webnovel

Decode : Breaker

~ Remake dari Wattpad ~ Dunia ARMMO adalah dunia yang tercipta dari pemikiran jenius Prof. Kimura Makoto, selaku juga seorang pencipta game pertama yang disebut sebagai 'The Last Phantasm'. Kejeniusannya mengangkat namanya menjadi terkenal. Disaat game di dunia nyata menjadi lebih hidup disaat itulah tak ada yang pernah menyadari bahwa mereka telah terikat oleh sebuah rantai bahaya dimana takdir mereka dipertaruhkan. Yukihara Yuka, salah seorang murid sekolah menengah pertama harus terjebak dalam situasi seperti itu. Dia dipaksa untuk terus bertarung untuk mempertahankan kehidupannya dan melindungi orang yang disayanginya. Takdir akan terus membawanya pada realitas sesungguhnya masa depan yang akan dia miliki. Kejadian kecelakaan keluarganya... dan kebenaran tentang siapa ayahnya yang sebenarnya... akan terungkap. Melalui cobaan itu Yuka memilih untuk terus melangkah. Dia memutuskan untuk mengakhiri penderitaan itu untuk selama-lamanya. Ini merupakan kisah epik perjuangan hidup seseorang didalam sebuah krisis yang melanda Jepang. Dimana mereka mempertaruhkan realitas mereka dari sebuah ilusi yang berusaha menguasainya.

Ay_Syifanul · Games
Not enough ratings
10 Chs

Bagian 4 - Bertemu Kembali

Ketiga pria dewasa itu dengan mudah mengalahkan Tyran. Sebagai hasilnya, Yuka juga mendapatkan hadiah dari kerja samanya meski hanya beberapa tebasan kecil.

{Result}

{Exp : 526}

{Cop : 62}

{Drop Item : 3 ; (Monster skin lv.2) ; (Handle lv.1) ; (2 Small HP Potion)}

Layar proyeksi itu muncul dihadapannya, kemudian layar yang berbeda ikut menimbrungnya.

{Congratulation!}

{Level 1 ➡ 100/100. (Level Up⬆)}

{Level 2 ➡ 260/260. (Level Up⬆)}

{Level 3 ➡ 166/545}

{Point : + 4 ⚫}

{Ability Point : ‹Teleporter›, 1.53%/100%)

Dari apa yang Yuka lihat melalui layarnya, dia meyakini ada yang disebut dengan Class Upgrade.

Selain membunuh monster, Skill Point dapat juga terisi dengan beberapa cara. Seperti berlatih atau membeli Item Class Upgrade, namun sepertinya itu berbayar.

Alice kemudian menjelaskan secara ringkas semua tampilan tersebut.

"Selain exp, cop atau yang serupa disebut copper adalah mata uang dalam game. Sedangkan monster skin dan handle merupakan bahan crafting. Status akan meningkat mengikuti kenaikan level."

Yuka mengangguk beberapa setelah dia melihat perubahan pada statusnya.

Kemudian yang tersisa adalah Point dan Ability Point. Awalnya Yuka menduga dua hal tersebut serupa, namun rupanya berbeda dari penjelasan Alice.

"Point adalah bagian dari sistem Point Tree yang dimuat dalam ryumyaku. Dengan membuka cabang pohon, maka Onii-sama dapat menggunakan berbagai macam skill dan bonus peningkatan status yang berbeda. Sedangkan Ability Point adalah point yang digunakan untuk meningkatkan class, meski disamping itu ada syarat lainnya juga yang harus dipenuhi agar dapat Class Upgrade."

"Jadi, aku akan bertambah kuat dengan menaikkan level?"

"Benar!"

Saat mendengar penjelasan Alice, ketiga pria itu mendekati Yuka dengan tatapan heran. Terutama pada Alice yang terlihat seperti mengetahui segala hal.

"Hey, boya. Sebelumnya aku merasa heran, bagaimana kau melakukan itu?"

"Melakukan apa?"

"Berpindah tempat... teleportasi itu."

Pria berbadan paling besar itu berujar padanya dengan nada sedikit menyalak. Dia sepertinya sedang berusaha mengorek informasi darinya, namun tak ada gunanya karena Yuka sudah mengungkapkannya.

"Aku hanya memotong udara menciptakan ruang terbatas untukku berpindah tempat."

Ketiga pria dihadapannya saling menatap. Mereka mengkonfirmasi beberapa hal kemudian kembali menatap Yuka.

