5 5. Merayu Suami

"Minggu jalan-jalan yuk! Kamu mau ke mana?"

Ramdan merengkuh tubuhku dari belakang saat aku baru saja menyamping ke kanan. Guling dalam dekapanku jatuh kelantai tanpa bisa kucegah. Akhirnya helaan napas pun keluar sebagai respon dari ucapan suamiku barusan.

"Aku pengin ke cafe atau ke taman kota tapi mager. Maunya rebahan," jawabku kemudian mengubah posisi tidur menjadi telentang.

Bibir Ramdan menipis, sibuk menatapku sembari bertopang kepala. Telunjuknya menyingkirkan beberapa helai rambutku yang jatuh ke wajah. Sepertinya ia tak ingin sesuatu menghalangi wajahku barang seinchi.

Lalu ia tersenyum. "Sama Mas jangan mageran. Kapan lagi kita ngehabisin banyak waktu berdua di luar sana." Kupejamkan mataku kembali karena masih mengantuk.

Jam menunjukkan pukul 8 pagi tapi kami sama-sama enggan beranjak dari kasur.

Ramdan mengubah posisinya sama sepertiku. Helaan napas panjang terdengar.

"Sorean aja, Mas. Ini udah jam delapan aku masih pengin rebahan. Rumah belum keurus, masak juga belum. Ya kali ninggalin rumah dalam keadaan kotor kayak gini," ujarku kemudian bangkit.

Ramdan sontak terduduk sembari menatapku yang tengah mengikat rambut. "Mau ke mana, Dek?"

"Katanya mau jalan-jalan, ya udah aku beresin rumah dulu." Ia tersenyum, lalu memelukku dari belakang.

Tumben sekali.

"Sayang kamu banyak-banyak." Aku terkekeh mendengar ucapannya barusan. Meski begitu, hatiku berbunga-bunga karenanya. Segera kulepas rangkulan Ramdan di perutku, mengambil potongan bajuku yang berserakan di lantai, lalu masuk ke kamar mandi.

Tau sendirilah tadi malam kita habis atraksi.

***

TOK! TOK! TOK!

"Siapa, Dek?"

Aku segera menyudahi kegiatan memberesi dapur—mengelap pinggir kompor selepas memasak. Celemek yang melekat di tubuhku terpaksa harus kulepas demi menemui tamu di depan sana.

Lagian, siapa yang bertamu pagi-pagi? Mungkin tamunya Ramdan. Aku sendiri tidak ada janji temu dengan teman-teman.

"Gak tau, Mas. Biar aku bukain pintunya," balasku kemudian pergi ke ruang tamu guna membukakan pintu. Tak lama setelahnya, Ramdan membalas ucapanku dengan kata 'Ya.'

Singkat, padat, tapi membuat hatiku berdebar.

Namun, semuanya lenyap berkat kedatangan si tamu seenak jidat gedor-gedor pintu padahal udah dapat jawaban dari dalam. Definisi orang gak sabaran maunya cepetan. Daripada marah-marah, lebih baik aku lekas membukakan pintu untuknya.

KREK!

"NUFUS!!"

"LAMI!"

Kami berpelukan erat melepas rindu. Sungguh tamu tak diduga. Kalau tau Lami akan berkunjung ke rumahku hari ini aku pasti menyiapkan banyak makanan untuknya. Ah, paling ujung-ujungnya kita hangout kalau mereka datang tidak bawa makanan.

Mwuehehe.

"Kangen bangeett. Udah nikah lupa sama sahabat sendiri," cibir Lami begitu pelukan kami terlepas. Aku tertawa mendengarnya.

"Awas-awas! Pintu lo kurang lebar, Nu. Lebarin cepet!"

Mulutku sukses menganga. Ternyata Lami datang ke rumahku bawa rombongan. Beragam kresek makanan menjadi buah tangan mereka ketika datang ke rumahku. Aku terharu. Segera kubuka lebar-lebar pintu rumahku untuk mereka.

Ada 5 orang terdiri dari 3 perempuan termasuk Lami dan 2 laki-laki. Datang ke sini bawa mobil milik salah satu teman laki-lakiku. Mereka masih lajang dan sekolah di universitas yang sama. Beda denganku yang sudah menikah ini.

"Masuk-masuk. Untung ruang tamu udah disapu. Lo dateng gak bilang-bilang, sih!" omelku saat melangkah berdampingan dengan Lami. Dapat kulihat mereka duduk di sofa yang tersedia sementara aku ke dapur untuk menyiapkan minum sekalian memanggil suamiku.

"Siapa, Dek?"

Aku sedang mengaduk teh ketika Ramdan datang ke dapur. Pria itu memelukku dari belakang sembari mengendus leher. Aku terkikik geli sebelum berbalik.

"Temen yang sering aku ceritain, Mas. Tiba-tiba dateng gak ngasih tau aku 'kan kaget," jawabku membuat senyum di wajah Ramdan pudar.

"Berarti gak jadi jalan-jalan?" Bibirnya mengerucut sebal membuatku tak segan mencubit pipinya.

"Paling juga sebentar. Kalau gak bisa sore, malam juga bisa, Mas. Jangan cemberut gitu ah."

