34 34. Tanpa Paksaan

"Jelasin, Sa! Arland perkosa kamu?! Bilang sama aku apa yang terjadi." Desak Dylan.

Emosinya sudah mendidih hingga ubun-ubun. Perempuan yang dia cintai, perempuan yang mengisi hatinya bertahun-tahun tiba-tiba saja memberi kabar memiliki anak dengan adiknya. Tentu pikiran Dylan langsung ke arah negatif. Bahkan, pikirannya mulai berkelana kesana-kemari, memikirkan sejuta kemungkinan yang bisa menyebabkan hal ini terjadi. Dan kemungkinan terbesarnya adalah, Arasha diperkosa oleh Arland. Iya, Arland. Adik brengseknya yang sejak dulu suka memainkan wanita.

Di tambah, dia mengetahui fakta Arland mencintai Arasha. Wanita yang Dylan sukai. Jadi, tidak menutup kemungkinan si brengsek itu diam-diam menyentuh Arasha di belakang Dylan untuk merusak hubungan mereka. Dan Dylan juga mengira bahwa Arland adalah penyebab Arasha meninggalkannya.

Saking marahnya Dylan, dia sampai tidak mau mendengarkan penjelasan Arasha.

"Enggak, bukan git—"

"Emang brengsek dia ini. Aku bakal kasih pelajaran ke dia, Sa. Aku pastikan dia minta maaf sama kamu. Kamu gak perlu khawatir. Kamu juga gak perlu susah payah kabur-kaburan dari kita lagi. Aku pastiin dia nyesel karena bikin kamu kayak gini." Dylan dengan sikap sok tahu karena sudah diliputi emosi merasa sangat benar. Dia bahkan sudah menyusun rencana untuk menghajar Arland setelah ini. Mau Arland di ujung dunia sekalipun akan dia kejar.

"Dylan, bisa dengerin aku dulu bisa gak? Ini gak kaya yang kamu pikirin." Arasha menggigit bibir bawahnya, bingung harus bagaimana menjelaskannya.

Sedangkan Dylan yang masih ngotot dan menganggap Arland brengsek tentu tidak mau mendengarkan. "Udah Sa, kamu gak perlu belain si brengsek itu. Selama ini aku memaklumi kelakuan Arland si brengsek ini. Tapi, kali ini enggak lagi. Dia udah gede dan udah seharusnya sadar kalau yang dia lakuin salah."

"Lan, tapi aku serius. Ini gak kayak yang kamu pikirkan. Arland gak perkosa aku." Tegas Arasha, membuat raut marah Dylan berubah kecewa.

"Sa…" saking kecewanya dia, bibirnya sampai kelu tak bisa berkata-kata. Karena apabila Arland tidak memperkosa Arasha, maka yang terjadi adalah… mereka melakukannya tanpa paksaan.

Beberapa tahun ini, salah satu alasan Arasha menjauh dan bersembunyi dari mereka tak lain dan tak bukan karena dia tidak mau melihat wajah kecewa Dylan. Tetapi hari ini… sesuatu yang dihindari akhirnya dia lihat juga. Dan dia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Ini semua terjadi gitu aja. Pada malam dimana kita lagi ngerayain kelulusan. Promnight."

/Flashback/

Segala macam acara promnight telah selesai. Kini, mereka sedang berada di sisa acara. Beberapa sudah pulang, beberapa lagi masih menikmati music ala-ala club malam. Tak terkecuali dengan Arland, Dylan, Arasha, Raya, Felix, dan Gebi.

Bukannya pulang atau berjoget, mereka justru sedang bermain truth or dare. Dengan botol air putih yang sudah ada di tengah meja. Manik mata mereka sudah memperhatikan botol yang kini sedang berputar di sana, perlahan-lahan mulai berhenti.

"Antara Arasha sama Raya ini sih…" kata Felix.

"Diem lo Lix! Pokoknya gue gak mau kena yah!" kesal Arasha yang kini terus berdoa agar botol tidak mengarah kepadanya.

