3 3. Masa Lalu Yang Belum Terselesaikan

Double kill.

Satu kata yang menggambarkan bagaimana menawannya kedua pria dalam balutan kemeja hitam yang kini sedang berjalan memasuki sebuah restoran bintang lima.

Sesaat sebelum benar-benar memasuki restoran mahal tersebut, mereka berpapasan dengan Rosea, ibu kandung Arland yang kini tampak memukau dalam balutan dress berwarna abu-abu.

Bukan dress formal yang Rosea kenakan. Hanya sebuah dress sederhana, namun berhasil membuat penampilannya tampak berkelas.

"Mom, ehm... Sepi banget. Kayaknya mereka gak dateng. Berarti aku dan Dylan boleh pulang dong? Perjodohannya gak jadi dong?" Arland baru saja hendak membalik tubuhnya, namun segera meringis kesakitan sewaktu telinganya dijewer oleh sang ibu.

"Berani kamu pergi, semua aset kamu Mami sita. Gak ada tapi-tapian! Lagian Mami bukan mau ngasih hukuman mati! Mami mau ngasih kalian jodoh." Gerutu Rosea seraya menyeret putranya untuk masuk.

Restoran tersebut tampak sangat megah. Dengan arsitektur modern klasik yang benar-benar instagramable.

Para pekerja di sana segera menyambut Rosea beserta kedua putranya. Mereka tampak sangat menghormati Rosea. Bagaimana tidak? Rosea, putri tinggal dari keluarga konglomerat datang ke restoran tersebut. Tentu penyambutan harus dilaksanakan sebaik-baiknya.

Tak hanya menyambut, beberapa juga sempat curi-curi pandang pada Arland dan Dylan. Tidak bisa dipungkiri, ketampanan mereka berhasik menyihir para perempuan dari berbagai kalangan.

Jika Dylan tentunya tidak akan mempedulikan para penggoda tersebut, Arland justru sebaliknya. Dia sempat-sempat nya mengerlingkan sebelah mata hingga membuat para perempuan tersebut mendadak tidak waras dalam waktu singkat.

Rosea sampai harus kembali menjewer telinga putranya agar tidak terus menerus bertingkah. Memang dasar putranya satu ini. Kadar menjengkelkannya sudah tidak terkira.

"Mari Nyonya, saya antar." Mereka mulai mengikuti arahan dari manager restoran, hingga akhirnya sampai pada sisi ruangan tempat dimana mereka akan bertemu dengan keluarga dari perempuan yang akan dijodohkan dengan kedua pria tampak tersebut.

Dari belakang, Arland bisa melihat tubuh indah perempuan tersebut. Dengan rambut pirangnya yang hanya sebatas bahu.

Berbicara tentang rambut pirang, Arland mendadak mengingat seseorang.

Arasha, si blasteran yang dahulu sempat membuatnya jatuh hati.

Dia jadi merindukan gadis menyebalkan itu. Musuhnya dari sekolah dasar.

Dari belakang, Arland mendapat sebuah firasat tentang kecantikan perempuan yang akan dijodohkan dengannya. Buru-buru, Arland berbisik di telinga Dylan. "Cantik kayaknya. Kira-kira kayak perempuan murahan gak ya?" Bisik Arland.

Dylan melirik Arland sinis. Tidak suka mendengar adiknya berkata seperti itu.

Hingga akhirnya, kedatangan mereka sudah disadari oleh perempuan tersebut dengan wanita paruh baya di sampingnya.

Perempuan cantik itu berdiri, kemudian membalik tubuhnya.

Seketika itu juga, langkah kaki Arland dan Dylan terhenti.

Terutama Dylan. Rasanya, tak hanya langkah kaki yang berhenti. Namun juga dengan dunianya.

Tubuhnya membeku di tempat. Dengan wajah yang menegang sempurna sesaat melihat sosok perempuan yang selama kurang lebih empat tahun ini membuatnya frustasi dan bertanya-tanya tentang keberadaannya berdiri di depan sana.

Mimpi? Dylan tanpa sadar mencubit pahanya sendiri, berusaha keluar dari imajinasi menyakitkannya jika memang ini hanyalah sebuah mimpi.

Namun, suara Rosea membuatnya tersadar bahwa dirinya masih berada di dunia nyata.

"Hai Angel!"

Angel. Nama ibu Arasha berhasil membuat Arland tersadar dari pikiran liarnya, begitupun dengan Dylan.

Keduanya menelan ludah susah payah, menatap satu sosok perempuan cantik yang kini juga sudah memperhatikan mereka dengan sangat tajam.

