webnovel

Devil into Angel

Jovanka Alexandra, seorang gadis yang beranjak dewasa tengah menempuh pendidikan sebagai mahasiswi fakultas hukum menjalani hidupnya yang penuh dengan ke normalan dan penuh kebahagiaan. Memiliki paras cantik dan kepribadian yang sangat riang namun pemalas tapi tetap disukai oleh banyak orang. Akan tetapi, semua hal-hal indah dan penuh kebahagiaan dalam hidupnya mendadak harus lenyap karena Jovanka mengalami suatu kejadian buruk yang menimpa dirinya. Dan sejak saat itu, kehidupan Jovanka berubah hanya dalam waktu sekejap. (Terdapat unsur-unsur kalimat 18+) [HIATUS]

Wassap29 · Fantasy
Not enough ratings
11 Chs

It’s Ok

Sesuai dengan ekspektasi, Hans sudah mengira bahwa Jovanka akan mendapatkan serangan bom berupa panggilan telfon tanpa henti dari ayahnya dan juga Phill.

Hans yang melihat itu tentu saja hanya bisa menghela nafasnya pasrah sementara Jovanka hanya terdiam sambil menatap Hans takut tanpa ada niatan untuk menjawab panggilan telfon tersebut.

Setelahnya Hans berinisiatif untuk menghubungi ayahnya Jovanka, setidaknya bisa mengurangi rasa khawatir ayahnya Jovanka dan juga supaya Phill tidak dimarahi habis-habisan oleh ayahnya Jovanka.

"Oke om, maaf ya om sebelumnya" saut Hans sebagai kalimat terakhir lalu setelahnya Hans menutup sambungan telfonnya dan menyerahkan ponsel Jovanka kepada pemiliknya itu yang saat ini sedang cengar-cengir tidak jelas.

"Udah, ayo balik! Kasian tau Phill hampir mau di gantung gara-gara lo" ketus Hans.

"Apaansi, lebay banget"

"Gue serius, barusan ayah lo bilang begitu"

"Ayah gue ga psycho ya!" Hans hanya terkekeh mendengar balasan dari Jovanka, tangannya terulur untuk menjawil hidung sahabatnya itu kemudian Hans berlalu hendak menuju kamar mandi. Tapi tangan kecil Jovanka menahan tangan Hans, membuat laki-laki itu menolehkan kepalanya menatap Jovanka. "Apaan?"

"Ini serius balik? Lo kan sakit, gue juga baru dateng. Masa gamau diem dulu sih?" Tutur Jovanka.

"Gue udah sembuh, dan lo udah harus cepet-cepet dibalikin ke ayah lo" bales Hans sambil melepaskan tangannya Jovanka.

"Hans, gue males balik!"

Mobil Hans terparkir dengan sempurna di basement kantor milik ayahnya Jovanka. Ayahnya memang berpesan untuk mengantarkan Jovanka ke kantor, karena ayahnya ingin melihat apakah Jovanka benar baik-baik saja atau tidak.

Ya, inilah yang terjadi jika Jovanka ketauan pergi sendirian tanpa ada Hans atau bodyguard di sampingnya. Bukan posesif, tapi hanya lebih ke khawatir saja. Setidaknya itulah mindset dari Jovanka dan Hans, lain cerita kalau orang lain yang mendengarnya.

"Ayo turun"

"Mending jalan-jalan aja deh yu, ayah gue kan udah tau kalau gue lagi sama lo" rengek Jovanka yang masih menolak untuk bertemu dengan ayahnya.

"Kenapasih Jo? Daritadi lo gamau terus, kenapa? Lo takut dimarahin?" Tanya Hans lalu Jovanka menganggukan kepalanya kecil.

Jovanka saat ini memang merasa takut, karena memang pertama kalinya Jovanka membangkang perintah dari ayahnya. Jovanka sendiri tidak pernah melihat ayahnya marah memang, ayahnya orang yang baik. Tetapi Jovanka juga percaya kalau marahnya orang baik itu menyeramkan.

"Ayah lo ga akan marah. Percaya sama gue"

"Bisa lo ngomong gini! Emangnya lo peramal

Apa bisa nebak-nebak?"

"percaya sama gue… kapan sih gue boong?"

"Barusan? Bilangnya sakit tapi malah gesek-gesek sama cewe"

"Yeh mulutnya! Gue udah sembuh tau, lagian kan sakit tu bukan cuman demam doang… sakit kepala, sakit badan, sakit perut.. itu semua kan sakit"

"Alah! Kontol lo kali yang sakit gara gara gabisa onani. Jadi makanya lo manggil cewek buat lemesin, iyakan?!" Hans tertawa akibat mendengar Jovanka mengatakan kata-kata vulgar yang hanya bisa di dengar oleh Hans saja.

Sekali lagi, Jovanka bukanlah anak polos yang tidak mengerti gelapnya sisi dunia. Jovanka mengerti semuanya, hanya saja Jovanka sangat pintar sehingga bisa menempatkan dirinya dengan sangat baik.

