webnovel

Bermekaran, Bayangan Mawar.

Senang rasanya bisa kuatasi rasa laparku, walau pun saat ini aku sedang di amati sepasang mata yang seakan memojokkanku. Ya, dia tepat duduk di hadapanku, jarak di antara kami hanya seluas meja makan yang membentang ini. Aku pun tak terlalu memedulikannya, lagi pula dia sendiri yang mengajakku ke rumahnya.

Wajahnya memang dingin untuk ukuran seorang gadis, atau ini berkaitan dengan pekerjaannya sebagai Kapten Pasukan Penyergap? Entahlah, yang pasti aku tak suka caranya mengamatiku. Mungkin aku terlihat seperti pemuda terbelakang yang sedang kelaparan di matanya, tapi tetap saja, makanan ini terlalu sayang untuk di lewatkan. Sebentar lagi ini akan menjadi piring keduaku setelah makanan di piring pertama sudah raib kuhabiskan.

"Selama ini apa kau memang tak membawa uang atau bekal apa pun?" tanyanya pelan sembari memainkan sapu tangan merahnya sedari tadi.

"Ya, begitulah, aku terkadang mencari hewan buruan untuk di makan," jawabku mengingat perburuanku bersama Silbi.

Awalnya aku merasa tak asing saat melihatnya, setelah kuingat-ingat lagi dia adalah gadis yang sempat melambaikan sapu tangan ke arahku saat aku hendak dibawa ke sel. Secara mengejutkan, tiba-tiba dia mendatangiku di tengah area jagal, hampir saja aku bentrok dengan Sang Raja saat itu. Tapi di satu sisi, kekacauan yang muncul saat itu berhasil membatalkan pertarungan kami.

Ia mengamankanku untuk sementara ini, ia juga lah yang menyerahkan kembali jubah dan belatiku secara diam-diam. Sementara di luar sana Kerajaan Bartham sedang kerepotan dengan dewa mereka, ular berkepala empat itu muncul lagi di pusat kota, sepertinya ia masih ingin memangsa manusia. Hanya kegaduhan yang terdengar, berlarian kaki itu menjauh mara bahaya yang mengejarnya dengan tentara kerajaan yang membantu proses evakuasi warga. Untuk saat ini agaknya situasi sekarang lebih aman, proses evakuasi mungkin berjalan lancar.

"Siapa namamu?" tanyanya yang masih mengamatiku makan, mata dinginnya seperti sedang menelusuri sesuatu ke dalam diriku.

"Randra," jawabku singkat tak membalas tatapan matanya.

"Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu, tapi setelah ini kau harus kembali ke selmu, untuk sekarang hanya ini yang bisa kulakukan untuk mengalihkan perhatian Sang Raja sementara waktu," ucapnya seraya menata posisi duduknya.

Kuamati dirinya yang menjadi lebih tenang, tenang dengan mimik wajah yang mulai menegang. Apa ini akan menjadi pembahasan serius? Apa karena aku sudah membunuh sepuluh Algojo tadi? Ah, sudahlah, mungkin aku memang tak bisa lari dari jeratan hukum.

"Itu Baja Altredeirm, bukan?" tanyanya menunjuk tonjolan kecil di pinggangku.

Kusudahi makanku menyimak pertanyaannya yang mulai aneh, instingku berkata ini bisa saja sebuah jebakan atau menuju topik yang sebisa mungkin kuhindari. Ya, sudah sangat sering kuhindari, aku mulai tak nyaman dengan perubahan sikapnya yang menjadi serius. Bahkan rambutnya yang terurai lemas itu tak mampu merubah wajah kakunya menjadi agak manis, setidaknya itu saja untuk sekarang.

"Baja apa? Ini hanya belati biasa, ya, sebenarnya temanku yang memberikan ini saat aku kecil," balasku yang memang tak paham dengan baja apa yang ia bicarakan, tapi aku merasa sedang di selidiki.

