Suara dentuman musik yang begitu memekakkan telinga terdengar begitu kuat di dalam bangunan yang orang-orang kenal sebagai diskotik atau club malam. Banyak pasangan muda mudi yang tengah menari di lantai dansa untuk menikmati panasnya malam ini.
Tak hanya di lantai dansa, di meja bar dan beberapa sofa yang disediakan pun penuh dengan pengunjung yang ingin menghabiskan malam di tempat tersebut. Salah satunya sebut saja Renata. Gadis manis berusia dua puluh tahun yang nyaris tiap malam selalu menghabiskan waktunya ditempat penuh maksiat tersebut.
Kali ini gadis itu datang untuk melenyapkan beban pikirannya karena baru saja ia diputuskan oleh sang pacar. Ditinggalkan karena perempuan lain baginya begitu menyakitkan. Hanya karena ia tak mau melepaskan mahkota berharganya yang selalu dituntut oleh kekasihnya tersebut.
"Wine nya lagi..." teriak Rena yang sudah mabuk.
"Maaf nona, anda sudah sangat mabuk." Ucap sang bartender.
Rena melirik bartender itu dengan tatapan tak suka. "Hei. Aku pelanggan di sini. Kau ingin aku laporkan pada atasanmu?"
Sang bartender hanya geleng-geleng kepala melihat Renata yang sudah nyaris pingsan namun masih bersikeras untuk minum. Malas berdebat, akhirnya pria itu memberikan minuman yang diminta oleh Rena untuk bisa diteguk oleh gadis tersebut.
Rena menggapai gelas minumannya, namun selalu meleset. Ia melihat gelas itu berubah menjadi tiga yang membuatnya sulit untuk menggenggam.
"Sudah kukatakan, kau sudah mabuk berat nona.."
"Diam kau. Jangan urus aku. Urus saja pekerjaanmu!" Teriak Rena kembali. Namun sedetik kemudian gadis itu menangis histeris, membuat beberapa pengunjung yang ada di sebelah Rena melirik miris kearahnya.
"Jangan perhatikan dia. Dia selalu seperti itu jika sudah mabuk.." ucap bartender saat melihat wanita disebelah Renata sudah menatap Rena heran.
"Dia pelanggan di sini?" tanya si wanita. Bartender itu hanya mengangguk sekali untuk mengiyakan.
Sementara itu dari arah pintu masuk, seorang pria berseragam santai masuk ke dalam. Ia melirik dan mencari seseorang yang seharian ini sudah mengganggu tidur nyenyaknya.
"Kau nona kecil yang menyebalkan!" gumam pria tersebut saat matanya akhirnya menangkap sosok yang ia cari. Dengan perasaan kesal, ia melangkah menuju gadis yang sudah tak sadarkan diri.
"Kau menyusahkan sekali nona kecil.." ucap sang pria saat ia sudah sampai di sebelah gadis yang sudah mabuk berat itu, siapa lagi kalau bukan Renata.
"Kau datang Ervin? Syukurlah. Bawalah nona ini pergi. Aku takut dia mengacau disini." Ucap bartender pada pria yang dipanggilnya Ervin tersebut.
"Dia sudah mengacaukan hariku Farel, kau tahu? Orangtuanya menelponku dan mengatakan gadis kecilnya menghilang dan minta untuk dicari saat itu juga." Curhat Ervin pada Farel sang bartender. Bahkan wajah Ervin saat menceritakan curhatan orang tua Rena, ia menampilkan raut kesalnya.
Farel seketika tertawa, ia tak tega melihat sahabatnya itu disiksa oleh gadis di depannya ini. "Aku akan membawanya." Ucap Ervin.
"Silahkan. Daripada dia mengacaukan bar ini.." jawab Farel dengan tampang menyebalkannya.
Ervin menatap Renata yang sudah terlelap. Sesekali ia menggeleng melihat tingkah Renata yang bergumam tak jelas. "Huuh! Ayo kita pulang nona.." Ervin mengangkat lengan Rena dan melingkarkan di lehernya, menarik Renata kebelakang agar gadis itu terbaring dan langsung ia tangkap. Setelah aman, Ervin memasukkan tangan kananya pada bagian bawah lutut Rena dan langsung mengakat gadis itu.
"Hati-hati bro, dia nyaris menghabiskan tiga botol wine. Jaga mobil mahalmu agar tak dimuntahkan.." teriak Farel sembari tertawa membuat Ervin mendelik jengkel.
