webnovel

Devil's Fault

Ketika iblis wanita jatuh cinta Kita tidak bisa memilih untuk terlahir sebagai apa atau siapa. Dan Amartha tidak menyalahkan takdir, jika pada akhirnya ia terlahir sebagai iblis. Tapi satu yang Amartha sesalkan. Kenapa ia harus jatuh cinta pada sesosok pemburu iblis yang harusnya ia hindari? "Aku tidak pernah menyalahkan takdir, kecuali untuk satu hal," Amartha. "Apa?" "Kita. Kenapa takdir memberikan cinta jika akhirnya memutuskan kita berjalan ke arah yang berlawanan?" Amartha.

riskandria06 · Fantasy
Not enough ratings
10 Chs

Jiwa Iblis Amartha

Miguel sedikit menggeser tubuhnya setelah sekian lama terdiam dengan posisinya.

Ia menyangga kepala seorang gadis yang awalnya menyender di bahunya, lalu mengangkat tubuh mungil itu ke atas tempat tidur. Perlahan, ia pun membaringkannya.

Wajah itu sudah tak sepucat sebelumnya. Tanda kematian seakan telah menjauh dari gadis itu. Dan entah kenapa, hal tersebut bisa menimbulkan kelegaan di hati Miguel.

"Teruslah bertahan untuk hidup! Tidak mustahil jika suatu saat nanti kamu bisa menemukan jalan untuk jadi seorang manusia," lirihnya sembari mengusap pipi lembut itu.

"Sosokmu yang sekarang, aku pikir hanya kutukan. Dan harusnya kamu bisa mematahkan kutukan ini segera. Setidaknya jika kamu benar-benar ingin berada di sampingku," lanjutnya.

Ia menarik kain kusut berwarna hitam untuk menutupi tubuh gadis itu hingga batas leher. Setelah itu, Miguel mulai beranjak pergi.

*

Lima hari berlalu sejak Amartha terbangun dari tidur panjangnya saat itu. Dan kini, semua energinya sudah pulih berkat Miguel yang secara rutin membawakannya darah binatang untuk dikonsumsi.

Dan ini adalah kali pertama Amartha menginjakan kaki di luar bangunan tua yang sudah lebih dari sepuluh hari terakhir ia tempati.

Ia tidak menyangka jika ia dapat melihat bulan purnama malam ini. Mungkin itu jugalah yang membuat energinya seakan pulih total dan ia bisa melangkah keluar malam ini.

Amartha rindu aroma manusia, juga dosa atas kesalahan mereka. Sudah sekian lama ia tidak melakukan tugasnya itu. Dan ia rasa, inilah saatnya ia kembali ke dunianya yang sebenarnya.

Amartha memejamkan matanya. Mengeluarkan sedikit energinya untuk melakukan penyamaran.

Hap

Dalam sepersekian detik, sosoknya yang berantakan berubah jadi gadis cantik dengan pakaian yang elegan.

Ia melangkahkan kakinya mengikuti aroma segar, khas manusia yang memiliki iman tidak cukup kuat. Bibirnya membentuk senyuman di sepanjang jalan yang ia lewati.

'Aku harap di sana aku bisa menemukan Kak Arkais ataupun Scott,' batinnya.

Selang beberapa menit, Amartha menghentikan langkahnya. Senyumnya semakin merekah saat melihat sebuah tempat hiburan yang ramai anak muda di dalamnya.

Aromanya sangat segar. Membuat indra penciumannya serasa sangat dimanjakan.

"Aku rindu merasakan aroma ini. Aku rindu melakukannya. Ya, aku harus bisa melancarkan aksiku malam ini," gumamnya lirih.

Amartha menerobos masuk dengan santainya. Penyamarannya kali ini sepertinya cukup sempurna sehingga tak seorangpun yang menolak keberadaannya. Amartha memang ahli dalam hal menyamar.

Begitu memasuki ruangan yang khas dengan aroma minuman keras itu, Amartha menerawang, menyisiri setiap sudut ruangan. Mencari target yang paling menarik untuk melancarkan aksinya.

Dan..

Hap..

Dia menemukannya.