"Apa kau masih ingin bersembunyi? Aku tak mengerti, semua bukti saat kau di area jagal itu sudah cukup meyakinkanku, dan aku telah menemukanmu sekarang," ucapnya seraya berdiri menghampiriku.

Entah kenapa, tiba-tiba tubuhku meresponsnya dengan menjauh, kupusatkan konsentrasi seirama dengan detak jantung dan aliran darah dalam tubuhku.

SRIIINNNGGGG....

Aku berhasil mengeluarkan rantai-rantai ini di kedua tanganku, walaupun dari kecil aku tak bisa mengendalikannya, tapi ini cukup berhasil sekarang. Sama sekali tak kuturunkan kewaspadaanku, rupanya ia masih bisa tenang sembari menghampiriku.

"Tenanglah," pintanya pelan.

Di bawah kakiku, bayanganku mulai bergerak-gerak membentuk semacam kobaran hitam. Silbi biasanya memang muncul dengan cara aneh ini, tapi tunggu dulu! Apa yang sedang terjadi? Apa ini? Aku sedang salah lihat atau memang bayangan gadis ini juga mulai bergerak-gerak sepertiku?.

Apa itu sebuah tangkai berduri? Hei, itu membentuk mawar yang sedang mekar! Ya, aku tak salah lihat, bayangannya memang sedang berubah bentuk. Kumpulan mawar itu terus bermekaran dengan dirinya yang masih berjalan ke arahku, semakin aneh saja rasanya.

"Kau tak berbeda jauh dariku," ucapnya yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Hahaha, lihat Si Bodoh ini mulai panik, benar-benar pecundang," ejek Silbi dengan tawanya yang menjengkelkan.

Baru kali ini ia mau menampakkan diri di depan orang asing, aku semakin tak mengerti apa yang terjadi disini? Kenapa bayangan gadis ini mampu bergerak-gerak? Apa ia bersiap menyerangku?. Hmmm, tapi mawar yang bermekaran itu perlahan rontok berhamburan dan memudar. Benar saja, bayangannya kembali normal seperti semula, apa karena kupelototi dia?.

"Kau lihat itu, Yyira? Anak manusia ini payah dan tak bisa di andalkan," lanjut Silbi yang terus-terusan mengejekku.

"Ya, harusnya selama ini ia sudah belajar banyak hal."

Terdengar asing! Suara siapa itu? Itu memang suara seorang wanita namun, jelas-jelas itu bukan milik gadis yang berdiri di depanku ini. Jangan-jangan.

"Sebenarnya apa yang membawamu ke Bartham, anak manusia?"

Belum sempat aku berpikir, sebuah pertanyaan terlontar dari suara tanpa wujud. Sepertinya pertanyaan ini memang tertuju padaku, kupandangi bayangan gadis di depanku, memang tampak normal seperti pada umumnya. Tapi rasa penasaran sedang menuntunku untuk menjawab pertanyaannya.

"Awalnya aku ingin berlindung sejenak karena Ra-Herl sedang kacau saat ini, tapi aku juga ingin bertemu Barthalaraya, Para Pertapa Bartham yang bijaksana."

"Kau ingin mencari tahu sesuatu? Ya, mereka punya pengetahuan di atas manusia rata-rata, tapi sayangnya mereka tak lagi di Bartham sejak dewa palsu itu muncul, sekarang mereka tinggal di Daerah Otonom Trophe," jelasnya padaku, ternyata memang benar jika yang membalas perkataanku adalah bayangan gadis ini.

"Payah, jadi sekarang kita sia-sia ada disini," sahut Silbi agak kesal, aku tak tahu kenapa ia kesal sekarang?.

"Apa kau tahu di mana Trophe itu? Aku ingin bertanya pada mereka... sesuatu tentang diriku," tanyaku pelan, terlalu lama aku menyimpan hal ini bertahun-tahun atau memang semuanya terlalu cepat berlalu bagiku?.

