2 Selia Artania

Dalam perjalanan, Aiden terus memperhatikan sekitarnya. Dia tidak ingin tiba-tiba saja ada Demonic Beast yang menyergap dan menyerangnya dengan ganas, meskipun sebenarnya Aiden sudah mengerti kalau Demonic Beast di sini cukup jinak bila dia tidak menggangu mereka.

Namun tetap saja, dia harus siaga.

Pernah suatu ketika, Aiden sedang berjalan-jalan berkeliling sekitar kediaman Herdian, dia masih baru memulai latihannya dengan Herdian jadi Aiden ingin sekedar berkeliling hutan untuk beradaptasi dengan suasana. Dia tidak pergi terlalu jauh, karena Aiden sebenarnya tidak meminta ijin terlebih dahulu pada Herdian. Dia hanya berkeliling halaman, namun tidak di sangka seekor Demonic Beast menyerangnya tiba-tiba.

Aiden yang masih lemah tidak bisa berbuat apa-apa saat mahkluk itu, yang berbentuk seperti kera besar, menendangnya dari samping dan mencoba untuk memakan kepalanya. Ketika kejadian ini terjadi Herdian sedang keluar untuk urusan kecil, akibatnya tak seorang pun bisa menolong Aiden. Dia sendirian.

Aiden berteriak keras pada waktu Demonic Beast tersebut mencengkram tubuhnya tepat di daerah perut, dia merasakan rasa sakit seperti terhimpit bangunan besar saking kuatnya cengkraman monster itu.

Beberapa saat kemudian Aiden kehilangan kesadarannya. Lalu ketika Aiden kembali terbangun, dia melihat sepasang mata hitam tajam menatapnya sangat dekat.

Itu adalah mata Herdian! Aiden langsung melompat ke belakang dan segera rasa nyeri menyerang setiap tulang dan ototnya. Dia lalu menyadari bahwa tubuhnya penuh dengan perban dan tanaman obat berbagai warna.

Aiden mengerti bahwa Herdian sudah menyelamatkan dirinya dari monster kera yang hampir membunuh jiwanya. Aiden kemudian berterimakasih untuk itu, dan membungkukkan tubuhnya. Namun lagi-lagi dia merasakan rasa nyeri yang teramat sangat.

Herdian menyuruhnya untuk istirahat saja, kemudian dia menjelaskan bahwa urusan yang dia maksud sebelumnya adalah untuk memburu Demonic Beast bernama Hell Ape, yang ternyata muncul di dekat kediamannya sendiri.

Herdian tersenyum kecut karena tidak menyadarinya dari awal, kalau sebenarnya sarang Demonic Beast itu dekat dengan rumahnya.

Aiden bertanya tentang nasib mahkluk yang bernama Hell Ape tersebut, Herdian langsung menjawabnya secepat kilat dengan, "Mati".

Aiden kebingungan, dia kemudian bertanya lagi tentang berapa lama dirinya pingsan? Herdian menjawab, "Lima menit! karena efek tanaman obat di tubuhmu tentunya".

Aiden menyimpulkan, Herdian datang tak lama setelah dia pingsan. Herdian juga sudah membunuh mahkluk itu tak lebih dari lima menit, padahal jika Herdian berada dalam sudut pandang Aiden, dia pasti akan menemukan berbagai kalimat menyangkal yang berputar di kepalanya.

Aiden masih tak percaya kalau Herdian sekuat itu. Penyebabnya karena tubuh Herdian terlihat begitu rapuh dan tidak ada ototnya sama sekali, bagaimana dia bisa mengalahkan mahkluk mengerikan itu?

Merenung sejenak, Aiden merasa ada kesalahan dalam pemikirannya.

Kira-kira orang tua macam apa yang bisa mengajaknya memasuki hutan menakutkan Lostingsoul tanpa sedikit pun kekhawatiran?

Siapa juga orang tua yang mau berurusan dengan monster mengerikan, yang disebutnya Demonic Beast Hell Ape, bahkan sampai memburu monster tersebut?

Dan lagi, dia sampai bisa membunuhnya kurang dari lima menit. Aiden saja yang berumur 16 tahun tidak berkutik ketika berurusan dengan mahkluk itu, lalu bagaimana bisa kakek ini melakukannya?

Aiden berpikir keras, otaknya tidak dapat menerima hal di luar logika seperti ini.

Segera setelah itu, Aiden menyadarinya. Dia menahan napasnya karena terkejut. "Apakah kakek seorang Warrior?!"

"Kau baru menyadarinya? Dasar, memangnya hidupmu untuk apa saja?"

"Ah.... aku hany—"

Tidak sempat Aiden mengingat semua kejadian paling menegangkan yang pernah dia alami dengan Demonic Beast, sesuatu yang mencurigakan membuatnya menarik pedang.

