webnovel

Tentang Dia

"Udah ada kabar dari Nurul, Him?" Tanya Rindu yang kebetulan singgah ke rumah Hima, bersama para sahabat-sahabatnya.

"Katanya dia kerja di daerah Mertoyudan, tapi aku ga percaya. Waktu aku main ke kontrakannya, aku lihat ada motornya di teras." Jawab Hima sambil meletakkan cemilan ke atas meja.

"Sebenarnya masalah Nurul apaan sih, sampai kamu ikut-ikutan sibuk nyariin dia." Kini giliran Alfa yang bertanya.

"Entah, Ibunya yang minta aku bantu nyariin dia."

"Kamu ga mau cerita sama aku, bagaimana pun Nurul itu sahabat kita, jadi ga ada lagi rahasia diantara kita." Tukas Rindu.

"Waktu Aku balik ke Magelang, aku mampir ke kontrakannya yang di Sleman, tapi kata ibu-ibu yang punya kontrakan, Nurul udah hampir satu bulan ga balik ke kontrakannya." Yana memberi tahu sahabatnya.

"Kalo kamu Rim, ada info apa tentang Nurul?" Hima menatap Karim yang duduk di sebelahnya.

"Ga ada, Him! atau jangan-jangan dia emang pergi ke Mertoyudan ngejar si Ahmad, adiknya Mas Ardan, Tahu sendiri sifat Nurul semakin di tolak semakin gencar mendekat."

"Ealah, Ahmad kan udah nikah, senakal-nakalnya Nurul, mana mau dia ama laki orang." Tukas Rindu.

"Kalian juga tahu Ahmad udah nikah?" Tanya Hima.

"Beritanya udah nyebar ke seluruh kampus waktu itu." Jawaab Alfa.

"Bagaimana perasaan kamu, waktu tau incaran kau nikah, patah hati dong?" Rindu senyum-senyum sendiri sambil menatap Karim.

"Ya, lumayan lah...lumayan patah hati, tapi ya udahlah mungkin belum jodoh, mau gimana lagi? Jawab Karim sambil memainkan jari-jari tangannya.

"Him, menurut aku nih, Nurul lagi terlibat masalah yang besar deh, sampai ibunya minta tolong sama kamu buat nyariin dia." Kata Alfa sambil mengerutkan dahinya.

"Ga boleh suudzon, siapa tahu dia hanya butuh waktu buat sendiri." Ucap Rindu.

"Ngomong-ngomong udah pada bikin soal PAS belum?" Tanya Alfa.

"Aduh puyeng dah kalo ngomong PAS." Ujar Karim.

"Enak tuh Rindu, kerja bisa semaunya sendiri, ga ada yang atur tapi duit teratur." Jawab Hima.

Rindu tersenyum, "Iyalah kerja sendiri gaji diri sendiri duitnya dimakan sendiri."

"Him, abang kamu kemana dari tadi ga kelihatan?" Tanya Alfa

"Nah, ketahuan berarti bener dia ngajak kita ketemuan disini karena ada yang pingin dilihat, modus kamu tuh." Tukas Karim.

"Ini salah satu ikhtiar mencari jodoh, para sobat jombloku yang manis," Ucap Alfa membela diri.

"Hemmm...." Para sahabatnya ramai berkomentar.

***

Dengan kedatangan sahabat-sahabatnya, hati Hima menjadi sedikit terhibur, paling tidak dia menjadi tidak merasa sendiri, masih ada sahabat-sahabatnya yang selalu setia menemaninya dikala sedih ataupun senang.

"Hima, Apa ibu menganggu?" Ucap Ibunya yang berdiri dipintu kamar Hima sambil membawa segelas teh hangat.

"Ndak kok bu, masuk aja bu." Jawab Hima sambil merapikan buku-buku diatas meja kerjanya, dia mengurungkan niatnya untuk melanjutkan membuat soal-soal PAS, Hima hafal betul jika ibunya datang ke kamarnya pasti ada hal penting yang akan disampaikan oleh Ibunya ini.

"Kamu sedang apa to, Him?" Tanya ibunya sambil meletakkan teh manis yang ia bawa ke atas meja kerja Hima.

"Cuma merapikan buku aja, biar ga terburu-buru besok berangkat ke sekolah." Jawab Hima sopan.

"Ibu mau bicara sesuatu sama kamu,"

"Silahkan bu, akan Hima dengarkan."

Ibu Hima duduk dipinggir ranjang, sedangkan Hima memutar kursinya agar bisa berhadapan dengan ibunya.

"Tapi kamu jangan marah ya," Kata Ibunya Pelan.

"Inshaallah ga buk, memangnya ada apa to buk?" Tanya Hima penasaran.

