webnovel

DI ANTARA GEMINTANG

Apa yang akan kamu lakukan seandainya kamu menemukan sebuah mesin waktu dan melihat masa depanmu bukanlah seperti yang kamu harapkan? Zie, seorang mahasiswi fakultas keperawatan tingkat akhir, ia sudah bertunangan dengan kekasihnya Harsya dan berencana untuk menikah beberapa bulan lagi setelah Zie diwisuda. Zie sangat mencintai kekasihnya dan impian terbesarnya adalah jadi istri dan menmenghabiskan seluruh hidupnya bersama Harsya, dan menjadi istri serta ibu dari anak-anak kekasihnya. Sebuah Keluarga bahagia. dan menua bersama Harsya. Sayangnya semua impiannya hancur begitu saja ketika suatu malam, sebuah peristiwa misterius terjadi. Dia mendapati kenyataan kalau suaminya di masa depan bukanlah Harsya tapi Ali, orang yang sangat dibencinya sekaligus musuh bebuyutannya. Malam itu seorang perempuan paruh baya yang mengaku berasal dari masa depan yang juga merupakan anak mereka. Dia datang untuk menyatukan cinta Zie dan Ali. Kepada siapa Zie kan melabuhkan cintanya? Harsya, sang kekasih yang sangat dicintainya atau Ali, si musuh bebuyutan yang perlahan tapi pasti memasuki kehidupannya? https://www.facebook.com/alanylove.alanylove Instagram @alany828

AlanyLove · General
Not enough ratings
141 Chs

Bukan Aku Yang Memulai Keributan

"Masih pusing?" tanya Ali penuh perhatian saat kami berpapasan di depan kamar mandi

Aku tertegun menatapnya kemudian menggeleng dan menatapnya tanpa senyum. Rasanya aneh melihatnya menyapaku begitu lembut dan penuh perhatian. Aku kembali berjalan ke kamar yag kutempati tanpa menghiraukannya.

"Non, makan dulu," kata mbok Tu pembantu mak Ijah saat aku melintasi dapur.

"Sebentar, mbok. Yang lainnya sudah belum?" aku tersenyum ramah pada perempuan yang berusia sekitar empat puluh tahun itu.

"Sebagian sudah, Non."

"Ya, saya segera menyusul. Terima kasih, Mbok." kataku kemudian.

"Baik, Non, permisi." Mbok Tu tersenyum dan keluar ke halaman belakang.

Aku bergegas ke kamar, setelah merapikan penampilanku, aku segera menuju ke meja makan. Hanya tinggal Ria dan Atikah yang sedang menikmati makan siang mereka sedang yang lain telah berkumpul di ruang tamu dan mulai berdiskusi. Aku segera bergabung dengan Ria dan Atikah, menikmati nasi urap dengan lauk ikan asin yang disediakan tuan rumah yang siang ini terasa sangat lezat.

Selesai makan, kami bergabung dengan yang lainnya di ruang tamu, sesuai agenda yg kami sepakati di jalan tadi kalau kami akan mengundi partner pendataan dan tempatnya. Dusun Sambi terdiri dari empat RT, karena itulah kami akan membentuk empat kelompok yang terdiri empat kelompok berisi satu lali-laki dan satu kelompok lagi terdiri dari tiga perempuan.

"Aku pilih yang bertiga saja, ah." kataku di antara suara riuh mereka. Sebenarnya aku merasa kurang nyaman seandainya aku berpartner dengan Ali meski karena sisi lain hatiku kini mulai terisi olehnya..

"Tidak bisa! Kita sudah sepakat untuk diundi." sergah Ria.

"Iya, aku juga tidak setuju!" kali ini Airin dan Seri bersuara hampir bersamaan.

Aku mengerucutkan bibirku, tatapanku segera bertemu dengan tatapan Ali yang tak bisa kuartikan. Aku segera mengalihkan tatapanku kepada anak-anak yang memprotes usulku tapi mereka tak menghiraukanku.

Airin menuliskan angka satu sampai empat di sebuah kertas kecil masing-masing dua lembar kecuali kelompok empat yang terdiri dari tiga lembar dan memisah gulungan berisi angka-angka menjadi dua bagian. Satu bagian terdiri dari angka satu sampai tiga untuk para cowok sedang untuk para cewek selain angka satu sampai tiga ditambah tiga buah kertas dengan angka empat.

Ali memerintahkan kami untuk masing-masing mengambil satu buah gulungan berdasar jenis kelamin. Aku sempat berebut dengan Airin saat mengambil gulungan kertas itu dan berharap aku dapat angka empat hingga aku berada dalam kelompok yang terdiri dari tiga orang tapi harapanku tidak terkabul karena aku mendapat angka tiga. Aku hanya bisa berharap semoga bukan Ali yang menjadi partnerku.

