webnovel

Devil's Fault

Ketika iblis wanita jatuh cinta Kita tidak bisa memilih untuk terlahir sebagai apa atau siapa. Dan Amartha tidak menyalahkan takdir, jika pada akhirnya ia terlahir sebagai iblis. Tapi satu yang Amartha sesalkan. Kenapa ia harus jatuh cinta pada sesosok pemburu iblis yang harusnya ia hindari? "Aku tidak pernah menyalahkan takdir, kecuali untuk satu hal," Amartha. "Apa?" "Kita. Kenapa takdir memberikan cinta jika akhirnya memutuskan kita berjalan ke arah yang berlawanan?" Amartha.

riskandria06 · Fantasy
Not enough ratings
10 Chs

Keputusan Amartha

Arkais. Salah satu iblis terkuat itu melesat kencang ke arah Amartha untuk menghalau musuh.

Amartha rasanya ingin menangis melihat betapa pedulinya Sang Kakak saat ini. Ini adalah kali pertama Arkais tampak khawatir padanya.

"Kakak," rintih Amartha.

Arkais menoleh sebentar lalu tersenyum tipis.

Detik berikutnya, terdengar suara gesekan benda tajam yang memenuhi ruangan, yang Amartha yakini disebabkan oleh pertarungan kakaknya dengan empat iblis itu.

Pandangan Amartha mengabur, sehingga ia tidak bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi. Ia hanya bisa melihat empat pria berpakaian serba hitam mengeroyok kakaknya.

Amartha tersenyum tipis melihat kelincahan kakaknya. Sepertinya Arkais sudah menjadi lebih kuat dari pada sebelumnya.

Dan ada kelegaan sendiri di hatinya saat melihat pria itu kini masih sanggup bertarung dengan lawan-lawannya.

Setelah beberapa hari pikirannya terus menerawang dan khawatir dengan keselamatan pria itu, pada akhirnya kini ia dapat melihatnya lagi.

Pias...

Amartha dapat melihat dengan jelas jika Arkais terjatuh. Belatinya pun terlepas dari genggamannya. Meskipun demikian, pria itu segera bangkit dan melawan tiga musuhnya yang tersisa dengan tangan kosong.

Khawatir dengan Sang Kakak, Amartha berusaha bangkit dan mencabut benda tajam yang menancap di tubuh iblis yang terbujur kaku di kakinya.

Ia berjalan dengan tertatih ke arah kerumunan peperangan antara sang Kakak dan tiga- tidak, sekarang tinggal dua lawannya.

Klek!!

"Arrgghh!" Arkais berhasil menumbangkan salah satu lawannya dengan mematahkan lengan iblis itu dan menginjak keras di area jantungnya.

Tringg!

Namun sayang, Arkais kurang cermat dan mengantisipasi Oldi yang masih berada di belakangnya.

Oldi berhasil menancapkan belatinya di lengan bagian atas milik Arkais hingga Arkais limbrung.

"Matilah kau, sialan!" Teriak Oldi sembari mengangkat tinggi-tinggi belatinya dan mengarahkannya ke Arkais, yang saat ini berada di bawah kakinya.

Jlebbbb

Amartha merosot ke lantai bersamaan dengan jatuhnya tubuh Oldi setelah mendapatkan tusukkan yang amat sangat dalam di dadanya.

Iblis itu masih bisa bergerak. Namun dengan secepat kilat, Arkais bangkit dan kembali menancapkan belati itu ke tubuh iblis yang tengah sekarat itu hingga benar-benar mati.

Arkais menegakkan badannya kemudian berusaha menarik sukma hitam satu per satu lawannya sambil menebar senyum kemenangan.

"Kak Arkais," lirih Amartha. Arkais menoleh sebentar. Namun ia kembali fokus pada kegiatannya.

"Aku akan mengirimkan sukma hitam mereka pada Raja Iblis. Agar dia tau bagaimana kuatnya kita, Amartha," ujar Arkais dengan begitu angkuhnya.

Amartha tersenyum. Ia berusaha bangkit untuk menghampiri Sang Kakak yang tengah mencicipi cairan hitam yang keluar dari tubuh Oldi.

"Kau tahu, Amartha? Aroma darah ini sarat akan kemenangan kita,"

Tak ingin membuang waktu, Amartha menabrakkan dirinya ke dada bidang Sang Kakak. Ia menangis. Menangis penuh syukur atas keselamatan Arkais yang selama ini selalu ia khawatirkan.

"Aku senang Kakak kembali. Aku senang Kakak masih hidup," ujar Amartha di sela tangisannya.

"Hey, lepaskan!" Suruh Arkais dengan nada dingin. Namun Amartha tak acuh dengannya.

"Terima kasih sudah bertahan. Dan terima kasih sudah kembali, Kak," lanjut Amartha yang masih saja memeluk tubuh Sang Kakak.

'Plak..'

Tubuh Amartha terhempas ketika Arkais mendorongnya dengan kasar.

"Kenapa kamu menangis, bodoh! Apa kamu jadi selemah ini sekarang? Ha?" bentak Arkais.

