webnovel

Domination

Abigail menghentikan mobil saat melihat siapa yang duduk di pinggir jalan bersama seorang gadis. Tak salah lagi, itu adalah Zachary dan gadis yang tampak tak asing. Mungkin itu gadis yang bernama Sidney, kekasih Zachary.

Ia bergegas keluar dari mobil dan menghampiri keduanya.

"Zac? Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Abigail, dan ia tak perlu mengulangi pertanyaan ketika matanya tertuju pada kemerahan yang ada di kening Zachary.

Sidney bangkit kemudian mendekat pada Abigail. Keduanya tampak bagaikan sepasang musuh yang hendak menghancurkan satu sama lain. Tatapan tak suka terlihat dari sorot mata Sidney, sementara Abigail yang berdiri di depannya terlihat tenang.

"Hai, aku Abigail, rival sekaligus calon rekan bisnis Zachary. Kau pasti ...."

Abigail mengulurkan tangan hendak menyalami Sidney, tetapi segera ditepis oleh gadis itu.

"Tak perlu berbasa-basi, apa maumu datang kemari?" tanya Sidney, ketus.

Abigail hanya tersenyum kemudian melempar tatapannya pada Zachary yang bersiap untuk bangkit, berjaga-jaga jikalau terjadi keributan antara dua wanita di hadapannya.

"Aku bukan datang begitu saja, Nona Marra. Aku kebetulan lewat dan melihat kalian dengan penampilan ...." Abigail menunjuk penampilan Sidney dengan tangannya. "Kupikir kalian baru saja mengalami masalah. Mungkin ... ada yang bisa kubantu."

"Kami tidak butuh bantuan, Abigail. Polisi sebentar lagi akan datang, kau bisa pulang sekarang." Zachary yang sejak tadi hanya diam mengamati keduanya, pada akhirnya berdiri menghampiri kekasihnya.

Tatapan Zachary tampak berbeda di mata Abigail. Entah apa yang merasuki pria itu hingga menjadi sosok yang tak sama dibanding sebelumnya. Namun, Abigail tak ingin memaksa jika memang mereka tidak membutuhkan bantuan.

Ia kemudian mengangguk. "Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Semoga kalian segera mendapat pertolongan."

Abigail memutar tubuh kemudian melangkah menjauh, kembali ke mobil kemudian menjalankannya menjauh dari Zachary dan Sidney yang menatap mobilnya yang perlahan menjauh.

Belum terlalu jauh, Abigail menatap ke belakang melalui spion, mobil polisi telah tiba dan sepertinya masalah mereka telah teratasi. Baguslah, jadi tak ada yang perlu ia risaukan.

Untuk saat ini mungkin rencananya gagal, karena Zachary sendiri terlihat berusaha menghindarinya. Namun, itu bukan berarti semua berakhir. Justru dengan begitu Abigail semakin tertantang untuk membuat Zachary kembali menjadi Zachary yang sebelumnya. Meski harus menyingkirkan Sidney sekali pun.

***

Abigail duduk berhadapan dengan gadis berambut ikal dengan model tak karuan. Ia memainkan pena yang diambilnya dari meja Abigail. Gadis itu masih menanti hingga Abigail menghentikan kegiatannya di depan layar laptop dan fokus hanya pada dirinya dan apa yang akan ia sampaikan.

Tak lama kemudian, Abigail sudah mematikan benda di hadapannya, lalu melipat tangannya di atas meja.

"Apakah ada kabar terbaru?" tanya gadis itu, pada Alice yang sudah meletakkan pena kembali ke tempat semula.

Di depannya kini terdapat beberapa berkas. Data yang ia dapatkan dari seorang pegawai administrasi dari dua tempat, pusat rehabilitasi jiwa tempat Selena dirawat, dan rumah sakit di mana adiknya dilahirkan.

Abigail menerima benda yang disodorkan Alice, kemudian meneliti keseluruhan berkas tersebut. Di sana disebutkan Selena menyerahkan bayinya tanpa penolakan sedikit pun.

Membaca keterangan itu, ia merasa geram. Tangannya mengepal berusaha menahan amarah yang menyesaki dadanya. Ia menghindari tatapan mata Alice yang penuh selidik seolah ingin membaca reaksi seorang Abigail.

"Bagaimana bisa mereka mengatakan Selena menyerahkan bayinya tanpa penolakan? Apakah tak ada seorang pun petugas di pusat rehabilitasi yang menjelaskan bahwa Selena mengidap depresi? Bagaimana mungkin seorang penderita depresi dapat merespons dengan baik? Apakah mereka memang sengaja memisahkan Selena dari bayinya?" gerutu Abigail, kesal.

Alice tak tahu harus memberi respons seperti apa, karena hal yang ia alami saat di pusat rehabilitasi masih mengganggu pikirannya hingga kini.

Selena masih mengingat putrinya, berkali ia menggumamkan nama gadis itu. Bisa jadi ia pun mengingat bayinya, hanya saja ia belum sempat memberi nama bahkan memeluk bayi malang itu.

Ada bulir bening di pelupuk mata Alice membayangkan betapa menderita wanita itu. Ia sungguh bertekad untuk segera menemukan bayinya, bahkan bila perlu ia juga akan mencari keberadaan Abby.

"Ada hal lain yang aku dapatkan dari kunjunganku ke tempat itu. Selena masih mengingat putrinya yang bernama Abby. Beberapa kali ia memanggil dan menggumamkan nama itu." Alice menatap tajam ke arah Abigail, memancing reaksi gadis itu untuk menjawab kecurigaannya.

