3 Bab 3 Tak di Ajak

Hari ini libur sekolah, seperti biasa. Aku dan Gavriel akan bermain dihalaman rumah atau taman belakang dekat kolam. Bermain kejar-kejaran layaknya anak kecil seusia kami, Mama selalu berpesan padaku. Untuk menjaga Gavriel agar tidak terluka, tapi tetap saja Gavriel selalu tak berhati-hati dan sering kali terjatuh.

Aku mencoba menenangkan Gavriel agar tidak menangis saat jatuh. Sebagai kakaknya, aku mengajari dia bahwa jika lelaki jatuh tak boleh menangis. Harus tangguh dan tahan banting, dan aku berhasil. Setiap kali Gavriel terjatuh, dia tak akan menangis, kecuali terluka. Sebenarnya aku melakukan itu, agar Mama tidak marah padaku. Saat tau Gavriel terjatuh dan menangis, karena amarah Mama akan dilampiaskan padaku.

Hari ini, tak ku lihat Gavriel menemuiku yang sudah berada di halaman depan. Entah kemana perginya dia, biasanya dia paling awal bermain disini jika hari libur. Beberapa menit kemudian Gavriel keluar dari pintu depan, namun dengan penampilan yang rapi. Biasanya akhir pekan seperti ini, dia lebih susah diajak mandi oleh Bi Ningsih, karena sekolah sedang libur. Gavriel menghampiriku yang sedang asik memainkan ayunan yang terletak dekat kolam ikan.

"Mau kemana kamu, Dek? Pagi-pagi begini kok sudah rapi, biasanya paling males kalau disuruh mandi sama Bibi." Dia tersenyum padaku, dan ikut memainkan ayunan disampingku.

"Gavriel mau jalan-jalan sama Papa dan Mama, Mas Jo. Main ke Waterpark yang besar dan mau jalan-jalan ke Mall, Mas Jo gak mau ikut? Kenapa masih belum siap."

Gavriel menjelaskan tujuannya padaku, dengan meragakannya dengan kedua tangan. Tapi, kenapa Mama dan Papa tidak bilang kalau hari ini mau jalan-jalan. Apa aku tidak akan diajak? Sehingga tak mengatakannta padaku. Aku ingin ikut, tapi aku takut mengatakannya pada Mama.

"Mas Jo gak diajak sama Papa dan Mama, Dek." Ucapku dengan jujur menjawab pertanyaan Gavriel. Dia tetap asik memainkan ayunan, dan berhenti kala aku mengatakan demikian.

"Kalau begitu, aku yang ajak mas Jo jalan-jalan, nemenin aku. Ayo mas Jo. Siap-siap dulu." Gavriel menarikku untuk masuk kedalam rumah untuk bersiap-siap ikut jalan-jalan dengannya.

Papa dan Mama keluar dari rumah, Papa heran melihatku yang belum mandi dan berpakaian rapi seperti mereka. Mama mengenakan syal dan topi, terlihat seperti wanita berkelas. Sedangkan Papa, memakai setelan celana pendek selutut dan kaos oblong.

"Loh, Jo. Kamu kok belum siap-siap, kita kan mau jalan-jalan hari ini. Sama Daddy dan Mommynya Viola juga. Mama gak bilang sama Bi Ningsih, untuk menyiapkan keperluan Jo tadi?" Papa menoleh pada Mama yang sedang asik berkaca degan ponselnya.

"Duh, Papa. Bi Ningsih kan ngurus Gavriel tadi, mana sempet ngurusin si Jo. Udahlah, biarkan saja dia gak ikut. Itung-itung sebagai hukuman yang kemarin, karena dia sudah membuat Gavriel terluka."

Lagi-lagi Mama mengungkit kejadian kemarin, padahal aku dan Gavriel sudah berbaikan. Bahkan saat ini, Gavriel sudah berlarian kesana kemari tanpa rasa sakit. Tapi, Mama masih saja kesal padaku.

"Mmm...Jo gak tau, Pa. Kalau hari ini mau jalan-jalan, kalau Papa dan Mama sudah mau berangkat. Jo gak papa kok, kalau gak ikut. Jo main di rumah saja." Jujur aku sedih, karena Mama tak mengajakku. Aku masih bocah kecil seperti Gavriel meski umurku lebih tua darinya, dan aku juga ingin bermain bersama Gavriel dan juga Viola nantinya.

"Gak bisa, Mas Jo harus ikut juga, Pa, Ma. Kalau Mas Jo gak ikut, terus Gavriel nanti mainnya sama siapa?" Gavriel tampak tak bersemangat, kala aku mengatakan tidak ikut dengan mereka. Dia memang selalu seperti itu, tak bisa jika tidak bermain denganku.

