Versailles, 10 tahun lalu
Seorang wanita dengan rok gaya vintage dan rambut kuncir panjang kuning emas memainkan biola di depan altar panggung yang megah dengan latar belakang Istana Versailles abad 17, membuat riuh tepuk tangan penonton bergema sepanjang taman istana tempat tinggal Louis XVI itu. Wanita dengan senyum hangat, pakaian yang tak mewah namun elegan, serta langkah jalannya yang menarik banyak pasang mata para kaum adam yang ada di tempat itu, dialah Violetta. Wanita Perancis yang juga dikenal sebagai calon pemain biola di masa depan itu baru saja selesai menampilkan permainan biolanya yang elegan dan layaknya pemain yang sudah profesional. Senyum yang selalu mengembang dari wajah Violet, begitu ia sering dipanggil terus tersungging di wajah oval berlesung pipi, kulitnya yang agak kemerahan, mata biru bagai Laut St. Tropez yang hangat membuat wanita itu tak salah menjadi incaran para lelaki yang akan langsung terpesona oleh aura kecantikannya yang sempurna. Adalah George Laurel, pria yang lahir dari keluarga pengusaha yang terbilang cukup berpengaruh di Kota Versailles. Lahir dari seorang ibu yang menjadi pengajar musik di salah satu sekolah bergengsi dan ternama di Perancis serta ayah yang merupakan pengusaha minuman anggur yang sangat terkenal di kota itu.
Awalnya, George kecil sama sekali tak menyukai musik. Bahkan, boleh dibilang dia termasuk murid yang seringkali mendapat nilai paling rendah di antara teman-teman sekelasnya. Namun, semua itu berubah ketika ia bertemu dengan Violetta di salah satu akademi musik di tempat kelahirannya. Violetta yang merupakan murid baru yang datang dari Paris langsung menjadi terkenal berkat kepiawaiannya memainkan alat musik gesek tersebut, begitu pula dengan George yang kini telah menginjak usia remaja. Lama-kelamaan, George yang awalnya tak menyukai musik, pada akhirnya jatuh hati pada bidang yang banyak bergesekan dengan partitur-partitur nada itu, namun ada alasan yang lebih penting mengapa George remaja menyukai musik. Yang tak lain adalah karena Violetta. Kecantikan dan sikap ramah gadis itu semakin membuat George jatuh hati padanya. Dan hal itu mulai diketahui oleh kedua orang tua George yang tak setuju dengan hubungan George-Violetta.
"Tidak! Papi tak setuju kamu berhubungan dengan Violetta! Dia hanya anak dari keluarga biasa! Apa kata kolega-kolega Papi nanti? Pikir George … pikir!" Sang Papi sampai menggocoh kepala sang anak dengan tangannya.
George hanya terdiam. Dia tak bisa melawan atau menginterupsi omongan sang Papi, karena di rumah ini sang Papi lah yang berkuasa.
"Papi ga mau tahu, segera kamu putuskan hubungan kamu dengan Violetta karena Papi akan mengenalkan kamu dengan anak perempuan kenalan bisnis Papi. Paham!" Sang Papi meninggalkan George remaja yang masih menjadi anak penurut dan penakut.
"George-" Mami George mendekati putranya yang terus menundukkan kepala dan memeluknya.
"Apa George tak memiliki hak untuk bicara, Mi? Apa George harus terus menjadi anak penurut hanya untuk menaikkan citra Papi di mata para koleganya, Mi?" Kedua tangan George mengepal sambil gemetar. Diam–diam, ia menahan isak tangisnya di depan Mami. Tak ingin dianggap lemah, George remaja memendam semua emosinya. Usia yang sangat rentan … 18 tahun George telah menyukai lawan jenisnya, tapi sayangnya papi yang dikenal memiliki temperamen yang tinggi dan lebih mengutamakan latar belakang, membuat George tak bisa memilih dan menyukai lawan jenisnya dengan bebas, apalagi sang oma yang dikenal sangat kaku dan tegas menilai karakter seseorang.
"Violetta bukan nama gadis yang kau sukai, George?" tanya Mami memunggungi George.
Dia mengangguk.
"Hmmm, sepertinya Mami tahu gadis yang kamu sukai itu. Bahkan, Mami pernah melihatnya langsung."
"D-di mana? Di mana Mami pernah melihatnya?" George langsung menegakkan kepalanya terkejut.
"Le Conservatoire de Music. Dia mendaftar di sana, sebagai calon mahasiswi baru dan harus Mami akui kemampuan bermain biolanya cukup bagus. Apa kamu suka musik karena dia?" goda Mami sambil tersenyum.