Bobot tubuh Rena yang tak terlalu berat, memudahkan Ervin untuk membawa gadis itu menuju mobilnya. Sedangkan untuk mobil Rena, ia akan meminta sopir dari keluarga Rena yang menjemputnya.
*◊*◊*◊*◊*
Matahari mulai menyapa. Kicauan burung sudah mulai saling bersahut-sahutan untuk menciptakan melodi sendiri di hari ini. cahaya matahari yang menyilaukan, dengan tak sopannya menyelinap masuk melalui celah gorden kamar Rena dan tepat mengenai wajah gadis tersebut.
Rena merasa terusik dan mulai menggeliat. Namun dengan cepat ia menyentuh kepalanya yang terasa sangat sakit. Kepalanya seperti ditusuk jarum membuatnya sulit untuk membuka mata.
Sebisa mungkin Rena mencoba menormalkan tubuhnya dan sedetik kemudian ia dibuat kaget dan langsung terduduk saat netranya melihat sang mami sudah berdiri dengan tangan dilipat ke dada.
"Sudah bangun nona manis?" ucap Mirna yang mulai jengkel dengan kelakuan sang anak.
Renata yang sadar dengan gaya bicara mami nya langsung tersenyum menampakkan semua gigi rapinya, "Eh Mami. Kok pagi-pagi udah datang aja mi..." ucap Rena dengan senyum manisnya.
Mendengar perkataan sang anak, Mirna langsung memajukan tangannya dan menarik kuping sang anak membuat Rena berteriak kesakitan.
"Pagi? Kamu bilang pagi? Udah jam sepuluh gini kamu bilang pagi?" Mirna semakin menarik daun telinga sang anak membuat Renata semakin mengaduh kesakitan dan mencoba melepaskan jeweran sang mami.
"Sakit Mi. Ampun, lepasin mami..!" teriak Rena dan ia bisa sedikit lega karena tangan ajaib maminya sudah terlepas.
Rena mengusap lembut telinganya yang terasa panas. "Mami main tarik aja. Nanti lepas gimana.."
"Biarin! Buat apa punya kuping tapi nggak mau dengerin omongan mami.." geram Mirna pada anak bungsunya itu.
Rena mencebik kesal. Ia melirik kesekeliling, dan benar dugaannya, ia berada di dalam kamarnya sendiri. Rena tampak berpikir, bukannya semalam ia ada di diskotik? Kenapa sekarang bisa disini?.
Rena langsung melirik mami nya kembali, dan seolah paham akan lirikan sang anak, Mirna langsung memberitahu, "Papi kamu marah besar kemaren saat tahu udah tengah malam kamu belum pulang." Ucap Mirna.
Renata seketika menggigit bibir bagian dalamnya saat sang mami bercerita. Apa? Papinya? Mampus sudah. Bisa dipastikan mobil bakalan ditarik lagi nih.
"Mi..." Renata menatap maminya dengan wajah memelas mengiba.
"Tidak! Mami nggak mau lagi bantuin kamu. Ujung-ujungnya bakalan diulang lagi." Ucap Mirna tegas.
"Tapi mi.."
"Ini resiko yang harus kamu tanggung. Kamu sudah dewasa, jadi silahkan tanggung jawab sendiri.." Mirna langsung berbalik arah dan berjalan menuju pintu. Dengan cepat Renata mengejar walaupun ia merasa kepalanya masih sakit.
"Mi, Mi, Rena mohon mi. Bujuk papi ya.." mohon gadis itu dengan mata memelasnya.
"T.I.D.A.K.!! kamu harus belajar bertanggung jawab.." tegas sang mami.
"Tapi kali ini Rena janji mi. Rena nggak akan keluar malam lagi. Kemaren itu Rena ada kejadian tragis mi..."
Mirna melirik sang anak. "Kejadian targis?" tanyanya penasaran.
Renata mengangguk, "Tragis banget mi.." balasnya.
"Emang kamu ngapain? Kecopetan?"
"Kecopetan nggak mungkin Rena bisa ke club mi.."
"Trus apa dong? Mobilnya mogok?"
Rena lagi-lagi menggeleng, "Dimarahin dosen?"
"iiiii bukan mami. Tapi diputusin Dinar."
Mendengar jawaban sang anak, Mirna langsung melayangkan telapak tangannya pada lengan Rena yang terbuka membuat anaknya itu mengaduh.
"Mami! Kenapa dipukul..!" teriak Rena.
"Kamu ya. Benar-benar. Cuma gara-gara putus cinta, kamu nyiksa diri sampai segitunya?"
"Iiii, mami, Dinar itu cinta mati Renaaaa.." rengeknya.