Seolah takdir tengah berpihak padanya, botol tersebut kini mengarah pada Gebi. Helaan nafas lega keluar dari Arasha dan Raya. Keduanya saling berpandangan, kemudian melakukan high five.

"Enak lo berdua, gue yang kena." Kesal Gebi sewaktu melihat tutup botol tersebut mengarah padanya.

"Itu sih nasib lo aja Gebi…" sahut Felix.

"Emang ya, nasib gue lagi agak kurang beruntung. Udah pasangan prom gue lo, bukan Arland… sekarang malah kena pertama. Untuk pembukaan, gue pilih kejujuran aja deh!" kata Gebi.

Semua yang ada di sana memprotes, merasa tidak suka sewaktu Gebi memilih truth dibandingkan dare. "Elo mah cupu!" ketus Dylan yang baru saja datang dari kamar mandi. Dia segera menyempil, duduk di antara Arasha dan Raya.

"Udah cepetan, mau tanya apa sama gue." Ucap Gebi.

Mereka berdiskusi selama beberapa saat, kemudian mengalihkan fokusnya pada Gebi. Peraturan yang ada, jika memilih truth atau kejujuran, akan diberikan tiga pertanyaan. Sedangkan jika tantangan atau dare, akan diberikan satu tantangan.

"Tiga pertanyaan. Yang pertama, siapa yang udah ambil keperawanan lo?" Felix yang bertugas untuk mewakili teman-temannya dalam hal bertanya.

Dapat mereka lihat, Gebi melirik Arland dengan santainya. "Arland?" tanya Dylan sedikit menggeram marah.

Arland yang merasa dituduh tentunya menggeleng. Dia segera menyangkalnya tanpa basa-basi. "Nggak anjir! Seenaknya gue tuduh lo." sangkal pemuda itu.

Gebi kini tertawa kecil. Dia suka melihat Arland yang tampak gugup. "Bercanda… yang ambil keperawanan gue anak kelas sebelah, si Makiel." Jawabnya.

"Oh mantan…" ucap mereka bersamaan.

"Pertanyaan kedua, pengalaman sex paling berkesan?" Gebi melotot, tidak menyangka pertanyaan yang mereka berikan semua menyangkut tentang hal-hal berbau dewasa. Gadis itu sedikit kesal, tetapi sudah terlanjur tidak bisa marah mengingat ini hanyalah sebuah permainan semata.

"Sialan kalian! Sama Arland pas di club. Itu berkesan banget karena Arland desahin orang lain—" belum sempat Gebi menyelesaikan ucapannya, gadis itu dikejutkan dengan tatapan mata Arland yang sangat tajam.

"Oke, gak gue lanjut karena itu privasi Arland!" ucap Gebi sembari mengangkat kedua tangannya.

Tak terasa, Gebi telah menjawab semua pertanyaan yang ada. Kini, botol kembali berputar, mencari mangsa berikutnya. Botol tersebut kini mulai melambat dengan tutupnya yang mengarah ke antara Arland, Arasha, dan Dylan yang duduk bersebelahan dengan Arasha yang ada di tengah.

"Wow! Dylan dong!" teriak mereka histeris sewaktu botol tersebut terhenti dan tutupnya mengarah sempurna pada Dylan.

Tanpa merasa ragu sedikitpun, Dylan memilih tantangan. "Gue dare dong." Katanya.

Hal ini segera dimanfaatkan oleh Felix dan Gebi. Keduanya mengambil sekaleng bir beralkohol dari dalam tas Felix, kemudian menyerahkannya pada Dylan.

"Nih minum. Gue gak pernah lihat lo minum selama ini." Kata Felix, yang langsung disoraki Gebi seolah mendesak Dylan untuk melakukannya.

Dylan terlihat santai, dia melirik Arasha sejenak, memperhatikan gadis itu. Setelah mendapat izin dari sang kekasih, pemuda itu mulai menggenggam botol tersebut. Berbeda dengan Arasha yang mengijinkan Dylan, Arland justru terlihat tidak suka. Dia melirik Felix tajam, merasa geram.