"Yaudah sih Jo, lagian kenapa lo jadi ngegas gini sih? Tadi pagi di telfon lo baik-baik aja perasaan"

"Mana ada! Gue udah ga percaya pas lo bilang sakit, kaya gamungkin aja tiba-tiba badan lo langsung lemah kaya begitu" jawab Jovanka ketus sembari mendelik Hans.

"Yaudah iya.. gue minta maaf, lo bisa kaya gini juga kan ada gue disitu terlibat. Harusnya gue ga biarin lo pergi sendirian"

"Gue pengen bilang kalau ini salah gue tapi cape saling salah-salahan mah gaakan ada ujungnya. Udah ayo turun, tapi-"

"Tapi apa?"

"Gue gamau balik"

"Siap tuan puteri! Sehabis menghadap paduka raja, hamba akan mengantarkan tuan puteri kemanapun"

"Apasih Hans, cringe banget!"

"Nona Alex!" Seru Phill sambil berlari menghampiri Jovanka dan Hans yang baru saja keluar dari lift.

"Hai Phill, maaf ya.. kamu dimarahin ya sama ayah?" Ucap Jovanka sembari tersenyum masam.

"Ga masalah nona, saya ga masalah di marahi sama tuan. Yang terpenting keadaan nona sekarang? Nona ga apa-apa kan?" Satu tangan Phill terulur memegang bahu Jovanka, kemudian matanya menelisik dari ujung kepala sampai ujung kaki. Memastikan apakah keadaan Jovanka baik-baik saja atau tidak.

"Aku baik-baik aja Phill… kamu gausah khawatir. I'm ok"

"Syukurlah kalau begitu, terima kasih banyak tuan Hans sudah menjaga nona Alex"

Hans tersenyum kemudian dia menepuk pelan bahunya Phill, "gapapa. Santai aja, justru saya minta maaf karena ngebiarin Jo pergi sendirian"

"Ga masalah tuan"

"Yaudah Phill, aku sama Hans masuk dulu ya"

"Baik nona, silahkan. Tapi kebetulan tuan sedang ada pertemuan, nona bisa menunggu"

"Ok Phill"

Kehadiran Jovanka dan Hans di ruangan ayahnya entah kenapa mendadak mencekam. Jovanka terus menggenggam tangan Hans, padahal ayahnya pun belum muncul tapi Jovanka sudah deg-degan bukan main.

"Tangan lo dingin amat"

"Berisik! Gue lagi deg-degan nih"

Hans menggelengkan kepalanya, heran melihat tingkah sahabatnya yang satu ini.

Beberapa menit kemudian, pintu ruangan ayahnya Jovanka terbuka. Sontak Jovanka dan Hans langsung berdiri, muncul lah sosok ayahnya Jovanka yang berjalan masuk dengan santai. Bahkan beliau masih menyempatkan untuk tersenyum kepada mereka berdua.

"Ngapain kalian berdiri? Mana tegang gitu mukanya" ucap ayahnya Jovanka.

"Ayah-"

"Hans, makasih ya udah pastiin Alex baik-baik aja. Untung dia pergi ke tempat kamu, kalau engga mungkin om juga bingung" saut ayahnya Jovanka kepada Hans sambil tersenyum.

"Sama-sama om, justru Hans minta maaf karena biarin Jovanka sendirian"

"Bukan salah kamu, emang ini aja anaknya yang bawel" bales ayahnya Jovanka sembari tangannya menjitak kepala Jovanka. Namun tidak ada kalimat protes dari Jovanka, karena dirinya merasa pantas mendapatkan jitakan dari ayahnya.

"Maafin Alex ya ayah.. Alex lupa beneran lupa" ucap Jovanka seraya menundukan kepalanya, rasa takut akan dimarahi oleh ayahnya kembali menghantui dirinya saat ini. Sementara itu Hans tersenyum geli, padahal sudah jelas-jelas kalau ayahnya Jovanka sama sekali tidak terlihat marah.

"It's ok.. ayah ngerti ko. Ayah cuman khawatir aja nak.. ayah ga biasa aja kalau kamu pergi tanpa mereka. Ayah lega kamu baik-baik aja, anak ayah emang udah besar ternyata" senyuman di wajah Jovanka mulai terlihat, setidaknya ayahnya memang tidak marah sama dia. Entah kalau Hans tidak berada di sini, apa yang akan terjadi pada dirinya.

"Tapi lain kali jangan begitu ya? Kalau memang kamu mau pergi sendirian seengganya bilang dulu, jangan langsung pergi gitu aja. Kamu bikin banyak orang khawatir"

"Iya ayah, maafin Alex. Beneran deh, ini yang terakhir. Alex gaakan lagi ngulangin kesalahan Alex" ayahnya Jovanka tersenyum kemudian menganggukan kepalanya sembari tangan beliau terulur untuk mengusap lembur surai putri sematawayangnya itu.

"Tapi om.. ini anak mau dimarahin sampe di kerem juga ga apa-apa. Biar kapok om"

"Hans apasi!"