webnovel

Sang Utusan

Setiap tarikan nafas yang ia hempaskan senada dengan amarah yang tertahan, gejolak kebenciannya juga terlihat dari mata kuningnya yang memandang tajam. Sejenak ia memandang sekeliling seakan dirinya sedang berada di dunia yang asing, tapi tetap saja, berdiam diri seperti bukan gayanya. Pemuda berambut putih ini lantas segera menuruni lembah yang baru saja ia hancurkan untuk memastikan sesuatu. Jubah putih dengan huruf-huruf emas itu ia singkapkan menampakkan dadanya yang bidang seakan menantang. Tanpa penyesalan, sosoknya menyusuri jalanan lembah itu seraya merapikan selendang putihnya dengan santai, seolah dirinya memang tak melakukan kesalahan apa pun sebelumnya.

Berapa banyak yang meregang nyawa di lembah ini? Bukan itu pertanyaan yang akan ia ajukan sekarang, tapi di mana keberadaan target buruan yang ia incar? Sesuatu yang mengharuskannya turun tangan itulah yang menjadi pertanyaannya. Gulungan merah masih ia genggam erat-erat, dari tubuhnya seberkas cahaya putih yang terpancar menjadikan dirinya berbeda dari manusia pada umunya. Sosok muda ini perlahan mulai melayang, selendang yang ia lilitkan di depan dada dan perutnya mulai meliuk-liuk, seirama dirinya yang semakin tinggi mengambang di udara. Mungkin kemampuan ini termasuk salah satu sihirnya.

Seperti menemukan apa yang ia cari, terbuka mata kuningnya yang tajam selepas ia pejamkan beberapa saat. Perhatiannya kini tertuju ke arah timur, batuan benteng perbatasan dari wilayah monarki absolut itu ia pandangi lekat-lekat, Kerajaan Bartham targetnya!. Secepat kilatan putih sosoknya melesat menembus langit malam, lubang yang menganga itu ia tinggalkan begitu saja dengan kepulan asap tipis yang masih keluar dari dalamnya.

"Sial! Ini di luar perkiraanku, tak kukira mereka akan bergerak secepat ini, Si Kepala Empat itu, akan kucincang dia!" umpat Silbi yang berada di salah satu menara tinggi tengah kota.

Bayangan hitam ini seperti mengetahui sesuatu di balik peristiwa yang sedang terjadi, seolah dirinya merasakan daya penghancur yang besar. Tak henti-hentinya ia waspada sembari mencari keberadaan si ular berkepala empat. Satu tangannya yang menyentuh menara itu tiba-tiba mengeluarkan api tipis yang menjalar ke bawah menuruni menara dan terus menyebar memenuhi penjuru kota. Entah ini semacam radar atau apa? Kemampuan Silbi terbilang cukup unik untuk sebuah sihir.

"Tak akan kubiarkan langit dan bumi mengganggu rencanaku, jika perlu akan kuhancurkan semuanya!" nada kemarahan terlontar darinya, bersamaan api tipis berbentuk lingkaran itu mulai memudar dan hilang sekejap mata.

ZRUUUUOOOOHHHH...

Tiba-tiba kobaran api muncul di salah satu area kota, ia alihkan pandangannya ke arah ke selatan. Tanpa basa-basi, dengan cepat bayangan hitam ini segera menuju nyala merah tersebut, sosoknya tak terlihat lagi saat berjalan menuruni menara seolah mampu berbaur dengan kegelapan malam. Sementara di atas sana, sekelebat benda putih mulai melintas di langit Bartham, dirinya seakan tak menghiraukan bahaya kala memasuki wilayah Sang Singa Dari Timur. Tentara kerajaan yang berjaga di Istana Raja pun keheranan dengan kemunculan cahaya aneh ini, semua mata sontak mendongak ke atas. Namun entah kenapa? Sepertinya cahaya itu mulai kehilangan keseimbangan, bahkan cahayanya beberapa kali meredup. Arahnya pun mulai tak menentu, semula ke kanan lalu ke kiri hingga pada akhirnya, cahaya itu menghilang tanpa jejak.