"Tentang dirimu? Maksudmu tentang Montrea atau Lima Cabang Keluarganya?" terperangah aku mendengar pertanyaan dari gadis yang sedari tadi diam ini.

"Ap-, Apa kau tahu?" sial, aku bahkan terbata-bata sekarang.

"Tidak, aku hanya tahu jika kau datang dari barat yaitu Ra-Herl, dan Keluarga Cabang Montrea yang hidup di barat adalah Keluarga Eille," jawaban gadis ini berhasil menambah keterkejutanku, ia bahkan tahu tentang Lima Cabang Montrea.

Sesuatu yang aku sembunyikan dalam pengembaraanku selama tiga tahun. Ya, Randra Eille Montrea adalah nama yang tak pernah terucap dari lisanku, jika kau mengetahui sesuatu tentang Keluarga Montrea, pastilah mereka akan di habisi karena darah terkutuknya. Ingatan-ingatan gelap itu samar-samar kembali mengisi kepalaku, waktu terasa begitu lambat di tempatku berpijak.

Berhentinya detak jantung dan hilangnya aliran nafas di Altar Rutacakra menjadi tujuan akhir pemilik Darah Montrea, dan semua itu seolah di perbolehkan. EEO, EDDRA, EILLE, ERDE, ETHAM adalah Lima Cabang Keluarga Montrea yang tiap-tiap orang dari keluarganya sudah merasakan akhir sebuah kehidupan di atas altar. Bahkan... bahkan kedua orang tuaku, sepuluh tahun sudah berlalu sejak saat itu, tapi aku tak pernah tahu alasan kenapa mereka harus berakhir tragis? Bukankah Alam Manusia sendiri disebut Montrea? Bagaimana caraku untuk memandang atau sekedar mengambil sikap di tengah masalah dan ketidaklogisan ini?.

"Aku bisa mengantarmu sampai ke Trophe, lagi pula wilayah itu masih dalam Kerajaan Bartham, aku hampir lupa sesuatu, namaku Ellenia Rosaclia dan bayangan ini panggil saja Yyira," ucap gadis ini memperkenalkan diri.

Beruntung ia segera menyadarkanku sebelum segala keruwetan memenuhi isi kepalaku, aku sendiri sampai lupa tak sempat bertanya siapa namanya dari tadi. Kucoba tersenyum membalas perkenalannya, sesaat aku bahkan lupa jika ada bayangan yang bisa berbicara persis seperti Silbi.

"Yyira? Apa kau berasal dari ras yang sama dengan, Silbi?" tanyaku mencoba melupakan segala ingatan kelam yang sudah usang.

"Apa kau tak tahu?" balik bertanya bayangan bersuara wanita ini, dari suaranya bisa kudengar jelas nada keheranannya.

"Tentu saja bocah! Sudah kubilang dia ini bodoh, Yyira. Apa kau lupa ia hanya bermain-main rantai saat menghadapi Sang Raja tadi?" susul Silbi menimpali perkataan Yyira.

Kembali kudengar gelak tawanya menggema dan harus kuakui, terkadang dalam beberapa momen dia selalu sok menggurui. Tapi sifat itu mungkin bisa kuterima, lagi pula sudah empat belas tahun aku hidup bersama Silbi. Baru kali ini juga aku bertemu makhluk dengan ras yang sama sepertinya, kukira hanya aku saja orang bodoh yang berbicara dengan bayangannya sendiri di semesta ini. Yyira seorang perempuan dan Silbi seorang pria, bagaimana sebuah bayangan mempunyai jenis kelamin? Sudahlah, pikirkan itu nanti saat aku kembali ke sel. Bartham juga belum sepenuhnya aman dengan sosok dewa mereka yang kapan saja bisa tiba-tiba muncul dan mengamuk. Oh, iya, aku hampir lupa sesuatu, apa Ellenia bisa menjaga rahasia identitasku saat ini? Sangat payah jika aku berakhir di Altar Rutacakra sebelum mengetahui jawaban pasti dari rahasia Montrea.