Abigail menyembunyikan wajah dari Alice, karena air mata sudah berdesakan di pelupuk matanya. Namun, pada akhirnya ia tak tahan dan membiarkan bulir itu tertumpah tak terbendung. Melihat itu, Alice terenyak, rebah pada sandaran kursi tempatnya berada.

Tubuh Alice seolah lunglai. Ia maupun Abigail tak perlu mengatakan apa pun, ia sudah mendapat jawaban atas kecurigaannya. Dirinya bahkan tak mampu berucap, hanya diam menahan keharuan yang tak terkira.

Mereka terdiam, Alice lebih tepatnya, terdiam memandangi pundak gadis di hadapannya yang berguncang. Tangis yang pecah membuat Abigail sesenggukan, sekuat apa pun ia berusaha sembunyikan emosi dan reaksinya dari Alice, tetap saja percuma. Ia bahkan tak mengangkat wajah sama sekali.

Alice membiarkan Abigail menumpahkan segalanya. Ia bisa mengerti, selama delapan belas tahun menahan semua seolah tak pernah terjadi apa-apa, bukanlah hal yang mudah. Meski tampak tegar dan kuat, pada akhirnya sisi seorang Abigail tetaplah akan terkuak.

Beruntungnya, semua itu terbongkar di hadapan Alice Denver, yang juga menyimpan dendam yang sama pada orang yang telah menghancurkan keluarga Anderson.

***

Sidney sudah menjauh, memasuki pintu pemberangkatan. Zachary segera memutar langkah keluar dari bandara. Kedatangan Sidney sudah cukup mengobati kerinduannya pada gadis itu. Sekarang ia dapat fokus kembali pada bisnisnya yang sempat terabaikan sejenak karena fokusnya teralihkan pada Sidney.

Terlebih setelah kecelakaan itu, ia harus beristirahat selama beberapa hari. Namun, berkat perhatian Sidney ia bisa lebih cepat pulih.

Telefon di ruangannya berdering saat ia baru saja tiba di sana, meletakkan jas kemudian segera menerima panggilan dari sekretarisnya.

"Tuan Emerson, Nona Genovhia sudah menunggu di luar," ujar Karen.

Zachary mengerutkan kening, bertanya dalam hati tentang apa tujuan kedatangan Abigail ke kantornya. Jika untuk membicarakan rencana merger perusahaannya dan Abigail, bukankah mereka masih harus memikirkan banyak hal untuk itu?

"Apakah ia mengatakan tujuannya datang kemari?" tanya Zachary, akhirnya.

"Tidak, Tuan. Apakah Anda ingin saya memintanya menemui lain waktu?"

"Tidak, tidak. Persilahkan saja dia masuk."

Setelah mendapat jawaban dari Zachary, Karen menutup telefon dan mempersilahkan Abigail untuk masuk menemui Zachary. Belum tiba di ruangan, ia sudah disambut pertanyaan skeptis dari pria itu.

"Apakah ada hal penting hingga kau menyempatkan diri mampir ke kantorku?" tanya pria itu, menuangkan kopi ke dalam cangkir kemudian meletakkan di atas meja.

"Silakan duduk," ucapnya lagi, mempersilahkan tamunya untuk menyamankan diri, meski ia sendiri merasa tak nyaman karena kegelisahannya sendiri.

Ia kemudian memberi isyarat pada Abigail untuk menikmati secangkir kopi yang sengaja ia seduh untuk gadis itu.

Ia pun menghirup kopinya, menanti ucapan Abigail yang mungkin tertahan di ujung lidahnya.

"Aku hanya memastikan kau masih hidup, setelah kecelakaan tempo hari ... aku mencemaskanmu."

Abigail tidak sepenuhnya serius akan perkataannya. Ia masih dengan tujuan yang sama, hanya saja kali ini ia harus memainkan kartunya dengan lebih hati-hati.

"Seperti yang kau lihat, aku masih di sini. Apakah hanya itu?"

Abigail mengatupkan bibirnya rapat.

"Sepertinya kau dan kekasihmu telah salah menduga tentang sikapku. Aku kemari ingin menegaskan padamu, aku hanya ingin menjalin pertemanan. Tidak lebih. Jadi kau dan Nona Marra tak perlu mencemaskan apa pun."

Zachary menelan saliva yang seolah tercekat di kerongkongannya. Ia tak menyangka Abigail akan mengatakan itu semua. Apakah ia serius akan perkataannya, bahwa dirinya hanya ingin menjalin pertemanan?

"Hanya itu? Kalau begitu, aku pun ingin sekalian menyampaikan. Mengenai malam itu ...."

"Oh, tak perlu kau risaukan masalah itu. Aku tahu kau tidak serius, meski aku tidak memahami maksud dan tujuanmu melakukan itu," potong Abigail, tanpa ekspresi.

Kali ini giliran Abigail yang membuatnya kalah telak. Gadis itu ternyata tidak seperti dugaannya. Memang pantas jika ia mendapat julukan Singa Betina. Tak hanya pesona yang ia punya, melainkan juga wibawa dan kekuatan dalam dirinya yang membuat lainnya merasa takluk.

Bahkan mungkin Zachary. Namun sayang, ia tak ingin mengakui itu. Ia seorang pria, tak seharusnya tunduk pada dominasi seorang wanita. Sekuat apa pun power yang dimilikinya, tempat seorang wanita tetaplah di bawah pria, bukan sebaliknya.

"Baiklah, aku pamit. Terima kasih atas jamuannya, kau sudah membayar hutang americano untukku. Tapi ... jika kau berubah pikiran dan bersedia memenuhi undangan makan malam dariku, kabari aku."

Abigail bangkit lalu memutar tubuh dan melangkah meninggalkan Zachary dengan pikiran yang berkecamuk.

***