BRAAAKKKK...

Roboh pepohonan tengah kota terhantam sesuatu dengan keras, perlahan sosoknya mulai bangkit dengan dedaunan yang rontok memenuhi sekujur tubuhnya. Bola matanya bergerak-gerak kala merasa aneh dengan tubuhnya sejak memasuki wilayah Bartham, cahaya di tubuhnya pun semakin memudar.

"Keparat! Perbuatan siapa ini? Aarggh!" umpat pemuda berambut putih ini, amarahnya seakan siap untuk meledak saat ini juga.

Pandangannya mulai berkunang dibarengi kepalanya yang terasa berat, ia menduga seseorang dengan sengaja menetralisir kekuatannya. Sejenak ia kepalkan tangannya, mencoba mengumpulkan tenaga sihirnya yang tersisa. Entah kenapa, rasanya semakin terkumpul kian hilang tenaga yang ia kumpulkan, layaknya terbakar sesuatu lalu lenyap. Dengan jengkel, segera ia menghantamkan tinjunya ke tanah sekeras mungkin.

GGGGRRRRRRHHHHH...

Sebuah gempa tiba-tiba menghancurkan taman kota dalam sekejap. Tanahnya yang bergetar pun retak dan hancur, bahkan terangkat dari tempatnya semula. Agak sempoyongan pemuda berpakaian serba putih ini mencoba berjalan.

"Sial, ini sangat lemah," umpatnya seakan tak terima dengan kekuatannya saat ini sembari mencoba berjalan mengamati sekeliling.

Dalam kepayahan itu, matanya menajam kala menyadari sesuatu. Dari arah barat, sekelebat hawa kejahatan berhasil mencuri perhatiannya. Terseok langkahnya tak membuatnya berputus asa dalam menyelesaikan misi, segera ia bergerak untuk memastikan apakah itu target yang ia cari-cari?.

Bunyi berderak keluar setiap kali rantai yang melilit tubuhnya memelintir tiap sendi dan mematahkannya. Tulang-tulangnya serasa remuk bertabrakan saling tindih, sepertinya rantai ini memang tak di perintahkan untuk berhenti barang sejenak. Sebelum ia mengatakan yang sebenarnya, rantai-rantai hitam ini akan tetap mengunci sembari menarik ataupun memelintir tubuhnya, membuatnya merasakan rasa sakit dan kehancuran yang luar biasa.

"Siapa?" tanya Silbi pelan pada sosok Sang Dewa Palsu.

Semakin tertekuk dan hancur tubuhnya kala bunyi derak rantai kembali keluar, bahkan daging dari ular ini tampak tercecer dari kulitnya yang robek akibat tak ada jeda dari siksaan yang ia terima. Satu kepalanya Silbi biarkan untuk bicara, sementara tiga kepala lain dalam posisi remuk terikat dan leher yang bengkok tak beraturan. Sosoknya yang terpasung di tembok seolah tak bisa menghindar lagi dari ajal yang sudah di tentukan Sang Bayangan Hitam ini.

"Hentikan... Sa-"

GRRRAAAKKKK...GRAAAKKKKK...GRAAAAKKKK...

Kembali Silbi memelintir ular itu tanpa ampun, seakan menegaskan dirinyalah pawang dari nyawanya saat ini, tiap inci tubuhnya benar-benar sudah tak tertolong lagi.

"Awalnya aku membiarkanmu karena bukan urusanku, tapi sejak kau menampakkan sosokmu dalam wujud ini, Para Dewa mulai turun! Kau tahu artinya hah!?"

GRRRAAAAKKK...GRAAAAKKKK.

