webnovel

Chapter 1

"Selamat datang di Ashikaga Renoir. Meja untuk satu orang?"

Setelah seorang pramusaji membungkuk dengan hormat, Ishida kirika menjawab bahwa dia sedang mencari seseorang.

"Aku sudah punya janji dengan Fujihara Setsuna. Apa ada meja yang dipesan dengan namanya?" katanya sambil melihat suasana kafe yang luas namun saat ini sedang jam sepi. Waktu makan siang sudah berakhir satu jam yang lalu.

"Baik. Silahkan lewat sini. Fujihara sudah menunggu di lantai dua."

Ini adalah kali pertama bagi Ishida Kirika masuk ke dalam kafe yang luasnya mungkin dua kali dari rumahnya. Kafe dengan gaya klasik. Dinding yang dilapisi kertas berwarna putih bersih yang sangat elegan dan mempesona. Pramusaji yang sedang menuntunnya juga memakai pakaian hitam putih bergaya Eropa.

Semakin dia masuk ke dalam kafe, matanya semakin dimanjakan oleh desain interior elegan yang diusung. Kesan Eropa dengan sentuhan klasik, dan warna putih yang mendominasi ruang. Ditambah lagi dengan half-circle sofa berwarna ungu tua membuat sempurna keseluruhan ruang kafe.

Kendati berkonsepkan klasik namun nyatanya tidak ada ornament yang membuat setiap elemennya berlebihan. Lantai, dinding, dan ceiling tidak dipaksakan menjadi serba klasik, namun terintegrasi dan terkesan harmonis di setiap sudutnya.

Dia menaiki tangga yang dilapisi karpet ungu tua dengan garis krem di kanan dan kiri. Seperti seorang putri kerajaan yang sedang dipandu oleh pelayan pribadinya.

Suasana di lantai dua tidak jauh berbeda dari lantai pertama. Namun kapasitas pengunjung jauh lebih sedikit dan peletakan meja juga dibuat lebih renggang. Tapi, di mana orang itu? Fujihara Setsuna, CEO dari perusahaan game yang sedang menjadi pembicaraan hangat di seluruh Jepang saat ini.

Ishida Kirika mengedarkan pandangannya di setiap sudut ruangan, tapi tetap tidak menemukan sosok yang akan ditemuinya. Di mana dia? Apa mungkin mereka akan bertemu di ruangan khusus?

Pertanyaan itu pun akhirnya terjawab. Pramusaji yang menuntunnya berhenti di ujung lorong. Di depannya berdiri megah pintu bergaya klasik, dengan pegangan pintu yang dihiasi ukiran-ukiran khas eropa abad pertengahan.

"Silahkan masuk, Tuan Fujihara sudah menunggu di dalam," kata pramusaji sambil membukakan pintu dan setengah membungkuk.

Rasa gugup pun akhirnya menyerang Kirika. Dia akan bertemu langsung dengan seseorang yang levelnya jauh berbeda dengan dirinya. Seorang pemimpin perusahaan besar ingin menemuinya secara langsung untuk membicarakan kerja sama yang sangat menggiurkan. Tapi alasan orang itu menemuinya secara langsung tanpa perantara dan membawanya ke kafe semewah ini masih menjadi misteri.

"Dia masih muda ternyata… mungkin hanya beberapa tahun di atasku. Aku kira CEO Virtue pria berusia empat puluh atau hampir memasuki kepala lima," gumamnya dalam hati.

Seorang pria dengan setelan jas hitam bangkit dari tempat duduknya ketika Kirika masuk ke ruangan VIP. Rambut pendek berwarna hitam membuat pria itu terlihat seperti guru Bahasa Jepang yang serius dan ketat pada umumnya, dengan kacamata berbingkai hitam dan gaya rambut yang monoton.

Itu adalah yang ada di bayangan Kirika, namun Fujihara Setsuna yang sedang berdiri menunggunya jauh berbeda dari kesan serius itu. Usianya mungkin hanya beberapa tahun di atasnya. Rambut yang ditata mirip seperti artis Jepang membuat kesan pemilik perusahaan yang membosankan seketika runtuh.

DIiringi musik klasikal yang anggun mewarnai tempat pertemuan ini, Kirika berjalan menuju meja yang ada di sudut ruangan. Rasa gugupnya telah membuat jarak dari pintu masuk ke meja kafe bertambah jauh. Saat ini dia merasa kalau pertemuannya dengan pemilik Virtue bukan sebuah pertemuan bisnis, namun seperti sedang menghadiri kencan buta.

Dengan segera Kirika menyingkirkan pemikiran anehnya. Sepertinya rasa gugupnya membuat dia kehilangan akal sehat. Kirika merasa dia harus menjaga profesionalitasnya sebagai seorang penulis novel. Dia membungkuk dengan hormat seraya memperkenalkan dirinya, "Maaf membuat anda menunggu. Saya Ishida Kirika."

"Fujihara Setsuna," kata pria di depannya sambil mengulurkan tangan. "Dan tidak perlu terlalu tegang, aku belum setua yang kamu bayangkan sampai harus bersikap seperti itu."

Kirika terbengong beberapa detik hingga senyum Fujihata Setsuna membuatnya tersadar dan langsung menyambut uluran tangan sang CEO.