George dengan malu-malu menganggukkan kepalanya. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bangganya pada wanita yang menjadi pujaan hatinya itu. "George, Mami juga pernah muda dan Mami sangat mengerti akan perasaan yang kini kamu rasakan. Tapi, kamu juga jangan sampai lupa 'aturan' yang mengikat di keluarga kita sejak lama, hanya mereka yang berasal dari golongan dan kalangan yang sama dengan kita yang mampu menginjakkan kaki di rumah ini, di luar itu …." Mami menggelengkan kepalanya menyentuh pelan pipi putranya dengan tatapan sendu.
"George mengerti, Mi." Sahut George memelankan suaranya lemah.
***
Keesokan harinya, George dan Violet bertemu di tempat yang bernama Kuil Cinta, salah satu tempat yang melambangkan kelanggengan suatu hubungan di mana sang Cupid menjadi simbol tempat megah itu. George muda yang masih menggebu-gebu kala melakukan suatu tindakan dan Violetta yang kalem dan tenang, menjadi rem baginya, hingga tak heran jika terkadang George seringkali meminta pendapat Violetta mengenai suatu hal, terutama musik. George banyak belajar musik, terutama musik klasik dari sang kekasih dan dari Violet-lah George banyak mengenal karakter orang-orang di sekitarnya, tanpa melihat perbedaan latar belakang yang sebenarnya cukup mencolok.
"Selamat, ya atas diterimanya dirimu di Le Conservatoire Music, Violet." George menggenggam kedua tangan sang kekasih di sebuah kuil dengan Cupid di dalamnya sambil tersenyum.
"K-kau tahu dari mana, George aku diterima di universitas itu?" Violet tampak terkejut tak dapat menahan rasa malunya, menundukkan kepala kemudian.
"Hei, kenapa kau harus menundukkan kepala? Harusnya kau bangga, bukankah ini impianmu sejak dulu?" George mengangkat kedua tangan kekasihnya itu. "Tangan inilah … dengan tangan ini kau akan mengubah dunia, Violet. Dengan tangan ini orang-orang akan melihat dan mengakui kemampuan musikmu. Dan aku yakin itu!" semangat George.
"Itu-" Violet langsung tersenyum simpul menundukkan kepala.
"Jangan bersedih, Violet. Aku akan menemanimu di sana."
"Benarkah itu, George? Kau akan menemaniku di Le Conservatoire ?" Violet mendongakkan kepalanya, terkejut dengan ucapan sang kekasih.
"Tentu saja! Mana pernah aku berbohong."
"Oh, George … terima kasih. Terima kasih banyak." Sepasang kekasih itu terlihat sangat bahagia dan saling memeluk dengan erat satu sama lain memamerkan senyumnya tanpa mereka tahu, ada sebuah sedan hitam yang terus mengawasi mereka berdua.
"Jadi rupanya kau tetap berhubungan dengan gadis miskin itu, George! Lihat apa yang bisa kulakukan nanti! Jalan!" perintah orang itu.
George yang telah kembali dari melepas rasa rindunya pada sang kekasih terkejut ketika melihat beberapa mobil mewah terparkir di halaman rumah kedua orang tuanya yang luas dan megah. Seorang pria paruh baya dengan pakaian butler-nya menghampiri George dan meminta ia untuk segera berganti pakaian.
"Kenapa aku harus mengganti pakaianku, Simon? Memangnya di dalam sedang ada acara apa?" tanya George penasaran.
"Maaf, Tuan Muda. Saya tak bisa memberitahu Anda karena itu bukan wewenang saya." Ucap pria yang bernama Simon menundukkan kepalanya.
"Aku tak akan mengganti pakaianku sebelum aku tahu kenapa dan ada apa!" tegas George.
"Kalau begitu, maafkan saya Tuan Muda. Saya tak punya cara lain. Penjaga! Bawa dan masukkan Tuan Muda ke kamarnya! Jangan sampai beliau kabur!" perintah Simon dan segera, dua orang pria dengan badan kekar mendatangi George dan mengunci lengannya.
"Apa-apaan ini! Lepas! Lepaskan aku!" George meronta, namun sayang baginya itu hanya membuang tenaganya. Para pria bertubuh kekar itu sangat kencang mengunci lengannya hingga akhirnya berhasil membawa George ke kamar.