Kembali rantai itu berderak, satu kepalanya berhasil lepas dari tubuhnya dengan tulang-tulangnya yang hancur. Semburat darah segar menggenang ke sekitar Silbi di barengi nafas Sang Ular yang terengah-engah.

"Kau mengganggu rencanaku! Katakan siapa yang membuka gerbang itu! Siapa di balik ini semua!" bentakan Silbi tak henti-hentinya meracau di barengi rantai yang berderak semakin kencang.

Tanpa ia sadari, sosok muda yang baru saja tiba di tempat itu di buat terperangah dengan apa yang ia saksikan. Bayangan hitam yang menyiksa makhluk aneh itu berhasil membuatnya bergidik ngeri untuk sesaat, seolah ia tak pernah melihat siksaan semacam ini.

"Sat.. Sa-"

GRAAAAKKKKK...GRAAAAKKKKK...GRAAAAKKKKK...

Kembali rantai itu berderak, memutuskan separuh tubuhnya yang membuat ular ini meronta-ronta di tembok tanpa bisa menyelamatkan bagian bawah tubuhnya lagi. Untuk berteriak pun rasanya ia sudah kesulitan dan hanya bisa menggeliat dengan bagian tubuhnya yang tersisa.

"Hentikan...Sat- yang menyuruhku,"

GRAAAAAAAAKKKKKKKKKK...

Begitu kuatnya tarikan dan lilitan dari derak rantai terakhir itu, tubuhnya sontak hancur berkeping-keping menjadi bagian kecil. Lumuran darah membasahi rantai-rantai Silbi, sepertinya ia memang sama sekali tak berniat membebaskan ular tersebut dari awal. Perlahan rantai-rantai itu hilang dari pandangan mata seolah tak pernah ada.

"Keluarlah, kau itu apa sebenarnya? Dia sudah kuhabisi tak perlu berterima kasih," tanya Silbi tanpa berpaling dari tembok yang berlumuran darah, sepertinya ia menyadari sosok yang bersembunyi di dekatnya sedari tadi.

"Kau juga makhluk apa sebenarnya? Bagaimana bisa kau membunuh makhluk abadi itu?" balas bertanya pemuda berambut putih ini seraya keluar dari persembunyian.

Sesaat sosok serba putih ini menunjukkan dirinya, Silbi menyadari jika pemuda ini untuk berjalan saja rasanya agak kesulitan. Langkah sempoyongan itu berhasil membuat Silbi terpancing untuk bertanya, sesuatu yang mengganggu benaknya beberapa saat yang lalu kini mulai terjawab.

"Hei, Hei, apa-apaan ini? Jangan bilang kau terpengaruh penangkal yang aku buat? Sekilas hawa keberadaanmu terasa seperti dewa namun bukan, tapi aku yakin dari aura sihirmu, kau yang membuat suara gelegar besar tadi, siapa kau ini?"

"Keparat! Jadi ini ulahmu!" tanya sosok serba putih ini yang langsung meninju Silbi, mengingat dirinya menjadi lemah karena perbuatan bayangan di depannya.

Sayangnya bogem mentah itu hanya mengenai udara hampa. Refleks menghindar bayangan ini sangat cepat, ia bahkan masih sempat tertawa kegirangan. Layaknya menyadari sesuatu yang keliru selama ini, meski terkejut ia masih bisa bergelak tawa sambil berkata.

"Heh? Bagaimana bisa kau berkata keparat? Apa sisi mulia dewa sudah hilang? Hahaha, Tidak, ini sama sekali tidak lucu, caramu memukul juga sama konyolnya dengan dirimu, apa yang sedang terjadi? Hahaha, kukira Para Dewa bergerak karena merasakan kemunculan Ras Terkutuk."

Berkacak pinggang sosok hitam ini dengan satu tangan yang menggaruk santai kepalanya.

"Sial! Apa kau sedang melawak? Hahaha, bagaimana bisa ada dewa yang terpengaruh dengan penangkal lemah seperti ini? Haha, jangan bilang kau mulai pusing," lanjutnya lagi sambil menunjuk pemuda itu dengan tawanya yang enggan berhenti keluar.