"Udah gue duga lo bakal nakal." Kata Arland ketus. Sedangkan Felix, si target kemarahan Arland hanya cengengesan tidak jelas.

Belum sempat Dylan meneguk sekaleng bir tersebut, suara dering telepon mengganggunya. Semua yang ada di sana segera mengecek ponsel mereka masing-masing, memastikan apakah yang berbunyi adalah milik mereka.

"Punya gue. Ini Bunda telpon, kalian diem dulu, jangan banyak bacot." Kata Dylan, mulai menempelkan ponsel tersebut di telinganya.

"Halo Bunda?"

"…" raut wajah Dylan berubah drastis sewaktu mendengar jawaban dari Bundanya. Arland yang menyadari hal itu segera bertanya. "Bunda kenapa?" tanya Arland.

"Shit! Gue harus balik dulu. Bunda pendarahan. Arland, gue titip Asa sama lo!" Dylan segera memutus panggilan teleponnya, kemudian melenggang pergi secara tergesa-gesa tanpa mempedulikan panggilan dari yang lainnya.

Arland sebenarnya ikut mengkhawatirkan Ashana. Dia juga ingin menyusul Dylan untuk memastikan kondisi bundanya. Namun, Arland tidak bisa pergi dari sini sekarang. Dia harus menghadiri acara pembubaran panitia terlebih dahulu.

"Itu bir Dylan biar gue minum aja!" kata Arland sembari meraih bir milik Dylan paksa, kemudian meminumnya.

Felix dan Gebi yang melihat hal itu membelalak kaget. Masalahnya, mereka memasukkan sesuatu ke dalam sana.

"Arland… lo, gak apa-apa?" tanya Gebi ragu. Melihat Arland yang tetap santai, Gebi merasa sedikit tenang. Lagipula Arland hanya meminum setengah kaleng.

Pemuda itu kini membuka ponselnya, mengirimkan pesan pada Dylan untuk berhati-hati. Setelah itu, dia meletakkan ponsel miliknya di atas meja. Sayangnya, Arland melupakan sesuatu. Dia membiarkan ponselnya tetap dalam keadaan menyala, memperlihatkan wallpaper ponselnya yang berupa gambar sebuah kucing abu-abu.

Arasha yang ada di samping Arland tentunya melihat hal itu. Seketika, dia terkejut. Tangannya bergetar, memikirkan sesuatu.

"Arland, lo… Mau?" gumam gadis itu. Arland yang mendengarnya ikut kaget. Dia merutuki dirinya sendiri setelah menyadari kebodohannya. Pasalnya, foto yang menjadi wallpaper ponselnya adalah foto kucing Arasha. Foto yang gadis itu ambil sendiri dan hanya mengirimkannya pada Mau, sahabat online Arasha yang mencintai Arasha.

Gadis itu tidak menyangka jika ternyata sahabat online yang selalu menghiburnya adalah Arland. Pemuda yang mencintainya. Pemuda yang sejak kecil sudah berteman dengan dia.

Lucu sekali bukan hidup Arasha? Hanya berpusat pada Arland.

"Sa, kita bicara berdua. Gue tunggu di depan." Kata Arland. Dia tidak ingin membuat keributan hingga akhirnya memilih untuk menyingkir.

Pemuda itu kini sudah raib dari pandangan mereka yang menatap Arasha dan Arland penuh kebingungan. Terlebih, Arasha kini terlihat marah. Gadis itu meraih kaleng bir yang masih menyisakan setengah isinya, kemudian meminumnya hingga habis.

Felix dan Gebi yang melihat itu ingin mencegahnya, namun ternyata sudah terlambat. Arasha bahkan kini sudah berlari menyusul Arland.

"Kenapa kalian?" tanya Raya yang sadar terhadap ekspresi panik Felix dan Gebi.

Felix terlihat ragu untuk menjelaskan, sedangkan Gebi merasa tidak enak. Keduanya saling bertatapan selama beberapa saat, sebelum akhirnya menghela napas dan memutuskan untuk jujur kepada Raya.

"Bir nya udah gue suntik obat perangsang." Lirih Felix.

avataravatar
Next chapter