Ramdan tersenyum lagi. Sebelum tangannya kembali merangkul perutku, segera kubawa nampan berisi teh ke ruang tamu. Suamiku mengekor di belakang dengan wajah datar.

"Minum dulu, gih pasti haus." Aku melirik Lami yang membantuku memindahkan cangkir ke meja. Kudekap nampan yang semula tersodor ke arah teman-temanku.

"Eh ada Mas Ramdan. Duduk, Mas. Ini kita bawa makanan. Pasti Nufus belum masak, kan? Mencium bau-bau habis—ADUH! NUFUS!"

Aku mendelik usai menyenggol lengannya cukup keras. Bocah satu ini tau aja kalau aku belum masak. Sebenarnya udah tapi gak seberapa. Kami juga belum makan karena mereka keburu datang.

"Itu karena lo dateng kecepetan, ngab! Gak usah nyebut dua satu plus-plus di mari. Masih jomlo 'kan lo? Kelihatan tambah ngenes."

Aku duduk di samping Lami sementara suamiku mengajak ngobrol kedua teman laki-lakiku. Meski beda topik obrolan, aku bersyukur karena suamiku bisa membuat teman-temanku tertawa.

"Eh, Nu jalan-jalan yuk! Udah lama gak keluar bareng," usulnya membuat atensiku beralih.

"Ke mana? Sekarang?"

"Ya iyalah sekarang. Emang mau kapan lagi? Mumpung sekarang kita libur." Kedua teman laki-lakiku mengangguk setuju.

Sesaat padanganku beralih ke arah Ramdan. Senyum di wajahnya pudar lantaran kita tak bisa menghabiskan waktu bersama di luar hari ini. Aku membalasnya dengan senyum. Semoga suamiku maklum dan memberiku ijin.

"Boleh ya, Mas?"

Ramdan menghela napas panjang. Puppy eyes terbaik yang kukeluarkan berhasil membuat Ramdan luluh.

"Oke. Jangan lama-lama. Sore udah harus di rumah," jawabnya sontak membuatku bersorak senang. Aku menghambur ke pelukannya secepat kilat. Ramdan terkekeh karenanya.

"Nanti malam aku kasih jatah." Setelah berbisik demikian, wajah Ramdan langsung sumringah. Aku kembali duduk di samping Lami yang tengah mencibir melihat gerak-gerik kami.

"Temen laknat. Udah tau kita jomlo pamer keuwuan segala lagi. Di dalem sini panas woy! Panas!" Lami menggerakkan kerah kaos putih yang ditutupi cardigan sembari memasang wajah kesal. Aku hanya tertawa, melihat reaksi kedua teman laki-lakiku yang tak jauh berbeda seperti Lami.

"Ya maap."

"Tolong jagain Nufus ya. Suka pecicilan dia kalau di tempat rame," pesan Ramdan kepada ketiga temanku, terutama Lami. Wanita itu menganggukinya dengan cepat.

"Santai aja. Gue udah ada pawangnya biar Nufus gak lari-larian."

Aku mengernyit bingung. "Apaan emang?" Lami mendekatkan bibirnya ke telingaku.

"Ada deh ntar juga lo tau." Setelahnya, Lami kembali menjauh, lalu bertanya kepada Ramdan. "Mas gak ikut kita?"

Ramdan menggeleng. "Masih ada kerjaan. Kamu aja yang jalan-jalan sama kalian. Udah lama dia ndekem terus di rumah."

Meski berat hati melepasku keluar tanpa pengawasannya, Ramdan menitipkanku kepada teman-temanku. Padahal ia sendiri sedang tak ada kerjaan hari ini makanya ngajak aku keluar. Tapi karena ada teman-temanku yang jarang berkunjung, ia rela mengalah demi kebahagiaanku.

Pribadi suamiku yang satu ini sangat aku sukai. Ia jarang ikut aku hang out bareng teman-temanku padahal aku tidak melarangnya. Mungkin Ramdan berpikir, untuk apa dirinya ikut jika mereka hanya mengajakku? Kelihatannya mungkin begitu tapi jauh dari dalam hati mereka tak ada maksud untuk meninggalkan Ramdan di rumah sendirian sementara mereka membawaku bersenang-senang.

"Ikut aja, sih, Mas," rengekku yang hanya dibalas senyum manis oleh suamiku.

"Kamu aja. Mas beneran ada kerjaan di rumah. Nanti sore kita jalan-jalan."

"Bener gak apa-apa?" Ramdan mengangguk, menyakinkanku. Aku pun hanya bisa pasrah.

"Jaga diri di rumah ya, Mas. Awas kalau ketahuan ngontak cewek gara-gara kesepian! Jangan harap dapat jatah dari aku ntar malam."

Ramdan bergidik ngeri mendengar ancamanku. "Belum juga pergi udah banyak suudzon sama suami."

"Ya 'kan cuma ngingetin, Mas." Bibirku mengerucut sebal.

"Gak bakal, sayang. Udah sana katanya mau berangkat."

"Makan dulu, hey! Ini kita bawa makanan." Anggi—salah satu temanku angkat bicara sembari menunjukkan kresek bawaannya.

Ah, aku hampir lupa.

"Kalau gitu kita makan dulu."

***

avataravatar
Next chapter