———

Seorang gadis tengah duduk bersila di atas batu besar, di depannya adalah pemandangan air terjun memukau dengan puluhan undakan yang dialiri air sebening kristal.

Gadis itu terlihat muda dan wajahnya menarik. Kulitnya yang seputih bengkoang terlihat halus bagai sutra. Matanya yang proposional tengah tertutup dengan bulu mata lentik melengkung ke atas. Hidungnya yang mancung menambah pesona gadis itu. Alisnya melengkung tegas tetapi tidak terlalu tebal. Rambutnya yang memiliki gradasi tiga warna berbeda nampak eksotis, dan dibiarkan tergerai sampai pinggangnya.

Gadis itu tengah bermeditasi menyerap Mana dalam jumlah besar ke dalam tubuhnya. Dia sangat fokus dan bahkan tidak terganggu oleh suara-suara teriakan dari berbagai macam monster yang ada di sekitarnya.

Aroma dari tumbuhan lembab juga air terjun memenuhi penciuman gadis itu, dia menarik napas dalam-dalam dan menahannya beberapa detik lalu menghembuskannya sesaat kemudian.

Pikirannya bertambah tenang. Gadis itu sudah tak mendengar suara-suara berisik dari luar, kecuali suara deru air terjun yang bak irama musik menenangkan.

"Sekarang tinggal menambah kecepatan menyerap Mana..." suaranya begitu halus dan merdu, sampai-sampai menggetarkan jiwa seseorang yang mendengarnya.

Gadis itu kemudian menfokuskan penyerapan Mana-nya ke dalam tubuh yang tadinya secara keseluruhan, berganti pada satu titik saja, yaitu di bawah pusarnya.

Kumpulan energi alam dalam bentuk benang-benang halus berwarna biru segera dihisap olehnya. Energi atau Mana tersebut berelemen air, yang lebih banyak tersedia di dekat sumber air daripada di tempat biasa.

Dengan cepat gadis itu bisa merasakan perubahan tingkat kekuatannya. Seolah-olah tubuhnya dibasuh oleh air yang dingin dan menyegarkan, dia bisa merasakan rasa lelahnya seketika menghilang.

"Benar-benar memuaskan."

Setelah berkata demikian, bagaimana pun, gadis itu masih belum mencapai keinginannya jadi dia kembali bermeditasi.

Namun tak lama, sebuah suara yang sangat dia kenal menegurnya, "Selia! Apa kau sedang berlatih meningkatkan levelmu?"

"Ibu ... benar, Selia sedang berlatih untuk mencapai tingkat level yang lebih tinggi, Immortal Gate."

"Jadi begitu, ya." Seorang wanita yang nampak dewasa muncul dari balik semak-semak, dia memiliki kecantikan yang tak kalah dengan gadis yang merupakan anaknya tersebut.

Bahkan bila mereka berdua disejajarkan, maka ibu Selia akan terlihat lebih menggoda dan menarik, itu karena lekukan tubuh yang berada di tempat yang tepat.

Ibunya memakai sebuah gaun putih sedikit ketat dan menampilkan setiap lekuk tubuhnya yang indah. Rambutnya di sanggul dengan bunga mawar dan batangnya yang tidak berduri sebagai tusuknya. Matanya terlihat lelah karena sesuatu, tetapi Selia tahu, itu karena umurnya yang sudah tidak muda lagi.

Setelah ibunya cukup dekat, Selia bertanya kenapa dia datang. Karena biasanya ibunya ini tidak akan pernah peduli apa yang dilakukan Selia, yang terpenting dia sudah menyelesaikan tugasnya di rumah. "Ibu, kenapa Ibu datang?"

"Ah, soal itu ... Sebenarnya ibu datang untuk memintamu melakukan sesuatu..." Ibunya lalu menjelaskan apa yang dia inginkan. Karena Selia adalah anak yang penurut dan selalu patuh pada keputusan orang tuanya, dia hanya mendengarkan semua cerita itu dengan seksama. Selia tidak ingin membuat ibunya kecewa, apalagi ibunya adalah orang tua satu-satunya yang dia miliki. Ayahnya sudah tiada saat Selia masih di dalam kandungan, jadi dari kecil ibunya telah merawat dan membesarkannya penuh dengan kasih sayang tanpa pamrih, Selia ingin membalas hal itu.

"Tu-tunggu ... Ibu memintaku untuk menikahi seseorang bila dia bisa mengalahkanku?" Meskipun Selia sangat menghormati semua keputusan Ibunya, namun tetap saja dia tidak bisa terima bila ini menyangkut kebahagiannya di masa depan, dia yakin ibunya akan mengerti hal tersebut. Dia lalu menjelaskan.

Setelah mendengar penjelasan Selia, raut wajah ibunya sedikit berubah ke arah yang buruk, "Jadi begitu ... Kalau kau tidak mau, maka tidak usah dilakukan permintaan ibu ini. Memang ibu sedikit egois belakangan ini, maafkan ibu, ya?"

