webnovel

Masalah kecil yang mengganjal

"Tahap awal qi lapisan ke-4, kenaikan yang sangat drastis"

Tahap qi dibagi menjadi beberapa tahap dengan di setiap tahap terdapat 9 lapisan untuk ke tahap selanjutnya, tahap qi diantaranya adalah,

<Tahap Awal>

<Tahap Prajurit>

<Tahap Ksatria>

<Tahap Bangsawan>

<Tahap Raja>

<Tahap Kaisar>

Dan masih banyak lagi tahap-tahap qi lainnya yang lebih tinggi dari tahap kaisar.

Sekarang Zen masih berada di tahap awal qi lapisan ke-4, tapi sebelum dia kalah melawan Guz.

Zen sudah mencapai tahap prajurit lapisan ke-7 saat masih 11 tahun.

"Lapisan 4 dari tahap awal.. Ini cukup untuk sekarang"

*knock*

*knock*

"Siapa?"

"Kak.."

Ketukan itu dan juga suara yang memanggil Zen adalah Nina yang sekarang sedang berada di balik pintu kamarnya.

Zen mengucapkan: "Nina kah?" di dalam hatinya.

*creak*

Pintu kamar terbuka dan Nina berdiri disana sambil memegang gagang pintu yang dibukanya.

Tapi, wajah Nina tampak terkejut saat melihat kakaknya.

"Nina? Ada apa?"

"Ka-kakak?!"

Nina dengan cepat berlari dan memeluk kakaknya dengan erat.

"Ni-nina?! Ada apa sih?"

"Kakak jangan bersedih.. Masih ada Nina disini, meskipun Nina tidak bisa menjadi ibu untuk keturunan kakak. Nina tidak akan pernah mengkhianati kakak!"

Zen benar-benar kewalahan dengan tingkah aneh adiknya.

Zen menarik lengan adiknya dan membantingnya ke kasur untuk menenangkannya.

"Nina tenanglah! Ceritakan dengan pelan-pelan, ada apa?"

Hanya saja-

"Uhnn.. Mmm..."

Karena di desak kakaknya, Nina tersipu malu saat dibanting ke kasur dan ditahan oleh kakaknya yang sekarang berada di atasnya.

Zen menyadari wajah Nina berubah menjadi warna merah, dan dia juga menyadari seperti apa posisi mereka.

Zen dengan cepat melepaskan tangannya yang menahan Nina lalu berdiri, wajahnya sedikit memerah.

Ahem-

"Maaf soal itu.."

"Ti-tidak apa-apa"

Zen merapikan pakaiannya lalu berkata: "Uhh, jadi.. Ada apa? (Ini sudah yang keempat kalinya aku bilang begitu..)"

Kepala Nina masih menunduk melihat ke bawah karena malu, tapi dia sedikit mengeluarkan suara kecil menjawab pertanyaan kakaknya.

"Pertunangan kakak.. Kak Ivy, di depan.."

Perkataannya sedikit gagap karena Nina masih malu atau tidak sanggup berbicara karena malu.

"Oh itu ya?"

Wajah Zen menjadi gelap.

Nina mengangguk tetapi kepalanya masih saja menunduk ke bawah.

*Tarik nafas*

*buang nafas*

Huff..

Zen meletakkan tangannya di kepala Nina lalu dia mengelus-elus kepala Nina.

Setelahnya, menggunakan kedua tangannya, Zen mengangkat kepala Nina dengan lembut.

"Adikku tersayang.. Wajah imutmu itu diperuntukkan untuk terus tersenyum dan ceria bukan untuk murung dan bersedih. Tersenyumlah.."

Nina memaksakan untuk tersenyum, meskipun senyum itu terlihat dipaksakan tapi sebenarnya itu adalah senyuman kasih sayang dan rasa tulus. Sambil tersenyum Nina berkata: "Aku akan selalu tersenyum untuk kakak!"

Zen menggelengkan kepalanya, lalu dia membawa kepalanya dekat dengan kepala Nina dan mengadukan dahinya satu sama lain.

"Tersenyumlah untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain.."

Lalu Zen menjauhkan kepalanya dari Nina, dan berdiri menatap Nina, begitu juga Nina menatap kakaknya.

Zen mengelurkan tangannya dan berkata: "Ayo kita temui kak Ivy". Nina meraih tangan kakaknya dan membalasnya: "Baik kak"

Zen menarik adiknya dari kasur lalu mereka meninggalkan kamar dan pergi ke halaman depan rumah untuk menemui tunangannya, Ivy.

*flashback*

"Zen, saat kita besar nanti. Itu kamu.."

"Aku mau!"

"Eh?"

Anak laki-laki sekitaran 7 tahun, dan anak perempuan 6 tahun. Mereka sedang duduk saling membelakangi dan dipisah oleh sebuah pohon.

Si anak perempuan memainkan jarinya karena malu, sedangkan si anak laki-laki tersenyum dan tertawa.

Si anak laki-laki kemudian menengok ke belakang, ke si anak perempuan yang sedang tersipu malu. Anak itu berkata,

"Aku mau kok!"

Sedangkan si anak perempuan kebingungan, lalu bertanya kepada si anak laki-laki.

"Ma-mau apyaa?!"

Si anak perempuan tidak sengaja menggigit lidahnya saat sedang berbicara, lalu si anak laki-laki menertawakannya.

