webnovel

Menyerah?

"Ting" Bunyi notifikasi dari ponsel dean berbunyi.

Sementara lelaki itu kini sedang duduk di sofa tengah menonton televisi. Acara sepakbola favorite nya. Namun kali ini dia tak fokus lagi. Hal tadi siang terus mengusik pikirannya.

"Argggghhh" dean membanting remote tv asal ke lantai sampai benda itu retak dan hampir tak berbentuk.

"Kenapa harus jave, anjing" umpatnya kesal sembari mengacak rambutnya frustasi.

Lelaki itu tak berhenti mengumpat. Dia berdiri lalu melempar gelas kaca diatas meja ke lantai hingga pecah. Serpihan kacanya menggores tangan kanannya. Tapi bahkan dia tak peduli dan tak bisa meerasakan sakit sedikit pun.

Dean kembali duduk di sofa dan merebahkan tubuhnya dengan kasar sambil memegang kepalanya dengan tangannya yang terluka. Darah segar perlahan menetes mengenai wajahnya.

Di rumah sakit, jave yang baru saja sadar memegangi kepalanya yang masih terasa sakit dengan satu tangannya. Disamping kiri dan kanan nya sudah berdiri jean, dara, dan juga beberapa temannya yang masih menunggunya sejak tadi.

Namun pandangan nya hanya tertuju pada gadis berpakain dress selutut itu.

"Duh jave lo gimana? Masih sakit?" Tanya jeanny heboh sambil memegang satu persatu tangan dan kaki sepupunya itu.

"Gue mau ngomong berdua sama dara"

Hanya kata kata itulah yang pertama dia ucapkan saat baru saja terbangun.

Dara dan yang lain nya menatap heran dan saling pandang. Jeanny yang agak sedikit kesal lelaki itu tak menggubrisnya, hanya bisa menghela nafas dan mengajak teman nya yang lain untuk keluar dan memberi waktu pada keduanya untuk bicara.

Setelah jeanny keluar dan menutup pintu, dara perlahan menghampiri lelaki itu dan duduk dikursi yang ada disisi ranjang. Dia menatap lelaki itu sejenak lalu tertunduk.

"Dara, lo mau kan maafin gue?" tanya jave dengan nada lembut.

Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatapnya lekat, sedikit mengerutkan dahinya.

"Lo masih mikirin itu?" tanya nya heran.

"Jawab gue"

Dara terdiam sejenak. Dia menatap keluar jendela. Sore itu hujan turun. Tak terlalu deras, namun membuat hawa dingin yang menusuk kulit. Lalu kembali menatap jave yang sejak tadi masih menatapnya dan menunggu jawabannya.

"Ada hal yang lo gak tau, dan gak semua orang yang kenal gue harus tau apa yang terjadi sama gue"

"Lo gak percaya sama gue?" tanya jave.

"Gue berhak gak cerita sama siapapun jave" dara menekankan kata katanya.

Jave hanya terdiam sambil memejamkan matanya, namun bukan untuk tidur.

"Sory, gue gak bermaksud. Gue cuma belum siap cerita ke oranglain"

Mendengar pernyataan dara, jave kembali membuka matanya. Dia menatap lekat kembali gadis yang tertunduk sambil meremas ujung dressnya itu.

"Its okey. Gue ngerti. Lo bisa cerita kapan pun lo siap" ujarnya sembari tersenyum tipis.

Dara membalasnya dengan senyuman tipis juga.

Dia merasa lega akhirnya lelaki itu mau mengerti keinginannya.

Sementara itu, di kantin rumah sakit...

Hanya tersisa jeanny dan rama, sedangkan teman mereka yang lain sudah pulang lebih dulu.

"Eh jean, itu ceweknya jave?" tanya ma.

"Iya kali" jawab jean acuh sambil menyendokkan bakso yang masih hangat kedalam mulutnya.

"Kok lo gatau sih. Kan lo sepupunya" tambah rama lagi.

"Ya terus kalo gue sepupunya gue harus tau semua tentang dia gitu?" protes jean yang mulai kesal dengan lelaki dihadapannya itu.