"Iya! Saking cinta matinya, kamu dibuat gila sama cowok itu. Apa bagusnya sih si Dinar Dinar itu..."
Rena melirik maminya kesal, "Mami nggak tahu rasanya jatuh cinta..!" teriak Rena yang lagi-lagi mendapat pukulan dari sang mami.
"Kamu kalau bicara suka sembarangan. Kalau mami nggak tahu rasanya jatuh cinta, nggak akan ada papi kamu di disi. dan kamu sama Gilang abang kamu nggak akan ada di dunia ini.." geram Mirna.
Renata langsung mencebikkan bibirnya ke bawah. "Tapi Rena sayang sama Dinar Miiiii..."
Mirna mendelik jengah melihat tingkah sang anak gadis. "Tapi Dinarnya nggak sayang sama kamu.."
"iiii Mami masa gitu amat sama Rena.."
"Biar kamu sadar." Ucap Mirna, "Udah! Jangan merengek lagi, sekarang kamu mandi karena papi kamu udah nungguin di bawah."
Mendengar papi nya disebut, Renata langsung menatap mami nya horror. Alamat bakalan ada perang besar ini. ya Tuhan, selamatkan Rena, Ucap gadis itu membatin.
Rena melihat maminya sudah turun ke bawah, dan kini gilirannya untuk bersiap-siap terutama dalam hal menghadapi papi nya yang ia yakini sudah marah besar di bawah.
"Ya Tuhan, selamatkan Rena." Ucapnya sembari berjalan menuju kamar mandi.
Sebelum masuk, Rena menarik satu handuk bermotif Hello Kitty yang tergantung di jemuran handuk di kamarnya dan langsung berjalan menuju kamar mandi untuk bersih-bersih dan bersiap diri menghadapi amukan sang papi tercinta.
Ia bahkan harus dan harus siap dengan mentalnya dan telinganya. Ia tahu bagaimana papi nya jika mengamuk dan ia paham betul, bahkan maminya tak akan sanggup membujuk.
*****
Setalah selesai memoles sedikit wajahnya dengan bedak dan sedikit liptin di bibirnya, Rena mulai mengatur nafas. Menariknya kuat dan melepaskannya secara perlahan. Ia melakukan hal tersebut sebanyak tiga kali. Setelah dirasa nyaman, ia pun akhirnya keluar dari kamar dan turun ke bawah.
Baru saja langkahnya sampai di tangga tengah, ia sudah mendapat lirikan tajam dari papinya. Membuat Rena kesusahan meneguk salivanya sendiri. Disebelah papinya, Rena melihat sang mami sudah duduk manis sembari menyesap minuman.
Rena turun secara perlahan dan berjalan mendekati sang papi yang tengah memasang wajah kesal.
"Pagi pi.." sapa Rena takut-takut.
"Siang!" jawab pria itu dingin.
Glek! Ini mengerikan, batin Rena.
"Ini kunci mobil kamu kan?"
Rena melirik benda yang begitu ia kenal. Kunci dengan gantungan boneka Hello Kitty yang cukup besar sebagai mainannya. "Iya Pi.." Jawab Rena pelas.
"Ini kemaren dikasih Pak Hendra sama Papi. Mobil ini ia jemput kemaren ke diskotik tempat kamu nyaris mati."
GLEK!
Rena tak berani menatap wajah papinya. Ia terus saja menunduk menatap ujung jari kakinya yang sungguh tak ada untungnya ia perhatikan.
"Kunci ini akan papi tahan dan..." ucapan papinya terputus saat Rena mengangkat kepala dan hendak protes, "Dan mulai hari ini, kamu kemana-mana harus dikawal oleh Ervin."
Hah? Ervin? Cowok super duper menyebalkan itu? Oh nooooo! Bisa gila dia jika kemana-mana harus sama si cowok tengil, Ervin.
"Pi.. ini kan.."
"Tak ada alasan. Tiap kamu ingin pergi, kamu lapor sama papi dan papi akan minta Ervin datang."
Apa-apaan ini.
"Pi, Tapi Rena nggak suka sama Ervin..."
"Papi nggak minta kamu suka sama dia. Ervin sendiri belum tentu naksir sama kamu. Anak gadis kok suka ke diskotik.."
Renata mencelos seketika. Ia menatap papinya nanar.
"Papi jahat.." Teriak Rena.
