webnovel

3. Sesi Ghibah Ibu-Ibu

3. Sesi Ghibah Ibu-Ibu

"Denger berita gak? Anak tetangga sebelah yang udah nikah lima tahun ternyata mandul," ucap wanita paruh baya bertopi bulat warna merah muda. Umurnya menginjak 50 tahun. Sudah banyak keriput di wajahnya tapi tak mengurangi tingkat kepedeannya dalam menyaingi staylish anak muda jaman sekarang meski jatuhnya norak.

Aku setia mendengarkan bahan ghibah mereka di dekat mertuaku. Sembari meminum jus alpukat dan berselancar di sosial media, telingaku turut panas mendengar celotehan mereka yang entah sampai kapan mereda.

"Bu Mita? Yang suaminya agak tua itu?" Teman mertuaku yang berbicara tadi mengangguk.

"Harusnya sebelum nikah dicek dulu subur apa engga. Kalau udah gini siap-siap aja diomong sama mertua," timpal mertuaku.

Kedua temannya mengangguk setuju.

"Bukan diomong lagi, Ce. Bakal ditalak malah, ihh ... amit-amit jabang bayi."

"Saya teh kasihan sama dia. Denger-denger dari tetangga sebelah, dia sering dimarahi sama mertuanya. Tiap hari ribuuut terus kayak gak ada kerjaan lain. Suaranya kedengeran sampai rumahku padahal jaraknya 'kan jauh, Ce." Perempuan berambut pirang nan bergelombang itu setia memilin rambutnya yang sudah keriting.

"Untung mantuku gak mandul." Atensi mertuaku berpindah padaku, membuat jus alpukat yang hendak lolos dari kerongkongku mendadak berhenti di tengah jalan. Hampir saja aku tersedak jika tatapan mertuaku tak beralih dariku.

Aku tersenyum canggung.

Merasa tak nyaman, aku memberanikan diri untuk angkat bicara. "Bu, pulang, yuk! Udah malem, nanti dicariin mas Ramdan."

Mertuaku menoleh bersamaan dengan tawa mereka yang langsung berhenti. Dia mengangguk maklum kemudian bangkit disusul aku.

"Mantuku capek. Kita balik dulu, besok sambung lagi," pamitnya diangguki kedua temannya.

"Hati-hati di jalan, Ce."

"Kalian juga balik, jangan nginep di sini lagi. Tuman!"

"Iya-iya, Ce. Tenang aja."

Mertuaku langsung merangkul lenganku begitu keluar dari toko kue. Tak kuasa kutolak meski sedikit tidak nyaman karena terlalu erat. Sebagai gantinya, aku hanya tersenyum hambar tiap kali mertuaku melanjutkan ghibahannya tadi denganku.

"Ramdan gaspol terus 'kan tiap malem?" tanyanya mulai random. Aku meringis canggung.

"Ya ... gak tiap malem juga, sih, Bu ngelakuinnya hehe ...." Mertuaku tertawa kemudian mengelus bahuku.

"Gak apa-apa. Sama Ibu jangan malu-malu. Kita sama-sama perempuan. Kalau ada masalah ceritain aja sama Ibu biar Ibu bisa bantu." Aku mengangguk senang.

"Baik, Bu."

"Huh ... baru juga sebentar keluarnya. Kamu bosan, ya?"

"Eh, engga kok, Bu. Tadi 'kan mas Ramdan pesan, pulangnya gak boleh lebih dari jam setengah delapan. Ini udah mau jam sembilan, Bu hehe ...."

Sontak, mertuaku melepas rangkulannya pada lenganku dan langsung melirik jam tangannya.

"Astaga!! Bener katamu. Kalau udah ghibah emang dunia suka dilupain. Gak kerasa udah ngobrol sejam lebih," ucapnya sedikit tak enak padaku. Lagi-lagi aku tersenyum maklum. Ya ... habis bisa apa lagi selain itu?

"Jamnya kalian atraksi. Duh, Ibu malah ngehambat program cucu kembar dua belas. Maafin Ibu ya, Nu."

Mataku membulat sempurna. Program cucu kembar 12 katanya? Kembar 2 aja susah tapi ini mintanya 12. Sebesar apa lubangku nanti kalau permintaan mertuaku dituruti?

Eh!

"K—embar dua belas, Bu?" Kuberanikan diri untuk bertanya pada mertuaku. Lagian mertuaku ada-ada saja. Anaknya aja gak sampai 5 kok minta cucu 12 mana pesannya kembar semua pula. Aku yakin mas Ramdan pasti nyerah duluan sebelum buat projeknya.