"Boya, dalam ilmu pengetahuan entah itu kau mengubah susunan partikel atau bagaimana. Namun, itu masih mustahil untuk memindahkan dirimu sendiri. Pada AR, tak akan ada sistem yang mampu mengubah keberadaan. Jika kau adalah non-player mungkin itu dapat dilakukan, tapi itu mustahil untuk manusia normal. Atau mungkin aku dapat menyebutnya keajaiban."

Yuka termenung. Dia sudah menyadari itu sejak awal. Keanehan dirinya serta kekuatannya tersebut membuatnya kadang bertanya-tanya.

Kenapa Kimura Makoto menciptakan sistem itu. Yuka yakin pasti kekuatannya adalah bagian dari sistem, namun disamping itu tak ada yang bisa menjelaskannya secara tepat.

"Dari penglihatanku, ruang terbatas yang kau ciptakan adalah media ruang yang mempercepat proses pengubahan susunan partikel. Sepertinya itu tidak sebatas dirimu saja. Ada kemungkinan kekuatanmu belum sepenuhnya bangkit. Karena itu sebaiknya kau lebih berhati-hati."

"Tidak, bukan seperti itu."

Suasana hati Yuka seketika berubah. Dia tertunduk dengan semua pikiran yang muncul dalam kepalanya.

"Kekuatan ini bukanlah milik kita, dan kita seharusnya tak memilikinya. Kenapa kalian begitu tenang seolah ini bukan apa-apa? Kalian mungkin bisa mati lho."

Lagi, ketiga pria itu saling berpandangan. Beberapa diantara mereka tersenyum dan kemudian akhirnya Yuka mendapatkan jawabannya.

"Saat kau bertanya kenapa, mungkin... karena kita bertiga memiliki kemiripan."

"Dia benar. Lagipula tak akan ada yang berubah jika semua ini kembali seperti sedia kala."

"Jika kau ingin menyebutnya... Benar. Mungkin kami seperti sedang melarikan diri dari kenyataan."

Dilihat dari akrabnya ketiga pria itu Yuka mengerti kalau mereka mungkin mitra kerja atau sejenisnya. Namun hingga berpikir seperti itu, Yuka bisa merasakannya.

"Melarikan diri dari kenyataan?"

Benar. Yuka pernah sekali melakukannya. Bahkan hingga saat ini Yuka masih dipenuhi rasa bersalahnya tersebut.

"Itu benar. Kami mungkin sudah tua untuk berdelusi seperti itu, tapi ada baiknya bagimu juga... adikmu(?) untuk tidak menjadi seperti kami."

"Benar. Benar. Kau masih memiliki hal yang kau percayai dan lindungi. Karena itu jadilah lebih kuat."

Pria berbadan besar itu memandangnya dengan sedikit melirik kerah Alice.

Terdapat sedikit kesalahpahaman dari pria tersebut, namun Yuka memutuskan untuk diam. Dia lalu memikirkan perkataannya tersebut.

Apa yang dia percayai?

Apa yang ingin dia lindungi?

Butuh sedikit waktu hingga Yuka menemukan jawabannya, jadi mungkin dia tak boleh menyerah begitu mudah.

Mungkin inilah yang Alice ingin katakan padanya. Alice pasti bisa memahami apa yang dipikirkannya dan apa yang ingin dia lakukan bahkan sebagai seorang penyendiri.

"Sebelum kami pergi. Terima ini. Kau lebih membutuhkannya daripada aku."

Pria itu seperti menekan layar dihadapannya kemudian mengambil Stick Grid yang ada di punggungnya. Sebuah pedang lalu muncul.

"Ini..."

"Ulurkan Stick Grid mu juga. Itu akan mengirim."

Yuka segera mengulurkannya. Kedua benda itu memiliki lampu led kecil menyala. Dan disaat bersamaan pedang yang sebelumnya muncul di tangan pria itu menghilang, kemudian muncul pada tangan Yuka.

Sebuah notifikasi muncul.

{Item Recivied!}

{Name : Blue Origin lv.3}

{Class : One Handed Sword}

{Grade : C}

{Attack +15, Balance +2, Strength +3}

{Type : None ; Skill : None}

Lagi-lagi beberapa dari bagian notifikasi tidak dipahami Yuka. Dia lalu bertanya pada Alice.

"Onii-sama dapat mencampurkan senjata Onii-sama dengan item Grade B yang disebut Magic Rune. Senjata Onii-sama akan menjadi senjata tipe elemen dan Skill menyesuaikan jenis dan level dari item Magic Rune."