Si anak perempuan semakin malu, karena tidak tahan. Anak perempuan itu mendorong si anak laki-laki ke tanah dan mendudukinya sambil memukulinya.

"Aduh.. Aduh, aku menyerah, aku menyerah" Kata si anak laki-laki itu

Si anak perempuan memalingkan mukanya dan cemberut, dia masih tetap menduduki si anak laki-laki.

Si anak laki-laki meraih wajah si anak perempuan dan membuat agar si anak perempuan melihat ke arahnya.

Lalu si anak laki-laki itu berkata: "Jangan marah begitu, aku kan cuma bercanda"

"Nona Ivy"

Seseorang berpakaian pelayan memanggil si anak perempuan dengan sebutan nona Ivy.

Si anak perempuan melihat pelayannya lalu langsung berlari ke arahnya.

"Bibi Mel"

Si pelayan tersenyum dan mengelus kepala si anak perempuan.

"Bibi menurutmu, Zen mau menikah denganku tidak?"

Si pelayan terkejut mendengar pertanyaan itu, lalu dia tersenyum dan menjawab: "Tentu saja tuan muda Zen mau menikah dengan nona!"

"Benarkah?!" si anak perempuan sangat antusias. Sementara si anak laki-laki kebingungan, dengan apa yang mereka berdua bicarakan.

Si anak laki-laki menghampiri si anak perempuan.

"Kalian sedang membicarakan apa?"

"Gyaa?!!" Teriak si anak perempuan

"pfft.. Hahahaha!!" kedua orang, si anak laki-laki dan si pelayan tertawa. Si anak laki-laki tertawa dengan keras sedangkan si pelayan hanya tertawa lembut.

Disaat tengah asyik bercanda dan berbincang, ayah Ivy menjemputnya.

"Ivy, ayo pulang"

"Ayah!"

"Tuan.."

Si anak perempuan berbalik melihat si anak laki-laki.

Dia berjalan menuju anak laki-laki itu dan menciumnya di pipi.

"?!"

Si anak laki-laki dan anak perempuan, keduanya tersipu malu, wajah mereka memerah.

"Ehnn, sampai nanti Zen!"

Si anak perempuan berlari menuju ayahnya.

Dia melambaikan tangannya ke si anak laki-laki dan si anak laki-laki membalasnya.

Si anak perempuan menghilang dari pandangan si anak laki-laki. Dia terus memegang pipinya yang dicium dan tersenyum.

*kembali*

Huff..

Zen berdiri di depan pintu didampingi oleh adiknya. Dia menarik nafas sebelum membuka pintu itu, kemudian-

*creak*

Pintu terbuka

Di halaman rumah, terlihat Ivy dan pelayannya. Juga ada satu tambahan figur yang tidak familiar bagi Zen, seorang laki-laki tampan yang membawa kipas.

"Siapa laki-laki itu?"

Ivy menyadari Zen yang sedang berdiri di depan pintu.

"Ah disana kamu!"

Ivy memerintahkan pelayannya untuk memberitahu Zen untuk duduk dan minum teh dulu.

Pelayan Ivy membawa Zen ke meja batu dimana Ivy duduk.

Zen duduk berhadapan dengan Ivy. Zen ditemani adiknya yang duduk disebelahnya, untuk Ivy, laki-laki yang membawa kipas duduk di sebelahnya.

Pelayan menuangkan teh untuk Ivy dan tiga orang lainnya.

"Kamu pasti sudah tahu alasanku datang kemari kan, cacat?" Ivy menatap Zen dengan tatapan yang sangat merendahkan dan mengejek.

"Aku sudah tahu.." wajah Zen menjadi sedikit gelap. Nina memegang tangan kakaknya untuk menenangkannya, kemudian Nina berkata kepada Ivy: "Kak Ivy, jangan panggil kakakku cacat"

Ivy melihat Nina dengan sinis.

"Hah? Emang kenapa? Lah, emang kakakmu itu cacat! Orang yang gak berguna, menyesal sekali aku dulu ingin menikah dengan orang cacat ini, ugh"

Wajah Nina menjadi gelap, dia mulai tak sabaran. Saat Nina mau meluapkan amarahnya, Zen menghentikannya.

Nina melihat kakaknya, dia mencoba menahan amarahnya.

"Heh!"

Laki-laki yang membawa kipas angkat bicara.

"Tidak terpikirkan olehku kenapa kamu bilang mau menikah dengannya saat kamu kecil dulu, Ivy"

"Hahaha, itu hanya masa-masa kecil, tidak perlu dianggap serius kan?"

Wajah Zen semakin menjadi gelap, dia menggigit bibirnya sendiri sampai berdarah karena geram.

"Ivy anakku, kamu disini"

"Zen.."

Datang dua orang dari arah gerbang halaman rumah Zen, mereka adalah ayahnya Ivy dan ayahnya Zen.

Ayah Ivy menatap Zen dengan jijik dan merendahkan.

"Ayah!"

Sorak Ivy saat melihat ayahnya datang.

"Hmph! Ini waktunya.."

Ivy dan laki-laki di sebelahnya berdiri dengan angkuh dan sombong di hadapan Zen dan adiknya.

Pelayan Ivy memberikan sebuah gulungan kertas pada Ivy saat dia melihatnya.

Ivy melemparkan kertas itu ke meja dan menunjukkannya ke Zen sambil berkata: "Ini adalah surat untuk membatalkan pertunangan kita!"