Mertuaku tertawa terbahak-bahak sembari memukuli lenganku. Sakit sebenarnya tapi aku senyumin aja. Kebiasaan dari muda memang susah dihilangkan. Sudah mendarah daging.

Dia lalu membalas selepas tawanya berhenti, "Canda, Nu. Dibawa serius amat. Ibu mah dibikinin cucu berapapun bakal diterima. Dikasihnya aja dari Tuhan asal kalian gak repot ngurusnya."

Aku tersenyum. Untung cuma glewehan.

"Doain aja ya, Bu semoga Nufus cepet hamil," ucapku sembari mengelus permukaan perut yang datar. Mertuaku mengamini dengan suara lantang.

"Sebenernya Ibu pengin dukung kalian waktu lagi atraksi, tapi takut ganggu. Lagian kalian juga udah pindah dari rumah Ibu jadi Ibu gak bisa ngawasin kalian lagi."

"Mau belajar mandiri, Bu."

"Terserah kalian aja. Toh, itu hidup kalian. Yang ngejalani kalian. Ibu mah dukung aja."

Atensiku beralih ke arah depan. Angin berembus cukup kencang menerpa tubuh kami yang hanya berbalut cardigan. Mertuaku tak lagi merangkul lenganku, beralih mengusap kedua lengannya karena kedinginan. Aku membiarkannya sembari terus berjalan menuju rumah kami yang searah.

"Ibu langsung pulang lah, ya. Itu Ramdan udah di teras rumah. Kalau Ibu nyapa nanti malah diomelin habis-habisan."

Baru juga sampai depan rumah tetangga—lewat satu rumah lagi itu rumahku tapi ibu mertua buru-buru pamitan.

"Biar Nufus yang ngomong ke mas Ramdan, Bu. Ibu ke rumah kita aja dulu, tidur di sana." Mertuaku menggeleng.

"Nanti cucu pesananku gak jadi-jadi. Ibu mau pulang aja."

"Dianterin sama mas Ramdan aja, Bu jangan pulang sendiri."

"Sendiri aja, Nu. Kamu masuk, gih! Udah malem, cuaca dingin. Kapan-kapan Ibu ngajak kamu main lagi."

Aku tak bisa mencegah mertuaku sebab langkah kami terpaut cukup jauh. Kami memang mengobrol di pinggir jalan, tapi ibuku langsung berlari melewati rumahku sedangkan aku masih berdiri di depan rumah tetangga. Mas Ramdan melihat gerak-gerik ibunya yang tak ingin kena omel karena membawa menantunya sampai larut malam bergegas menghampiri jalan raya.

"Ibu mana? Kabur lagi?" Napas suamiku menderu bersamaan dengan kepalanya yang sibuk melirik arah seberang. Sekelebat bayangan putih yang sedang berlari tertangkap indra penglihatan kami. Aku tertawa melihat wajah masam suamiku lantaran tak bisa memarahi ibunya lagi.

Beralih mengelus lengan suamiku, aku berucap, "Maaf pulang telat, Mas. Ibu keasikan ghibah tadi sama temen-temennya jadi kita pulang telat." Perhatian Ramdan beralih padaku. Seulas senyum terbit di wajahnya kemudian memelukku cepat.

"Lama banget daritadi aku tungguin. Ngobrolin apa aja. sih?" Ia mulai mengendus leherku seperti biasa, membuatku terkikik geli. Pelukan kami pun terlepas.

"Mas udah makan?" tanyaku disambut gelengan kecil dari sang suami. Kami berjalan beriringan menuju rumah sembari merangkul satu sama lain.

"Di rumah gak ada makanan. Kamu gak beliin Mas makanan?" Aku mengeluarkan sepotong roti yang disimpan dalam saku celana untuk diperlihatkan kepada suamiku.

"Maaf rotinya aku kantongin. Habisnya jam segini gak ada warung makan yang buka. Angkringan juga jauh dari sini, gak ngelewatin sana tadi. Jadi aku bungkusin roti yang dipesan ibu tadi buat Mas. Gak apa-apa, kan?"

Ramdan menatap roti yang kusodorkan dengan mata berembun. Entah ia terharu atau tidak, aku tak mempedulikannya. Segera kutaruh sepotong roti dalam kresek ke tangan suamiku, lalu masuk ke dalam rumah.

"Nu ... Mas terharu ...."

Mulai dramanya, batinku lantas tertawa.

[.]

Next chapter