"Oke yang dapat angka satu siapa saja?" tanya Ali setelah kami membuka gulungan kertas.

Ria mengangkat dan menunjukkan gulungan kertas kecil yang sudah di buka di depan dadanya sementara Lucky meletakan kertas itu di atas meja.

"Kelompok satu, Ria dan Lucky," Ali menatap kedua orang itu bergantian. "Kelompok dua?"

"Kelompok dua, Airin dan Rendi," lanjut Ali setelah melihat keduanya menunjukkan angka dua.

Aku mengerutkan keningku, itu artinya, aku dan Ali ada di kelompok tiga karena kelompok empat terdiri dari tiga orang cewek. Seketika aku merasa dadaku berdegup lebih cepat.

"Kelompok tiga?" Ali menyapukan tatapannya padaku dan keempat temanku, aku meremas kertas kecil yang ada di tanganku.

"Kelompok empat?" karena kami berempat tak merespon, Ali segera menyebut kelompok selanjutnya dengan mata memandang curiga ke arahku. Dia pasti sudah bisa menebak kalau aku yang satu grup dengannya.

Seri, Atikah dan Ani segera menunjukkan kertas yang dipegangnya.

"Kelompok empat, Seri, Atikah dan Ani, berarti kelompok tiga, aku dan Zie," kata Ali dengan bibir menyeringai.

Seketika aku ingin memprotes hasil undian yang baru saja kami lakukan tapi tatapan Ali yang dingin terasa mengintimidasiku membuatku merasa tak nyaman. Seketika aku ingin memprotes hasil undian tatapannya yang dingin terasa mengintimidasiku membuatku merasa tak nyaman.

Airin mencatat nama-nama kami berdasar kelompok di atas white board yang disandarkan di atas kursi. Airin menggulung lagi kertas bertulis angka satu sampai empat dan memasukkannya ke dalam mangkuk.

"Boleh tukar partner?" tanyaku setelah beberapa saat, aku menatap sekeliling untuk mendapat persetujuan dari yang lain. Aku segera membeku saat mataku bersitatap dengan mata dingin Ali.

"Aku mau, Zie," Airin nyengir. Aku tahu dia memang sangat berharap dapat bersama Ali karena dia sudah lama suka pada cowok itu.

"Oke, berarti aku sama Rendi dan kamu sama dia," aku tersenyum puas.

"Keputusan tidak dapat diganggu gugat!" Ali berkata dengan dingin. "Apa gunanya kita membuat undian kalau akhirnya ditukar-tukar."

Aku menatap Ali dengan jengkel dan dia balas menatapku dengan tatapan dinginnya. Tiba-tiba sebuah senyum jahil tercetak di bibirnya. Melihat hal itu aku merasa tak berdaya, seluruh tulangku seperti dicabut dari tempatnya dan nafasku terasa berhenti.

Rendi dan Lucky tersenyum mendengar keputusan Ali sementara Airin langsung cemberut karena kecewa tak bisa Ali. Suara bisik-bisik segera terdengar di kalangan para cewek karena yang mereka tahu aku dan Ali saling membenci. Mereka menduga aku tidak mau berpartner dengan Ali karena hal itu dan menduga penolakan Ali karena dia ingin memperlakukanku dengan buruk.

Sejenak suasana berubah menjadi tegang karena perselisihan aku dan Ali.

"Lupakan permusuhan abadi kalian, kita di sini untuk bekerja sama," celoteh Rendi untuk mencairkan suasana.

"Iya, Zie. kita tak punya banyak waktu di sini," tambah Seri.

"Setengah jam lagi, para kader akan datang. jadi jangan sampai kalian masih bersitegang."

"Bukan aku yang memulai keributan," kata Ali cuek, tatapannya masih terarah ke mataku.

Aku balas menatapnya sampai mataku melotot saking jengkelnya tapi Ali tak mengacuhkannya dia bahkan memerintahkan tiap kelompok untuk mengambil kertas undian lagi untuk menentukan lokasi pendataan.

Seri, Atikah dan Airin mengambil satu gulungan kertas itu dan menyisakan satu buah di sana, itu artinya gulungan kertas yang masih ada di sana adalah lokasiku dan Ali melakukan pendataan. Aku mengambil kertas yang tersisa dan dengan membukanya dada berdebar. Aku berharap aku mendapatkan medan yang mudah dan tak jauh dari tempat ini tapi aku harus mengubur harapanku saat satu persatu kelompok membuka nomor undian untuk lokasi pendataan.

Aku menghembuskan nafas kesal saat membaca tulisan yang ada kertas itu dan mendapati angka empat yang tertera di sana. Angka empat berari berarti aku dan Ali mendapat lokasi yang paling jauh dengan medan yang paling sulit karena rumah-rumah di sana agak terpisah dari rumah penduduk yang lain, lokasinya tepat di bawah hutan lindung.

***