"Kalau papi jahat, papi akan biarkan kamu begini terus dan bikin kamu terpuruk." Ucap Papinya dengan nada sedikit meninggi, "Kemaren kamu mabuk. Beruntung Ervin bisa nemuin kamu di tempat laknat itu. Kamu nggak sadarkan diri. Kamu pikir apa yang akan laki-laki bejat lakukan sama kamu kalau Ervin nggak cepat datang!!" lanjutnya.
Renata menatap papinya kesal. Apalagi saat tahu fakta bahwa Ervinlah yang membawa dirinya pulang. "Pokoknya, mulai hari ini, kamu kemana-mana harus diantar jemput dan ditemani sama Ervin. Nggak ada sanggahan lagi.." Renata kembali menarik ucapannya saat kalimat terakhir yang papinya ucapkan berhasil menghancurkan keinginannya untuk berbicara.
Renata melirik maminya, mencoba mencari peruntungan dari sang mami. Siapa tahu mami tercantiknya itu mau membujuk sang papi. Namun Rena kembali mencelos saat sang mami justru membuang muka darinya.
Kesal diacuhkan, Renata langsung berjalan keluar rumah, "Mau kemana kamu?" teriak Irman sang papi.
"Mau ke super market depan. Telpon Ervin juga?" balas Rena kesal.
Irman mengusap dadanya untuk menenangkan diri. Kelakuan Renata sungguh membuatnya naik darah. Beruntung ia memiliki istri yang bisa menenangkannya, jadilah ia bisa kembali nyaman.
"Sudah pi. Nanti papi sakit." Ucap Mirna lembut.
"Dia anak perempuan kita satu-satunya Mi, tapi kenapa kelakuannya lebih heboh dari abangnya Gilang." Ucap Irman dengan raut wajah sedih.
"Sudah Pi. Kita kan sudah minta bantuan Ervin. Siapa tahu Ervin bisa mengajarkan anak kita dan menjaga Rena dengan baik."
Irman mengangguk, "Semoga saja. Makasi ya sayang. Beruntung papi punya istri seperti mami." Mirna tersenyum manis mendengar rayuan suaminya.
Irman kembali duduk di sofa dan menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa tersebut. Ia berharap dengan meminta Ervin untuk mengawasi Renata, anaknya itu bisa berubah dan patuh dengan peraturan yang ada. Berubah menjadi gadis baik-baik tanpa ada embel-embel bar atau klub malam lagi dihari-hari sang anak gadis.
*◊*◊*◊*◊*
Rena membuka pintu supermarket yang ada di dekat rumahnya dengan kasar. Ia meraih satu troli dorong dan langsung berjalan menuju rak cemilan. Dengan kesal, ia menarik banyak cemilan dan memasukkan ke dalam keranjang dorongnya. Setelah puas, Rena lalu berjalan menuju rak berisi coklat-coklat kesukaannya dan mengambil coklat disana tanpa mengira. Ia juga berjalan menuju rak box eskrim dan mengambil sesukanya. Setelah puas, Renata lalu berjalan menuju kasir untuk membayar. Ia tak peduli, tumpukan cemilan dikeranjang dorongnya membuat orang-orang melirik takjub padanya. Yang jelas sekarang ia sedang kesal dan ingin melampiaskan dengan makanan.
Setelah selesai membayar, Renata langsung keluar. Sesampainya diluar, ia harus meletakkan kembali troli yang tadi ia pakai, dan menenteng semua belanjaanya yang banyaknya tak kira-kira. Renata bahkan membawa nyaris tujuh kantong besar belanjaan membuat dirinya kesusahan bahkan tak pelak ia juga tersandung plastik belanjaannya sendiri.
Rasa jengkel Renata bertambah semakin besar. Sudah dirumah ia dimarahi papinya, di sini plastik-plastik belanjaan bahkan juga tak mau bersahabat dengannya. Renata melemparkan ke lantai semua belanjaanya dengan kesal. Beruntung sang kasir tadi mengklip bagian tengah plastik, jadi belanjaan Rena tak berhamburan keluar. Ia menatap nanar semua kantong tersebut, nyaris Renata menangis sebelum sebuah suara menarik kembali semua air matanya.
"Butuh bantuan?"
Niat Renata yang ingin menangis langsung terhenti saat ia melihat sosok yang membuatnya jengkel setengah mati hari ini. cowok menyebalkan itu tiba-tiba muncul dihadapannya. Renata menatap sosok itu dengan tatapan tak bersahabat. Wajahnya bahkan memerah karena kesal.
Ervin si cowok menyebalkan, cowok paling mengesalkan dalam hidup Renata, kini berdiri dengan santainya di hadapan gadis tersebut.
"Butuh Bantuan nona?" ulang Ervin kembali.
******