"Kamu tahu putra Pak Burhan? teman bapakmu, yang punya pabrik tahu di kampung sebelah?"

"Siapa bu?" Hima mengerutkan dahi.

"Farhan, dia baru pulang dari Jakarta, dan mau tinggal disini untuk melanjutkan usaha bapaknya." Ibu Hima menjeda perkataannya.

Hima menatap Ibunya penasaran, kemudian Ibunya melanjutkan perkataannya.

"Pak Burhan ingin menjodohkan kamu sama Farhan." Ucap Ibunya sambil menunduk.

Hima menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan,"Ibu dan Bapak setuju?"

Ibu menatap wajah Hima dengan seksama, "Itu semua tergantung kamu, ndok. Ibu sama Bapak ga mau memaksa kamu."

"Baiklah bu, Hima akan memikirnya dulu." Jawab Hima pada akhirnya.

"Ya sudah, kamu sekarang istirahat ya, besok ndak kesiangan, ibu juga mau istirahat dulu." Ucap Ibunya sambil beranjak dari ranjang, kemudian melangkah keluar dari kamar putri satu-satunya itu.

Setelah kepergian ibunya, Hima beranjak dari kursi kerjanya, melangkah menuju jendela yang telah tertutup separo. Lagi, Hima menatap gelapnya malam tanpa ada bintang yang menghiasi langit, semua terlihat gelap, sunyi dan suram. Hanya suara jangkrik yang menjadi irama pekatnya malam.

"Ya Allah hanya Kau yang tahu yang terbaik bagi hamba, jagalah hamba dari setiap keburukan hati manusia, dan jahatnya bisikan syetan." Hima bergumam, tangannya semakin erat mengengam jeruji kayu jendela kamarnya.

Malam kian larut, hanya keheningan yang menunjukkan kesunyian, namun hati hima tak sesunyi malam, hatinya gaduh tanpa ada bahasan yang terjawab, tanpa ada ujung dari sebuah kebisingan jiwanya.

Hima menutup jendela kamarnya, dan membaringkan tubuhnya di ranjang, berharap ia akan tertidur dengan pulas agar bisa terbangun disepertiga malam, dia ingin minta petunjuk pada Allah, agar ia tak salaah dalam mengambil keputusan.

Dengan sajadah yang terhampar di lantai kamarnya, Hima memanjatkan doa agar diberi petunjuk yang terbaik oleh Allah, keputusan apa yang harus ia ambil.

Hima mencurahkan kebisingan dihatinya, mencurahkan suara hati yang tak terdengar, inginnya dia menyingkap tirai kelam kisah cintanya, melepaskan belenggu kesedihan dalam hatinya, beginikah pada akhirnya? kisah cintanya berakhir pada sebuah perjodohan?

Tapi Hima justru meragu, seperti ada sebuah nama yang masih mengantung di dalam hatinya, walau entah siapa dan kapan ia tak tahu.

Cinta yang diperjuangkan dalam doa disepertiga malam

mengharap sebuah jawab, walau hati tak siap

Mencintai dalam diam, mencintai dengan rahasia

mencintai dalam barisan doa tanpa berkesudahan

Menitipkan cinta dalam doa,

Menitipkan jawab yang sesuai harap,

Menitipkan dia sang pelengkap jiwa,

Menitipkan dia sang penyempurna agama,

Kasih, dengarkanlah doa disepertiga malamku

Menyebutmu penuh rindu

Menunggumu bersama dentingan waktu

Meratap, bermuhasabah demi cinta yang kutunggu

***

KRiiiiiNGGGGG

Jam weker di meja nakas berbunyi nyaring memekakkan telingga, Erlangga mengagap nakas demi menghentikan sebuah bunyi yang melengking membangunkan raganya.

Jam tiga pagi, Erlangga bangkit dari tempat tidurnya ketika tangannya berhasil mengapai jam yang berbentuk boneka beruang pemberian adik kelasnya.

Erlangga keluar dari kamar menuju kekamar mandi, seperti sebuah keharusan dia selalu mengerjakan sholat tahajud setiap hari, namun kali ini berbeda karena tidak hanya dia yang melakukannya, tapi Joko sahabatnya yang baru datang tadi pagi, rupanya mempunyai kebiasaan yang sama.

Erlangga tersenyum samar melihat Joko melakukan sholat tahajud dengan khusuk, masih ingat betul dengan harapan Joko bahwa dia ingin istri yang cantik dan juga kaya. Apakah ini salah satu ikhtiarnya? pikir Erlangga. Ia mengelengkan kepalanya pelan kemudian menuju kamar mandi yang tak jauh dari kamar Joko.