Merasa dirinya di rendahkan habis-habisan, kemarahan mulai menyulut pemuda ini yang tanpa permisi langsung menyerang Silbi membabi buta. Tiap serangannya selalu bisa di hindari Silbi dengan mudah, seakan bayangan ini telah membaca semua pergerakan lawannya.

JDAAGGG... JDAAGGG... JDAAGGG... GGRRRHHHH...

Tiap pukulan yang mengenai tembok atau pun tanah itu menyebabkan gempa kecil, dampak dari objek yang terkena serangan itu langsung runtuh seketika, bahkan tanahnya pun terangkat dari tempatnya semula. Dalam sekejap, bangunan di sekitar keduanya hancur berserakan.

"Keparat! Kenapa jika aku setengah dewa, hah? Kau kira aku akan melepaskanmu? Kau sudah menghabisi target buruanku, ini tak sesuai prinsip keadilan," ucapnya seraya terus mengarahkan serangan ke arah Silbi.

"Setengah dewa? Prinsip keadilan? Hahaha, astaga, hal bodoh apa lagi ini? Sial, sial sekali! Aku khawatir jika Para Dewa yang mulai bergerak tadi, tapi malah keroco yang datang, hahaha," balas Silbi yang masih menghindar dengan cepatnya, agaknya ia menganggap ini sebatas permainan anak kecil.

SRIIIIINNNNGGGGG....

Sebuah belati hitam dengan rantai melesat ke tengah area pertikaian keduanya, anehnya rantai tersebut mampu melilit sosok berjubah putih itu dan membuatnya tersungkur di tanah. Sebelumnya untuk menghancurkan seisi lembah saja ia mampu, namun sekarang sosoknya tampak menyedihkan dan tak berdaya.

"Hentikan semua ini! Lihat perbuatan kalian, kenapa kalian merusak seisi kota?" hardik Randra yang tiba-tiba muncul melerai keduanya.

"Jangan, jangan hentikan hahaha, kau kejam sekali tak memberikan kesempatan pada setengah dewa ini, hahaha, makhluk yang setengah-setengah! Sial, aku tak bisa berhenti tertawa," ucap Silbi yang berguling-guling di tanah tak henti merendahkan lawannya.

"Hah, apa maksudnya setengah dewa? Lagi pula dia ini siapa?" tanya Randra heran, alisnya mencuat menatap pemuda yang ia sekap.

"Jangan pikir kalian bebas, Para Dewa sedang menentukan nasib kalian semua, termasuk manusia! Aku kesini tak sekedar di tugaskan mencari Ras Terkutuk yang terbebas, tapi juga membinasakan manusia!" seru pemuda berambut putih ini dengan lantang, menyeringai sosok itu menatap Randra yang masih berdiri kebingungan.

Silbi mati-matian berusaha meredakan tawanya yang seakan meledak tanpa henti, salah pahamnya yang mengira Para Dewa turun tangan langsung terbantah dengan apa yang muncul di hadapannya. Mungkin ia memang tak memedulikan kematian ular tadi atau rencana Para Dewa yang di sampaikan pemuda ini, selagi itu tak mengganggu rencananya, semua baik-baik saja.

Sementara sebuah pertanyaan terlintas di benak Randra yang tak paham dengan apa yang di bicarakan pemuda aneh ini, benarkah perkataannya? Dan kenapa manusia harus di musnahkan? Apa ini berhubungan dengan garis keturunan Montrea?. Dari kejauhan, puluhan zirah hijau serempak sedang mendekati mereka bertiga, terpaksa Silbi yang menyadari datangnya Ellenia beserta Pasukan Penyergap sontak kembali bersatu dengan Randra. Meninggalkan pemuda ini termenung sendiri kala kerumunan itu semakin dekat.