"Ya kalo bukan kan bisa kali gue gebet"

"Emang temen gue mau sama lo?"

"Kalo gak mau ya harus gue buat mau lah"

Mendengar perkataan rama barusan, membuat jean menghentikan aktivitas makan nya dan meletakkan kembali sendoknya.

"Enteng banget tu mulut. Ya siap siap aja lo saingan sama jave"

"Dah ah gue mau balik ke ruangan jave lagi, bayarin gue ya" ucap jean sambil beranjak meninggalkan lelaki itu yang masih tercekat dengan kata katanya tadi.

"Lah gue suruh bayarin? Untung lo cantik jean" gerutu rama.

Jean yang langsung asal masuk ke ruang rawat, melihat pemandangan yang membuatnya menghela nafas panjang.

Jave yang masih setengah berbaring sedang memeluk dara yang duduk dikursi. Walaupun gadis itu tak membalas pelukannya, dia merasa senang ini pertama kalinya gadis itu mengizinkan dirinya memeluknya.

"Ehemmm" jeanny sengaja menekankan suaranya dan membuat keduanya kaget. Jave langsung melepas pelukannya.

"Sejak kapan lo disitu?" tanya jave.

"Biasa aja dong bang, jangan panik gitu mukanya" ledek jeanny yang berjalan menghampiri mereka.

"Eh udah malem nih. Ra, lo mau pulang gak? Gue anterin"

Dara melihat jam tangannya sekilas lalu mengiyakan perkataan jeanny.

"Gue balik dulu ya jave, cepet sembuh" ucap dara sembari tersenyum tipis.

"Lo besok kesini lagi kan?" tanya jave penuh harap.

"Gue gak janji ya jave, tapi gue usahain"

Keduanya pun keluar dari ruangan bercorak putih itu agar jave bisa beristirahat kembali.

Dan mereka berjalan menuju parkiran.

Disepanjang perjalanan dara bolak balik mengecek ponselnya dan mengundang perhatian gadis yang sedang fokus menyetir itu.

"Lo kenapa ra? Gelisah gitu?" Tanyanya.

"Gapapa. Ini orang yang order desain sama gue belum bales dari kemaren" jawab dara.

Jean tak sengaja melihat foto profil di room chat layar ponsel dara.

"Eh itu si dean kan?" tanyanya penasaran.

"Lo kenal?" tanya dara balik.

"Dia mah sekelas sama gue, satu jurusan"

Dara hanya mengangguk anggukan kepalanya sembari mengulum bibir.

Dean selesai membalut tangannya yang terluka tadi dengan perban. Dia masih duduk ditepi ranjang kamarnya lalu mengecek ponselnya. Ada notifikasi dari gadis itu dua jam lalu.

Lelaki itu tak membukanya dan meletakkan ponselnya kembali. Pikirannya semakin berkecamuk. Dia sudah terlanjur tertarik dan mulai menyukai dara. Bayangan wajahnya tak pernah sedikitpun hilang dari fikirannya.

Pertemuan dan obrolan mereka yang selalu membekas dalam ingatannya. Dia tak mudah melupakannya begitu saja. Bagaimana dia harus memilih menyerah sementara dia bahkan belum memulai sepenuhnya?

Dean dibuat bingung saat ini. Dia hanya bisa menebak nebak apa yang terjadi. Membayangkan jika gadis itu benar benar menyukai jave saja membuatnya frustasi.

Ingatan nya berlabuh pada dua tahun lalu. Saat dia dan lelaki itu pernah berkelahi. Namun bukan karena perempuan. 

Dean menyandarkan kepalanya di sisi ranjang sambil memejamkan mata. Dia terus berusaha memikirkan sesuatu. Setidaknya dia harus benar benar tau dulu, apa hubungan jave dan gadis itu. Agar dia tau harus melakukan apa. 

Dia bukan seseorang yang gampang menyerah apalagi itu menyangkut hal yang disukainya. Jika nanti dia memang harus bersaing dengan jave untuk mendapatkan gadis itu, dia siap dengan apapun segala resikonya.

Kalaupun nanti pada akhirnya, dara tetap memilih lelaki itu dia akan berusaha menerima dan mengabaikan perasaannya.