Dia melihat seorang gadis polos yang dikerubungi beberapa temannya.

Tampaknya, gadis malang itu tengah dipaksa untuk mencicipi minuman memabukkan yang di bawa teman-temannya. Amartha menajamkan pendengarannya untuk memastikan hal tersebut.

"Ayolah, Lara! Kau tidak akan mati hanya karena meneguk sedikit wine ini,"

"Ya, Felicia benar. Kau harus merasakannya. Setidaknya satu sloki jika kau benar-benar ingin bergabung dengan kami,"

Oh.. Amartha mulai mengerti. Gadis itu- Lara dipaksa minum minuman keras agar ia diterima untuk bergabung dengan genk temannya.

Amartha kembali tersenyum kemudian mengumandangkan mantranya sehingga sosoknya tak dapat terlihat oleh manusia.

"Dasar anak-anak nakal. Tapi aku suka anak nakal," gumam Amartha sembari berjalan mendekat ke arah kerumunan itu.

"Aku akan meminum darah segar setelah ini. Kau lihat Scott? Apa kau sudah makan sekarang? Rasanya aku ingin berbagi denganmu. Ini kan, makanan kesukaanmu?" Amartha tertawa jahat.

Ia sedikit menundukkan tubuhnya dan mendekat ke arah telinga remaja yang ia ketahui bernama Felicia.

"Dipaksa dong! Jangan setengah-setengah kalau bekerja, sayang," bisik Amartha sembari meniupkan asap hitam berisi kuasanya ke dalam telinga Felicia.

Gadis itu- Felicia tampak seperti kehilangan kesadarannya untuk beberapa saat.

Namun kemudian, ia mengangkat sebuah botol berisi penuh minuman terlarang itu dan menempelkannya ke mulut Lara.

Ia memiringkan botol itu sembari satu tangannya menahan rahang bawah Lara agar gadis malang itu meminumnya.

"Tidak perlu seperti itu juga kan, Fel," ujar salah satu temannya.

Lara terus memberontak. Tapi sepertinya kekuatan Felicia lebih besar darinya. Amartha tak henti-hentinya tersenyum melihat adegan gila di depannya.

"Fel, dia belum terbiasa minum. Bisa berbahaya kalau dia sampai overdosis,"

Lagi dan lagi, Felicia tak meresponnya.

Dan kini, saatnya Amartha menjalankan misi selanjutnya. Kini giliran Lara yang ia dekati.

"Kenapa kamu diam saja? Dia benar-benar menjatuhkan harga dirimu," bisiknya.

Amartha menyalipkan anak rambut di sekitar telinganya yang terasa mengganggu.

"Ada botol kaca di depanmu. Apa tidak sayang jika tidak kamu gunakan untuk memberinya sedikit pelajaran? Ya.. setidaknya agar Felicia jera menindasmu,"

Sreeettt

Lara berhasil merebut botol minuman keras itu dari tangan Felicia. Terlalu mudah untuk Amartha bisa menguasai pikiran remaja itu. Mengingat dia baru saja meminum cairan setan itu.

Dan kini, Amartha tinggal menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia melipat tangannya dan mundur dua langkah, bersiap menikmati adegan menarik di depannya.

Lara, gadis itu mengangkat tinggi-tinggi botol kaca di tangannya. Ia bersiap memukulkan botol itu ke kepala Felicia yang masih tampak shock dengan apa yang baru saja Lara lakukan.

Satu

Dua

Ti-

Pyarrrrrr

Amartha membolatkan matanya. Bagaimana bisa dengan begitu dramatis botol itu terlepas dari genggaman Lara.

Amartha mengepalkan tangannya. Ia bersiap menghampiri Lara untuk membisikkan skenario lain yang terlintas di benaknya.

Hap

Namun seseorang menahan tangannya.

Tunggu!

Bukankah saat ini dia sedang dalam mode tak terlihat?

Amartha menoleh. Dan ia dikejutkan oleh keberadaan Miguel yang tiba-tiba sudah di belakangnya.

"Miguel?" Kagetnya.

"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Miguel retoris.

Amartha menjadi bungkam seketika. Ia melihat sorot kemarahan di mata lelaki yang ia cintai itu.