Setelah dibantu begitu banyak Yuka tak tau harus mengatakan apa. Rasanya terima kasih saja tidak cukup untuk mereka bertiga.

Padahal mereka memiliki kehidupan normal mereka sebagai manusia, namun mereka telah memutuskan untuk beralih dari kenyataan itu dan mencari realitas lainnya.

Apa yang akan terjadi jika Yuka mengalami nasib yang serupa? Dia menyerah dan lari. Namun sepertinya bayangan masa lalunya tidak akan pernah hilang.

Benar. Mungkin saat inilah waktu yang tepat untuk Yuka menebus kesalahannya.

"Terima kasih. Kalian sudah banyak membantu."

Ketiga pria itu tersenyum rendah seolah mengerti. Lalu pria berbadan besar itu kembali mengulurkan tangan, namun hanya tangan kosong.

"Perkenalkan namaku Gaz, dia Rocky, dan ini Hide. Meski hanya nama game sih."

Yuka mengangguk membalas uluran tangannya. Karena tak terpikirkan, Yuka memilih menyebutkan namanya.

"Namaku Yukihara Yuka, dia Alice."

Kedua pria di belakang Gaz berseru pelan.

"Alice... selera orang tuamu bagus juga."

Katanya. Yuka hanya bisa tertawa pelan karena kesalahpahaman itu berlanjut. Namun entah mengapa dirinya menikmati itu.

"Kalau begitu, kita pergi dulu. Kalian hati-hati."

Ketiga sosok pria itu menghilang dari penglihatan Yuka. Dia tak pernah menduga akan diselamatkan bahkan dibantu sampai sejauh ini.

"Mereka orang yang baik. Aku pikir semua kejadian ini akan membuat banyak orang lebih memilih menyelamatkan diri mereka sendiri daripada memikirkan orang lain."

"Lalu setelah ini apa yang akan Onii-sama lakukan?"

Alice memandangi rumah Yuka yang kini telah kehilangan setengah bagiannya. Berantakan dan hampir rata dengan tanah, tak ada yang terpikirkan selain meninggalkannya begitu saja.

"Meski sangat disayangkan. Kita pergi. Kali ini sekolah, mungkin? Seharusnya sudah ada banyak orang disana."

Itu seharusnya menjadi hari biasa dimana Yuka berangkat sekolah, namun sepertinya kali ini berjalan tak sesuai harapan.

Namun, melihat kekacauan di sekitarnya ada kemungkinan sekolah diliburkan. Bahkan jika tidak, semua murid pasti akan membolos.

"Yah, siapa juga mau belajar disaat seperti ini?"

"Onii-sama?"

Alice bertanya tak kala Yuka hanya terdiam sembari memandangi tempat ketiga pria itu menghilang. Dia pikir Yuka memiliki sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

"Ah, tidak. Mari ke sekolah. Kita mungkin akan bertemu seseorang disana."

"Hai*!"

"Tapi lewat jalan memutar saja. Lebih aman lewat sana... mungkin."

Kemudian mereka berdua meninggalkan tempat tersebut. Alice yang terlihat mewaspadai sekitar tidak dihiraukan oleh Yuka.

★★★

Butuh waktu setidaknya dua kali lipat untuk tiba di sekolah. Meski dibilang meninggalkan rumah, Yuka hanya mengenakan seragam sekolahnya dan juga peralatan AR tanpa uang.

Yuka memandangi sekitar dalam perjalanannya menuju ke sekolah dimana mulai sedikit jumlah bangunan dan tergantikan dengan tempat sedikit terbuka.

"Aku tidak tau ada kuil di tempat seperti ini. Mungkin karena aku memang tak pernah melalui jalan ini."

Jalan yang Yuka lalui adalah wilayah Yokohama, tepat di sebelah teluk tokyo. Tepatnya, Yuka memandangi tempat itu dengan tatapan kagum.

Tak jauh dari teluk tokyo, terdapat jalan menanjak menuju suatu tempat. Benar, dapat dilihat dari bentuk luarnya itu memang kuil.

Namun tempat mencolok seperti itu tidak dapat membuat Yuka menarik perhatiannya sebelum saat ini, rasanya Yuka memang terlalu banyak mengkhawatirkan masa lalunya.

Saat ini ada Alice. Yuka akhirnya dapat merasakan arti kehidupan sekali lagi. Dia tak akan mengulangi kesalahan yang sama dengan kehilangan Alice dari sisinya.