Selia mengerutkan keningnya, "Memangnya kenapa ibu ingin aku melakukan itu?"

"Selia, apa kau tidak merasakannya? Tetua Herdian sudah pergi..."

Seketika wajah Selia berubah, keterkejutan serta rasa tidak percaya ditampilkan jelas di wajahnya. Bagaimana mungkin seseorang yang memiliki kendali penuh atas hutan Lostingsoul bisa meninggal?

"Apa maksud ibu?"

Di masa lalu, ketika mereka berdua masih belum tinggal secara permanen di dalam hutan Lostingsoul, mereka hanyalah seorang pengelana ibu dan anak yang bertahan hidup dari belas kasihan orang lain. Sampai suatu saat, Herdian menawarkan tempat dan kehidupan untuk mereka berdua.

Tentu saja Selia dan ibunya sempat merasa curiga, namun ketika Herdian memberikan sekantung emas dengan santainya dan meninggalkan mereka berdua tanpa melakukan apa-apa, mereka menjadi bingung.

Biasanya orang yang memiliki kekuatan dan harta akan berbuat semaunya kepada dua orang ibu dan anak itu, apalagi mereka adalah wanita yang 'memukau'. Tetapi Herdian tidak demikian. Setelah berpikir sejenak, kedua orang ibu dan anak itu mengangguk bersamaan dan mengejar Herdian sebelum orang itu menghilang dari sana.

Dan disinilah mereka sekarang, hidup damai dalam perlindungan hutan Lostingsoul dan pemiliknya.

"Sejak lama kita telah mengetahui bahwa Tetua Herdian adalah orang yang memiliki hutan Lostingsoul sepenuhnya. Bahkan semua mahkluk yang hidup di sini dia juga yang mengundang mereka untuk datang dan tinggal. Namun, meskipun Tetua Herdian sangat kuat dan berkuasa, dia tetap bisa mati selayaknya mahkluk hidup, hanya saja kita tidak tahu kalau kematian beliau akan datang secepat ini." Suara ibunya terdengar sedih.

"Jika itu benar ... lalu siapa pemilik hutan ini sekarang?"

Ibu Selia memandang anaknya dalam-dalam, "Selia, kau pasti sudah tahu bahwa Tetua memiliki seorang murid. Terlepas dari dia yang mengajarkan sedikit ilmunya padamu, kau bukanlah murid yang sah dari Tetua. Tetua sekarang sudah mengajarkan semua yang dia tahu kepada pemuda beruntung yang menjadi muridnya. Sekarang mungkin pemuda itu masih ada di sini, dan menurut perkataan Tetua, siapun dari orang yang pernah dia latih, mereka berdua harus bertarung untuk menjadi pemilik sah hutan Lostingsoul ini."

"Maksud ibu, aku yang pernah mendapatkan sedikit ilmu dari Tetua Herdian harus bertarung dengan muridnya itu? Meskipun aku lebih dulu belajar menjadi seorang Warrior, tapi tetap saja dia memiliki ilmu yang lebih tinggi karena mendapatkan lebih banyak perhatian dari Tetua. Bagaimana mungkin aku bisa mengalahkannya?"

"Ibu hanya melaksanakan wasiat Tetua Herdian 50 tahun lalu," dia tersenyum. "Katanya, kalau kamu kalah dari pemuda itu, kamu harus menikahinya agar kita tetap bisa tinggal di sini."

"Tetua Herdian benar-benar suka bercanda." Selia menggelengkan kepalanya pelan. Dia mengerti kalau semuanya telah direncanakan oleh Herdian, Selia hanya bisa menurut karena dia sendiri hanyalah orang yang mencari perlindungan dan tempat tinggal.

"Baiklah kalau begitu ibu, ini hanya demi Tetua Herdian yang sudah menerima kita...."

Selia beranjak pergi, dia meninggalkan ibunya yang tengah tersenyum sambil melambaikan tangan. Selia dan ibunya masih cukup beruntung karena mereka tetap bisa tinggal di hutan Lostingsoul dan berlindung di dalamnya. Karena bagaimanapun, mereka bisa saja di usir oleh hutan itu kapan saja, tetapi dengan mengikuti rencana yang sudah disiapkan oleh Herdian bagi muridnya, Selia dan ibunya bisa tetap hidup tenang. Meskipun itu artinya Selia harus menikahi murid Herdian.

Tidak apa-apa, seharusnya murid yang di pilih oleh Herdian adalah anak yang 'baik-baik'.

Selia dengan mudah menemukan murid Herdian. Itu dikarenakan muridnya tidak bisa menyembunyikan hawa keberadaannya sendiri yang begitu besar, atau dia memang sengaja tidak melakukannya karena sudah mendapat arahan dari Herdian.

Selia kemudian menerjang semak-semak dan berteriak, "Berhenti di sana, wahai pemuda!"

avataravatar
Next chapter