Apa yang ditakutkan sudah ada di depan mata. Ucapan ayahnya benar-benar nyata, kini ia sudah memakai kain kebayak lengkap dengan hijabnya. Dengan polesan make up tipis mampu menutupi matanya yang sembab akibat menangis.
Acara pernikahan digelar dengan cara sederhana hanya ada kerabat dekat yang datang, masyarakat disekitar pun tidak diundang. Pernikahan mereka gelar di sebuah hotel bintang tiga yang dipesan secara eklusif.
"Bapak haraf pernikahan ini kalian jadikan sebuah pelajaran, bapak tidak mau perbuatan kemarin terjadi lagi. Kalian boleh bersama setelah Lia lulus SMA. Saat itu juga kamu harus sudah mampu memimpin perusahaan ayahmu". Ucap Rahman bijaksana.
Rahman, Minah dan yang lainnya berpamitan pulang sementara Akira dan Lia menginap di hotel. Hal ini mereka lakukan untuk menghindari kecurigaan masyarakat sekitar.
"Aku duluan mandi". Ucap Lia yang dianggukan Akira. Mereka mandi secara bergiliran, karena mereka hanya memesan sebuah kamar. Tidak mungkin mereka memesan dua kamar, sebagaimana yang diketahui orang bahwa mereka adalah pasangan suami yang sah. Akan terlihat aneh bukan.
Keduanya tengah sibuk dengan gadget masing-masing, kecanggungan melingkupi keduanya. Walaupun mereka tidur serumah, tapi ini kali pertamanya mereka berada dalam satu kamar. Apalagi mengingat kesalahan yang mereka perbuat.
"Ayo kita segera tidur, besok pagi kita akan balik ke rumah". Ucap Akira pada Lia yang masih betah duduk di sofa.
"Kakak yang disofa atau aku?". Tanya Lia berharap Akira akan mengalah dan membiarkannya tidur di kasur.
"Kita tidur bersama". Ucap Akira santai. Sebenarnya ia berniat menjahili adiknya itu. Entah kenapa ia ingin sekali menjahilinya.
"Kakak yakin?". Tanya Lia ragu.
"Iya, ada masalah?". Tanya Akira, ia melihat dengan jelas ke gugupan yang dirasakan oleh Lia.
"Bukankah kata bapak kita tidak boleh mengulang kesalahan yang sama". Ucap Lia pelan.
"Yap, benar sekali. Kita hanya tidur bersama, tidak mengulang kejadian kemarin, atau kamu ingin mengulangnya?". Goda Akira. Menggoda Lia memang seru.
Lia menggelengkan kepalanya kuat. Ia melangkah ke sisi ranjang yang masih tersisa.
"Lah, ni anak benaran". Batin Akira.
"Mau kemana kak?". Tanya Lia saat melihat Akira beranjak dari tempat duduknya.
"Tidur di sofa".
"Bukannya kakak bilang mau tidur bareng?". Tanya Lia polos.
"Astaga ni anak kelewatan polos. Tambah ngerasa berdosa buat anak orang kayak gini". Batin Akira. "Kakak tidur di sofa aja dek". Ucap Akira meyakinkan.
"Kalau lehernya sakit gimana?, 'kan nggak muat disana".
Akira hanya mengendikkan bahunya. Lia menaruh kedua bantal yang ada ditengah sebagai pembatas. "Kakak tidur disni aja, aku jadiin bantal sebagai pembatas".
"Terus kamu tidur pakek apa dek?". Tanya Akira, pasalnya hanya ada dua bantal.
"Nggak usah pakek bantal, Lia bisa kok tidur nggak pakek bantal". Terangnya.
Akira membaringkan tubuhnya diatas ranjang, tangan kanannya ia rentangkan kesamping untuk Lia gunakan sebagai bantal.