Pria di depannya tersenyum lagi dan kali ini terkesan lebih ramah dari sebelumnya. Hingga membuat Kirika lupa kalau tangan mereka berdua masih bersalaman. Kharisma yang ditunjukkan Fujihara Setsuna telah berhasil membuatnya terpesona, tapi ini bukan waktunya untuk mengagumi orang di depannya.

"Silahkan duduk," ujar pria di depannya, menunggu Kirika duduk terlebih dulu.

"Ah…terima kasih."

Dengan perasaan yang masih campur aduk, antara terkesima dan gugup, Kirika pun duduk di kursi empuk di belakangnya. Beruntung hari ini dia menggunakan setelan jas berwarna biru tua, sehingga penampilannya tidak akan begitu kontras dengan tempat mewah ini dan juga orang yang telah mengundangnya.

Pramusaji yang tadi menuntunnya pun akhirnya mendekati meja mereka sambil menyajikan segelas air dingin dan sapu tangan yang hangat, disertai buku menu.

"Kamu bisa memesan apapun yang kamu mau, karena aku yang mengundangmu jadi jangan khawatir."

"Tentu saja," pikir Kirika tanpa mengatakannya. Tapi saat dia melihat menu kafe Ashikaga Renoir, dia hampir saja tersedak. Menu termurah kafe ini sudah berada dalam jangkauan 3500 Yen dan itu hanya secangkir teh polos. Tapi mengingat pria di hadapannya adalah seorang pemimpin perusahaan besar, akhirnya Kirika pun mulai tenang dan memesan sesuatu yang cocok untuk sebuah pertemuan bisnis. Jika memesan sesuatu yang murah, kemungkinan bagi Fujihara Setsuna akan menjadi sebuah penghinaan.

"Ah…aku mau pesan parfait au raspy…le mille feuille aux fruit rouge… dan iced earlgrey latte."

Entah bagaimana caranya, Kirika merasa takjub sendiri karena berhasil menyebut semua pesanannya dengan lancar tanpa melakukan kesalahan dalam pengejaan, meski dia tidak tahu sama sekali apa yang telah dia pesan.

"Kalau begitu buatkan untuk dua orang, ya."

Perkataan dari Setsuna barusan membuat Kirika langsung menoleh, setengah terkejut. Kemudian berasumsi kalau Setsuna ingin mempersingkat waktu, daripada harus memilih menu.

"Baik, Tuan."

Pramusaji dengan fasih meninggalkan keduanya dan Kirika bisa menarik napas lega. Kemudian menatap pria bernama Fujihara Setsuna.

Kirika menunggu pria di depannya membuka tas kerja pipih berwarna hitam, lalu mengeluarkan sebuah buku. Itu bukanlah buku jurnal atau semacamnya, tapi sebuah novel. DI sudut kanan bawah terdapat tulisan 'Zeunoia'. Itu adalah novel yang terakhir diterbitkan Yomu Realm, dan penulisnya adalah Ishida Kirika.

"Aku adalah penggemarmu, maksudku penggemar novel-novelmu. Kamu pasti bertanya-tanya, kenapa aku secara langsung membuat janji denganmu tanpa menggunakan perantara, bukan? Itu adalah alasannya, karena aku penggemarmu."

Kirika terdiam, pria di depannya ini seperti bisa membaca pikirannya. Memang sejak dia mendapat telepon dari Virtue, rasa penasaran sudah menjalar di kepalanya. Mengapa seorang pemilik perusahaan sebesar itu mau direpotkan untuk urusan semacam ini.

"Aku ingin membuat novelmu menjadi cerita dari game Virtue berikutnya. Apa kamu tertarik, Kirika-san?"

"Apa yang kamu maksud novel yang itu?"

"Ya... dan kamu bisa menjadi penulis cerita untuk game-game Virtue berikutnya. Tentu saja kamu tetap bisa menerbitkan novelmu di Yomu Realm."

Kirika berpikir keras, jika membayangkan semua keuntungan yang bisa dia dapatkan dari kerja sama dengan Virtue tentu saja itu sangat menggiurkan. Daripada harus bergantung pada penjualan novel, menjadi penulis cerita untuk game akan menjadi pekerjaan yang lebih pasti.

Tapi saat ini dia sedang sangat antusias dengan Heavenly Online, game yang akan diluncurkan besok oleh perusahaan milik Setsuna. Tentu saja dia harus membagi waktu dengan cermat. Saat ini saja dia sudah kewalahan.

Dia ingat kapan terakhir novelnya terbit, itu setengah tahun lalu. Hingga saat ini, bahkan dirinya belum terpikir cerita baru karena begitu penasaran dengan game virtual baru akan rilis besok. Pasti akan sangat merepotkan, pikirnya. Belum lagi editor penerbit sudah menerornya untuk membuat novel selanjutnya.

"Tawaranmu sangat menggiurkan, tapi—"

"Tidak perlu terburu-buru. Kamu bisa memikirkannya lagi nanti, sekarang nikmati dulu makanannya."

Padahal pramusaji baru saja meninggalkan keduanya beberapa menit, tapi pesanan mereka sudah datang di saat Kirika hampir menolak tawaran Setsuna.

"Apa orang ini begitu tertarik dengan ceritaku, hingga dia rela menunggu?" gumamnya.