Sementara itu, di ruang tamu kediaman keluarga Laurel, beberapa orang dengan pakaian tuksedo dan beberapa wanita dengan gaun formal, layaknya sebuah jamuan pesta pejabat memenuhi ruang makan kediaman Laurel yang cukup luas dan besar itu. Beberapa di antaranya bahkan terlihat sedang berbincang dengan kedua orang tua George sangat akrab. Tak lama, George turun dengan mengenakan tuksedo hitam, tampak gagah dan menawan, semua pasang mata langsung tertuju padanya saat ia menuruni tangga. Ekspresi datar dan bingung terlihat jelas di wajah George muda ditambah riuh tepuk tangan meriah menyambut George yang perlahan menapaki lantai ruang makan yang penuh dengan orang-orang yang tak ia kenal.
Sang papi, Samuel Laurel dan mami, Anastacia Laurel menghampiri putra mereka, mengapitnya dan memperkenalkan pada seluruh tamu yang hadir di tempat itu. "Inilah George Laurel, putra tercinta kami dan calon penerus Laurel Wine and Beverage." Ucap Samuel bangga sambil tersenyum lebar.
'Apa? Calon penerus perusahaan Papi? Apa maksudnya ini?' gumam Laurel penuh kebingungan.
"Mi, apa maksudnya ini? Ini ada acara apa?" bisik George.
"Nanti kamu juga akan tahu, George." Selang beberapa detik kemudian, Samuel mengajak George berkenalan dengan para kolega papinya, hingga sampailah mereka pada dua orang pria-wanita yang sedang memegang wine dan berdiri dekat pilar besar di ruang makan keluarga Laurel. Pria dengan tuksedo putih dan wanita yang mengenakan gaun berjenis strapless satin.
"Tuan dan Nyonya Perero, kenalkan, ini adalah putra kami, George Laurel. George, beri salam pada Tuan dan Nyonya Perero." Perintah Samuel mendorong pelan tubuh putranya.
"Oh, jadi ini yang namanya George Laurel. Tak salah memang Tuan Samuel dan Nyonya Anastacia menamainya George. Lihatlah dia! Tampan, menawan, mata biru yang indah … semuanya benar-benar cocok dengannya." Puji istri Juan Carlos Perero, Anita Perero.
'Dengannya?' gumam George tak lama mereka melihat seorang wanita dengan gaun cocktail warna hitam selutut dengan lengan panjang dan rambut brunette yang dikuncir kuda, membuat wanita dengan iris coklat gelap itu mencuri perhatian para tamu undangan yang hadir kediaman keluarga Laurel.
"Kenalkan, ini putri kami, Abigail Juan Perero." Gadis dengan paras Eropa-Amerika Latin ini mengulurkan tangannya sambil menyunggingkan senyum manisnya.
"Hai, aku Abigail. Panggil saja Abi. Aku telah banyak mendengar tentang Anda, dan aku sangat tertarik dengan pola permainan biola Anda." Abigail layaknya seorang wartawan yang mencecar narasumbernya bertubi-tubi.
"Abi, jaga sikapmu." Sang Mami mencubit pelan lengan Abi.
"Haha, tak apa-apa, Nyonya Anita. Aku malah salut dengan semangat Abi yang membara dan tak kaku, cocok dengan George yang kaku dan pendiam," ujar Samuel menepuk pundak putranya.
'Cocok denganku? Maksud Papi apa, sih?' Laurel mulai merasa tak enak.
Sejak pertemuan pertama George dan Abigail, keduanya semakin akrab. Abigail sering mengunjungi tempat George berlatih biola, membawakannya makanan atau minuman atau hanya sekadar mengunjungi. Hingga suatu hari, George mendapat kabar jika Abigail adalah gadis yang akan dijodohkan olehnya. George yang kala itu telah berusia 23 tahun, menentang keras rencana sang papi, namun sayangnya, ia tak bisa menolak ketika mengetahui kondisi keuangan keluarganya, terlebih kondisi perusahaan Samuel yang mulai collapse dan membutuhkan suntikan dana, sementara sang mami tak lagi bekerja sebagai pengajar di Le Conservatoire de Music. George yang merupakan anak tunggal keluarga Laurel tak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti keinginan sang papi.
Violetta yang memang belum pernah bertemu dengan Abigail pada akhirnya harus mendapati kabar jika sang kekasih hati harus menikah dengan wanita pilihan keluarganya. Bahkan di hari pernikahan mereka, Violetta sengaja datang namun melihat dari kejauhan. Menahan sesak dan sakit yang tak berdarah, kristal bening yang terjatuh dari kelopak mata gadis cantik itu tak pernah George ketahui karena setelahnya, Violetta memilih untuk pergi dari kehidupan George untuk selamanya.
"Jika cinta bisa dicari, maka dia juga bisa hilang tanpa kembali. Jika cinta bisa membuat bahagia, maka ia juga bisa membuat patah hati. Selamat tinggal, George."