Tanpa bisa berkata apa-apa lagi, ia hanya menurut ketika Miguel menariknya kasar keluar dari tempat hiburan itu.

Dan entah bagaimana caranya, waktu seakan berhenti saat mereka melangkah. Hanya dua makhluk supranatural itu yang tampak bergerak. Amartha sampai takjub dibuatnya.

Bahkan, ia sampai tidak sadar jika mereka kini telah sampai di tempat persembunyian mereka selama ini.

Miguel menghempaskan tangan Amartha dengan kasar. Membuat gadis itu tersentak dan sadar dari lamunannya.

"Apa yang baru saja kamu lakukan, Amartha?" Bentak Miguel.

Amartha memejamkan matanya karena terkejut mendengar bentakan itu.

"Apa kau baru saja melakukan pekerjaanmu sebagai makhluk terkutuk itu?" Tambah Miguel yang membuat hati Amartha terasa nyeri.

"Ak.. aku hanya.. aku-"

"Apa? Aku pikir kamu bisa berubah. Nyatanya aku salah," Miguel. Kalimat itu sarat dengan kekecewaan.

Rasa sesal pun timbul di benak Amartha. Seketika, ia menjadi takut. Ia membayangkan jika Miguel memilih untuk pergi setelah melihat sosok iblisnya yang kembali.

"Aku menyesal, aku minta maaf. Tolong jangan pergi!" Pinta Amartha sembari meraih tangan Miguel.

Miguel menghempasnya kasar.

"Kau hampir saja membuat nyawa gadis itu melayang, dan membuat satu diantaranya menderita dalam penyesalan seumur hidupnya!" Bentak Miguel lagi.

Air mata Amartha menetes. Ia benar-benar takut dengan sosok Miguel di depannya. Bukan ketakutan atas kematiannya di tangan pria itu. Melainkan ketakutan jika pria itu akan benar-benar membencinya, kemudian meninggalkannya.

"Aku benar-benar minta maaf, Miguel. Aku hanya- aku- setidaknya kamu harus ingat kalau aku adalah seorang iblis! Terkadang aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri," Amartha berusaha menerangkan posisinya yang sulit.

"Itu dia, kau adalah iblis. Dan bodohnya aku sampai lupa pada kenyataan itu beberapa hari ini," terdengar lirih, namun tajam. Lebih dari cukup untuk menyayat hati Amartha.

Miguel berjalan mundur, lalu membalikkan badannya. Amartha pun semakin kalut karenanya.

"Kamu mau ke mana?" Tanya Amartha seraya menyusul langkah Miguel.

"Semuanya sudah jelas. Kau iblis, dan aku pemburu iblis. Sudah cukup kegilaanmu untuk memintaku tinggal selama ini," jawab Miguel sembari mempercepat langkahnya.

Amartha berlari hingga dapat menahan bagian belakang kain yang membungkus tubuh lelaki yang dicintainya itu.

"Ku mohon jangan pergi! Aku tidak bisa sendiri. Aku tau aku iblis, dan kamu adalah pemburu iblis, tapi aku-"

Amartha kesulitan melanjutkan kalimatnya. Rasanya semua tertahan di kerongkongannya. Begitu sulit untuk diungkapkan. Tapi intinya, ia tidak ingin Miguel pergi.

"Aku tidak pernah menyalahkan takdir selama ini, bahkan ketika takdir menggariskanku untuk terlahir sebagai iblis, makhluk terkutuk yang dibenci semua kalangan," lirih Amartha sembari mengeratkan genggamannya pada baju Miguel.

Lelaki itu pun dibuat membeku seketika. Ia menantikan kelanjutan dari ucapan Amartha.

"Aku tidak pernah menyalahkan takdir, kecuali untuk satu hal," Amartha.

"Apa?" Tanya Miguel mulai penasaran.

"Kita. Kenapa takdir memberikan cinta jika akhirnya memutuskan kita berjalan ke arah yang berlawanan?" Jawab Amartha sembari kembali mengangkat wajahnya.

***

Bersambung...

Jangan lupa berikan bintang dan review untuk cerita ini :)