Amartha menggeleng cepat. Ia pun menghapus kasar air matanya sendiri.

"Tidak. Maafkan Amartha, Kak. Amartha tidak akan menjadi lemah lagi di hadapan Kakak," balas Amartha cepat.

Di luar dugaan, Arkais tersenyum sinis mendengar penuturan Sang Adik.

"Cepat ikuti aku!" suruhnya dengan nada datar.

"Ki.. kita mau ke mana? Di mana Scott?" Amartha.

Benar. Arkais memang masih hidup. Tapi bagaimana dengan Scott?

"Kita akan ke luar dari negara ini. Mencari kota yang padat penduduk dan menghisap energi manusia di sana," jawab Arkais.

"Me.. membunuh mereka?" Amartha. Arkais mengangguk.

"Apapun itu. Yang penting, kita harus mendapatkan sebanyak mungkin kekuaran untuk kembali menyerang kerajaan iblis," Arkais.

"Itu dia, kau adalah iblis. Dan bodohnya aku sampai lupa pada kenyataan itu beberapa hari ini,"

"Semuanya sudah jelas. Kau iblis, dan aku pemburu iblis. Sudah cukup kegilaanmu untuk memintaku tinggal selama ini,"

"Amartha! Apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan?" Amartha terpenjat mendengar bentakan Sang Kakak. Harusnya ia ingat jika Arkais bisa membaca pikirannya.

"Ti.. tidak," dusta Amartha.

Amartha berusaha menghilangkan semua bayangan Miguel di otaknya.

"Bagaimana keadaan Scott? Apa dia bersama Kakak selama ini?" Tanya Amartha mengalihkan perhatian.

"Aku tidak tahu di mana ia sekarang. Aku tak pernah melihatnya sejak hari pemberontakan itu," Arkais.

'Tidak, ku mohon kau harus selamat juga, Scott!' batin Amartha.

"Ayo kita pergi!" Ajak Arkais.

Amartha diam di tempat. Perkataan Miguel tidak bisa ia jauhkan dari otaknya.

'Jadi semua itu benar? Dia pergi karena aku kembali melakukan kodratku sebagai iblis?' pikir Amartha.

"Apa yang sedang kamu pikirkan, Amartha? Siapa yang berhasil menghasutmu?" Tanya Arkais dengan nada dalam.

Amartha menggeleng cepat.

"Ak.. aku. Kak, maaf, aku tidak bisa pergi," Amartha.

Settt

Arkais mencengkram leher Amartha dengan sangat kuat. Ia melemparkan tatapan penuh intimidasi pada adik tirinya itu.

"K.. kak..."

"Kau mempermainkanku, Amartha?" tanyanya. Amartha menggeleng pelan.

"Ak.. aku. Maafkan aku, Kak," lirih Amartha.

"Apa kau tidak merasa berhutang budi telah aku selamatkan, hmm? Sudah saatnya kamu menebus semua jasaku. Jadilah pengikut setiaku!" Arkais.

Amartha mengangguk patuh. Toh ia sudah bersumpah untuk selalu memihak Arkais dan akan membantunya hingga akhir.

"Aku.. ak.. aku akan siap kapan pun Kak.. kak butuhkan. Tap.. pi, biarkan aku di sini dulu!" lirih Amartha.

"Apa yang akan kau lakukan? Kau butuh kekuatan, bodoh!" bentak Arkais.

"Tolong lepaskan!" rintih Amartha yang benar-benar merasa kesakitan.

Arkais pun melepaskan cengkramannya.

"Aku akan berjalan di jalanku sendiri. Tapi aku akan datang saat Kakak membutuhkanku. Kakak harus percaya padaku!" Amartha.

Arkais diam. Ia menatap dalam ke arah manik hitam Amartha. Ada sesuatu yang janggal, tapi ia tidak bisa melihatnya secara jelas. Seakan sesuatu telah membatasi ruang yang dapat ia telisik dari mata adik tirinya itu.

"Ingat, aku tidak pernah membutuhkan bala tentara yang lemah," ujar Arkais. Amartha mengangguk cepat.

"Aku akan jadi pasukan terkuat untuk Kakak. Aku siap menjadi tameng pertahanan terdepan untuk Kakak. Hanya saja, biarkan untuk kali ini aku pergi dengan jalan yang telah aku pilih!" pinta Amartha.

Akhirnya, Arkais mengangguk. Ia menepuk bahu Amartha, seakan berpesan untuk adiknya itu lebih menjaga diri. Setelah itu, ia berjalan melewatinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun salam perpisahan.

Amartha tersenyum. Sudah lebih dari cukup baginya mengetahui fakta bahwa Arkais masih hidup. Sebagian besar ketakutannya telah musnah. Dan tentang Scott, semoga pemuda itu juga baik-baik saja sekarang.

Sekarang ia harus fokus pada Miguel.

Miguel meninggalkannya. Dan Amartha harus mencarinya kembali. Amartha memantabkan hatinya, dan ia benar-benar tak ingin jauh dari Miguel. Ia memilih untuk memperjuangkan cintanya.

***

Bersambung...

Jangan lupa bintang dan reviewnya :)