"Onii-sama, aku menemukan reaksi pemain tak jauh dari sini."

Kata Alice menyadarkan Yuka.

"Apakah ancaman?"

"Tidak. Mungkin... player itu sepertinya dikepung oleh sekumpulan monster dengan 'Code Name : Bloody Wolf'. Tak ada reaksi sihir terjadi."

"Maksudmu, dia terjebak?"

Saat Yuka mempertanyainya, Alice memandangnya dengan penuh harapan.

Hal yang sama seperti saat sebelumnya mereka menghadapi Tyran. Sebegitu inginnya Alice membuat status Yuka naik.

Namun meski begitu, itulah yang dibutuhkan untuk hidup dalam kekacauan seperti ini. Menjadi kuat dan mengalahkan siapapun atau apapun yang menghalangi, Yuka rasa itulah inti sebuah permainan.

"Baiklah, baiklah, aku mengerti. Aku akan pergi mencari tau."

Alice yang mendapat persetujuan Yuka tersenyum bahagia. Terkadang Yuka sampai lupa berpikir bahwa Alice dan Yuki adalah orang yang berbeda.

"Dasar. Kau ini kadang-kadang menyebalkan. Sama seperti Yuki dahulu."

Yuka melangkah setelah Alice memberikan arahan padanya. Tempat yang rupanya tak jauh dari kuil itu Yuka dapat dengan mudah menemukannya.

Namun setibanya dia disana, matanya terbelak karena terkejut.

Dihadapannya terdapat seorang gadis sekolah yang tergeletak dengan segerombolan serigala haus akan darah mengelilinginya.

Meskipun serigala itu hanya sebuah data, namun sama seperti bagaimana Yuka menghadapi Tyran sebelumnya. Sepantasnya ada sesuatu yang tidak normal disini.

Dan yang lebih parah lagi, Yuka mengenal gadis itu.

"Perlukah aku melakukan scan data mereka, Onii-sama?"

"Tak perlu. Aku akan pergi duluan, kau menyusul lah nanti."

Tanpa basa-basi Yuka memotong ruang dan menghilang di dalamnya. Alice yang memahami perintah Yuka terdiam sejenak kemudian melangkah dengan ringan menuju posisi Yuka saat ini.

★★★

"Tidak... menjauhlah.... menjauh!"

Gadis itu berusaha melemparkan apapun yang dimilikinya pada segerombolan Bloody Wolf dihadapannya.

Namun mengingat keberadaan serigala itu tidak biasa, gadis itu tak bisa berbuat apa-apa selain ketakutan dan berjalan mundur hingga dirinya terpojok.

'Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku tak bisa Log Out?! Apa... apa... apa semua ini?!'

Kepalanya terasa pening dengan serangkaian kejadian pagi ini. Dia yang harusnya berangkat sekolah dengan normal harus menjalani hidup di dunia game dimana monster dapat menyakitinya secara tidak langsung.

"Aku tak mau... aku tak mau ini! Siapapun, tolong aku!!"

Dihadapkan dengan taring tajam serigala itu, gadis itu hampir menangis dengan menyembunyikan kepalanya pada kedua tangannya.

Namun suara serigala itu justru lebih terdengar seperti terkejut daripada senang akan menerkamnya. Dan yang dirasakan gadis itu setelahnya, hanyalah udara tenang.

'Apa... apa yang sebenarnya terjadi?'

Membuka kelopak matanya secara perlahan, gadis itu dapat melihat semacam lingkaran cahaya biru gelap yang memancarkan semacam aura menyeramkan muncul tak jauh darinya.

Tapi itu tak tertuju padanya. Seluruh Bloody Wolf yang menujunya beralih menatap ke arah lingkaran tersebut seolah mendeteksi adanya bahaya.

Kemudian matanya terbelak karena terkejut melihat sosok keberadaan yang entah player atau bukan muncul dari dalam lingkaran tersebut.

Seragam sekolah yang serupa dengannya telah menyadarkan gadis itu.

"Kau..."

Saat dirinya bergumam demikian sosok itu telah mengayunkan pedang biru yang dibawanya melukai salah satu Bloody Wolf.

Wajahnya berbalik memandangnya dan bibirnya kemudian berujar.

"Kita lari, Yuuna-san!"

Berdiri mengulurkan tangannya, lelaki yang merupakan teman satu kelasnya tersebut mengajaknya pergi.

Tanpa ragu gadis itu membalas menggenggam tangannya, kemudian mereka menghilang dalam sekejap mata.