakukan. Biaya hidup di kota Medan sangat tinggi, jika ke kota lain juga sama saja. Apa yang bisa ia kerjakan dengan membawa balita sambil bekerja.

Sela pergi membawa balita yang belum bisa apa-apa. Meninggalkan Habsyi yang masih belum cukup umur juga tak mungkin. Sementara dia tidak punya keluarga yang bisa dimintai pertolongan. Akhirnya gadis itu mengurungkan niat kembali ke rumah paman dan bibi dan dipaksa menerima lelaki yang tidak dia cintai sama sekali.

Setelah pernikahan mereka berjalan tiga tahun,  Sela ingin minta cerai dari suami yang kejam dan bebas dari ibu mertua cerewet. Namun, dia tidak punya uang. Sela tidak tahan diperlakukan seperti ini terus menerus oleh ibu dan suami.

"Bunda, ayo makan!" ucap Habsyi mengangkat tangan yang dipenuhi nasi.

Dia makan dengan lahap sembari mengoyangkan kaki duduk di atas kursi kayu meja makan.  Sela hanya mengangguk tanpa mejawab. Dia sudah terbiasa menahan lapar apalagi sejak masa kanak-kanak. Sungguh takdir tidak berpihak kepadanya, sang anak juga mengalami hal yang sama. 

Arman punya saudara perempuan yang tertua sering meminta uang padahal kakak ipar sudah menikah. Tapi yang membuat terluka juga kakak kandungnya itu memperlakukan Sela dan anak itu tidak jauh berbeda dengan Arman dan ibu mertua.

"Habsy sudah kenyang, Nak?" tanya Sela mengusap rambutnya.

"Sudah, Bun," jawabnya mengulas senyum.

Sela mengambil alih piring kotor lantas meletakkan ke westafel untuk dicuci. Wajah anak itu terlihat berseri-seri karena sudah merasakan dengan perut yang kenyang.

Andai Sela bisa memberikan kehidupan yang lebih baik dari tentu keadaan Habsyi tidak akan memperihatinkan seperti ini. Baju yang dipakai pun bekas lungsuran dari anak Vina kakak kandung tertua Arman. Baju itu sudah kumal dan terlihat lusuh sekali sementara Sela tidak punya uang untuk membelikan yang lebih baik.

"Habsyi mau gak bantuin Bunda masak?" tanyanya kemudian.

"Mau, Bunda," jawab bocah itu mengulas senyum.

"Makasih sayang."

Sela mengusap pipi tirus itu dengan lembut sembari merapikan kemejanya. Mengapa Habsyi harus ikut tumbuh kembang bersama ibu yang payah hingga membuat bocah laki-laki itu tak minta apa-apa selain hanya makan.

Kadang hati terasa teriris melihat Habsyi hanya menyaksikan teman sebaya bermain mobil-mobilan sementara dia tak bisa membelikan. Anak seusia Habsyi seharusnya bermain bersama teman-teman dengan gembira. Namun, dia sadar kalau sang ibu tak mampu memberikan itu semua. Dia pun tak pernah banyak meminta apalagi mengeluh.

Sela sadar melahirkan Habsyi adalah kesalahan, namun dia tak pantas menderita bersama.

"Habsyi bantu lap kursi ya, Bunda." Sela hanya mengangguk lantas melebarkan senyum.

Dari arah pintu depan ibu mertua datang dengan dada membusung dan derap sepatu tinggi yang berbunyi. Disertai gemerincing dari gelang emas yang dipakai penuh di pergelangan tangan. 

"Sudah siang begini masih beres-bere terus. Cepat masak buat makan siang! Aku sudah lapar," titah wanita bertubuh tambun itu mengibaskan kipas.

"Iya, Bu."

Sela hanya bisa mengelus dada melihat tingkah ibu mertua yang sudah tua, tapi masih banyak gaya. Padahal usianya sudah separuh baya yang tak pantas lagi untuk hura-hura.

Siang ini, Vina akan datang bersama suami dan anak mereka dan Sela yang harus menyiapkan semua keperluan mereka dari mulai memasak sampai membersihkan rumah. Kadang juga harus menjaga anak Vina dan mengurusnya.

Sela tahu kalau ke datangan mereka ke rumah itu pasti hanya untuk meminjam uang, tapi tak pernah dikembalikan. 

Sela sering menasehati Arman agar tidak tertipu dengan sikap manis sang kakak, namun dia selalu mengabaikan. Malah menuduh yang bukan-bukan dengan mengatakan dirinya iri pada kakak karena tidak diberi uang.

Dari ruang keluarga suara televisi terdengar keras karena wanita tambun itu menyalakan. Tak jauh dari ibu mertua yang menonton telivisi Sela melihat Habsyi bermain mengetuk-ngetuk pintu kaca aquarium. Buru-buru wanita berlesung pipi itu menghampiri sebelum ibu mertua yang cerewet sadar.

"Habsyi menjauh dari aquarium itu, Nak! Kamu tidak boleh sentuh kaca itu apalagi ikannya," ucap Sela menarik tangannya.

"Bunda lihat! Ikannya gak berenang," sahut bocah itu menunjuk ke dalam aquarium.

Sontak wanita dengan sanggul besar itu menoleh ke samping mereka.

"Dasar anak haram ya gitu, susah diatur," cetusnya.

Ucapan sang ibu mertua bagai busur yang menancap tepat di jantung. Kata-kata itu sangat pedas sampai membuat Habsy berlari ketakutan dan memeluknya. Habsyi menyembunyikan wajah di belakang Sela tak berani menatap wanita sangar itu.

***

Bersambung.