"Gavriel sayang, nanti kan bisa main sama Viola. Jadi, meskipun mas Jo gak ikut, Gavriel ada temennya buat main yaitu sama Viola." Ucap Mama dengan memberikan pengertian pada Gavriel sambil jongkok, merapikan sisa bedak anak diwajahnya.

"Tapi, Gavriel gak mau main sama Viola, Ma. Dia perempuan, gak bisa lari-larian sama Gavriel. Nanti kalau dia jatuh dan nangis, Gavriel yang disalahkan. Terus, Mama marah lagi, sama Gavriel. Seperti Mama marah pada mas Jo, kalau Gavriel jatuh." Dia mengingat semua momen saat Mama memarahiku karena membiarkan dia terjatuh. Bagaimana tidak, setiap hari aku selalu menjadi langganan amarah Mama, hingga Gavriel pun mengingat semua itu dengan jelas.

"Sudahlah, Ma. Benar kata Gavriel. Lebih baik Jo ikut, toh dia lebih mengerti omongan orang dari pada Gavriel dan Viola. Jadi, jika mereka berdua berantem, nanti ada yang jagain."

Papa mencoba meyakinkan Mama yang tetap kukuh untuk tak mengajakku. Dan semua itu berhasil, meski Mama tampak ogah untuk mengajakku. Namun, Mama tetap menyetujuinya.

"Ya sudah, cepat sana kamu mandi dan ganti baju, Jo. Minta Bi Ningsih untuk membantumu. Biar gak lama," aku senang Mama akhirnya mengizinkan aku untuk ikut, meski terpaksa. Aku berlari menuju kamar, dan memanggil Bi Ningsih untuk mengambilkan pakaian untukku.

Aku tak mau berlama-lama, karena takut Mama akan tambah marah jika lama menunggu. Bi Ningsih juga membantuku memakai pakaian, sehingga aku pun cepat selesai bersiap-siap. Memakai setelan yang sama seperti Papa dan Gavriel dengan warna yang berbeda.

10 menit aku bersiap-siap. Setelah selesai langsung menemui Papa, Mama, dan juga Gavriel yang sedang menungguku didalam mobil. Kami berangkat ketempat tujuan, dan mengklakson keluarga Viola dari luar pagar. Disana sudah terlihat Mommy dan Daddynya yang sudah siap juga untuk berangkat. Sedangkan Viola, digendong menuju mobilnya.

***

Setelah menempuh perjalan yang agak jauh, mobil berhenti tepat disebuah Waterpark besar di Jakarta, yaitu SnowBay Waterpark TMII. Begitu pula dengan mobil Viola dan keluarganya, mereka memarkirkan mobil tepat disamping mobil Papa.

Viola tetap memakai kacamata dengan model lain, dan rambut yang dikuncir dua. Menjadi ciri khas anak perempuan berusia 6 tahun itu, Papa dan Mama menghampiri Om Pras dan Tante Ningrum. Gavriel digendong oleh Papa, begitupun dengan Viola. Karena mereka masih belum terlalu mengerti ucapan orang-orang, jadi harus digendong.

Aku berjalan bersama rombongan keluargaku untuk membeli tiket masuk. Ku lihat, banyak sekali anak-anak yang datang diakhir pekan ini. Aku sudah beberapa kaki kesini bersama Gavriel, untuk menghabiskan weekend bersama. Jadi, aku sudah mengenal tempat ini cukup baik. Hingga tak akan tersesat. Hal yang membuatku sedih adalah, ketika anak seusiaku dituntun oleh Ibu mereka masing-masing. Sedangkan aku, Mama sama sekali tak peduli pada keberadaanku. Berjalan seorang diri, sedang Papa menggendong Gavriel dan Mama yang asik mengobrol dengan Papa dan Gavriel.

Keberadaanku seperti tidak ada ditengah-tengah mereka. Hingga pada akhirnya Tante Ningrum menegur Mama untuk menuntunku, agar tidak tersesat.

"Sekar, lebih baik kamu tuntun Jonathan. Agar dia tidak tersesat nantinya." Mama menoleh kearahku yang berada tepat dibelakangnya. Tak ada tatapan iba sama sekali darinya, bahkan meraih tanganku saja seperti tak mau.

"Gak papa, Ningrum. Dia sudah terbiasa disini, jadi tak akan tersesat. Tak perlu khawatir." Tante Ningrum hanya mengangguk mengiyakan ucapan Mama. Padahal, aku sangat berharap Mama bisa menuntunku seperti orang tua lainnya. Sebagai wujud rasa pedulinya padaku.

avataravatar
Next chapter