Ah, tidak. Lebih tepatnya memperhatikan Dylan.

"Duduk." Suara desisan Rosea membuat Arland dan Dylan menurut bagaikan seorang budak yang diperintah ratunya.

Mereka duduk di hadapan Arasha yang sejak tadi tampak risih menurunkan dress pendek dan ketatnya.

Di sisi lain, Arasha juga merasakan hal yang serupa. Hatinya benar-benar berkhianat. Dia bilang tidak ingin jatuh cinta kembali. Dia bilang dirinya sudah melupakan Dylan sepenuhnya.

Sayangnya, itu semua ternyata hanya berupa kata-kata, tanpa tindakan. Nyatanya, melihat Dylan di depan mata, Arasha sampai tidak tahu harus bersikap apa.

Untuk beberapa saat, mereka hening. Sama-sama syok dengan keadaan saat ini. Hanya suara obrolan Rosea dan Angel yang terdengar, serta suara seorang pramusaji yang kini mulai menawarkan makanan.

"Asa makan apa?" Suara ibunya berhasil mengembalikan Arasha ke dunia nyata.

Gadis cantik itu berdeham pelan sebelum tangan bergetarnya mulai terangkat perlahan untuk membaca buku menu.

Sejak tadi, Dylan tak henti-hentinya menatap Arasha. Pria itu memperhatikan Arasha seolah Arasha akan pergi jauh.

Dylan bisa melihat bagaimana gugupnya Arasha saat ini. Bibir bawahnya yang sejak tadi terus dia gigit, serta tangan yang bergetar pelan.

"Asa nasi goreng ayam saja." Jawab Arasha. Dia hanya membaca acak daftar menu yang ada. Persetan dengan adanya nasi goreng atau tidak di restoran ini. Yang terpenting, dia memesan. Jangankan memikirkan makanan apa yang dia ingin makan, bernafas saja dia sedang manual.

Pramusaji tersebut segera mencatatnya. "Pedas Nona?" Tanya pramusaji tersebut.

Baru saja Arasha hendak menjawabnya, Dylan terlebih dahulu menyahut. "Tidak pedas sama sekali." Sahutnya, membuat Arasha tanpa sadar menatap pria itu. Dan tanpa sengaja pula, Dylan balas menatapnya.

Manik mata mereka terkunci satu sama lain, dengan debaran jangung yang sama-sama sulit untuk dikontrol. Jika Arasha merasakan sebuah rasa bersalah yang besar dalam benaknya, berbeda lagi dengan Dylan yang merasakan sebuah kerinduan membara. Dia masih tidak menyangka dengan apa yang dirinya alami hari ini. Arasha ada di depannya, menatap dirinya.

Sekarang, Arasha baru sadar jika Dylan tampak sangat tampan. Kadar ketampanan mantan kekasihnya kini benar-benar sangat banyak hingga menyebabkan overdosis. Meski tetap saja, Arland si brengsek yang duduk di samping Dylan masih lebih tampan dari Dylan.

Disaat dua orang dengan masa lalu yang belum terselesaikan tersebut sedang bertatap mesra, Arland menghela nafas berat. Dia memperhatikan mereka, bisa merasakan bagaimana besarnya rasa rindu yang keduanya miliki.

Hingga tanpa sadar, Arland menyeletuk. "Kalau gini sih fix yang dijodohin Asa sama Dylan. Gak usah pakai pilih memilih, Mam! Udah keliatan siapa yang bakal dipilih sama Asa." Celetuk Arland, membuat Arasha berdeham pelan dan segera memalingkan wajahnya.

Arasha gugup. Pikirannya kembali pada tujuan awal mereka. Dimana dia disuruh memilih antara Arland dengan Dylan.

Melihat kegugupan Arasha, Rosea merasa tidak enak hati. Putranya ini memang harus dimasukkan kembali kedalam rahim. Menjengkelkan sekali! Jika berbicara tidak pernah dipikirkan terlebih dahulu.

"Kalau masalah itu kamu gak usah ikut campur. Arasha yang berhak. Entah kamu atau Dylan, itu urusan Asa." Kata Rosea.

"Kamu sendiri gak usah segugup itu, Sa... santai saja. Masih ada waktu beberapa menit untuk memikirkan siapa yang akan kamu pilih." Tangan Rosea mengusap pelan pundak Arasha, berusaha menenangkan gadis itu.

Arasha tersenyum hangat. Rosea memang sosok ibu yang baik. Sejak dahulu, dia selalu nyaman jika sudah mengobrol dengan Rosea.

avataravatar
Next chapter