Akademi serigala sangatlah besar. Beberapa kali mulut kecil Zaly berdecak takjub dengan keindahan bangunan di depannya.
"Ayah, mengapa ukirannya seperti rumah kita?" tanya Zaly.
"Mungkin sewaktu akademi ini dibangun mereka terinspirasi dengan rumah kita," ujar Ares seadanya.
"Ew, mereka tidak memiliki kreativitas sendiri," ujar Sane yang sedari tadi memegang tangan ibunya.
"Sane benar, aku akan menegur mereka nanti," sambung Zaly.
Orang tua mereka hanya bisa tertawa kecil, benar-benar bocah yang menggemaskan.
"Ayo kita masuk, ibu sangat merindukan Dane," ajak Hera.
Zaly berlari mendahului keluarganya. Dari mereka berempat, memang Zaly yang paling aktif. Mungkin karena Zaly anak perempuan satu-satunya maka dari itu sifatnya berbeda dari yang lain.
"Hei, apa kau dari klan vampir? Taringmu sangat lucu," tanya Zaly pada bocah seusia dengannya.
Bocah perempuan itu mengernyitkan dahinya. "Ya," jawabnya.
"Namaku Zalyne, kau bisa memanggilku Zaly." Gadis kecil itu tersenyum menampilkan dua giginya yang ompong.
Sang vampir kecil terlihat ragu menyambut uluran tangan Zaly, hingga suara seseorang benar-benar membuatnya mengurungkan niat untuk menyambut tangan Zaly tersebut.
"Zaly! Jangan mudah percaya dengan orang baru," teriak Sane. Bocah laki-laki itu berlari mendekati Zaly dan vampir kecil.
"Kenapa? Aku hanya ingin berteman dengannya," ujar Zaly.
Sane menggelengkan kepalanya keras. "Tidak boleh!"
"Tidak apa-apa, sayang, Zaly hanya ingin mencari teman," ujar Hera menengahi kedua anaknya.
"Tapi, Bu, Sane hanya ingin menjaga Zaly," ucapnya.
Ares mengacak rambut Sane. "Tidak usah khawatir, jagoan, Zaly kita adalah gadis serigala yang buas," ujar Ares.
"Ayah!" Zaly mencebik.
Kedua orang dewasa itu hanya tertawa kecil.
Hera berjongkok menyamakan tingginya pada vampir kecil yang terus saja menundukkan kepalanya. "Siapa namamu, gadis manis?" tanyanya.
Gadis kecil itu mendongakkan kepalanya. "Namaku Tara," jawabnya.
"Di mana orang tuamu? Kau siswa lama atau siswa baru?" tanya Hera lagi.
"Aku siswa baru," jawabnya. "Ayah dan ibuku sedang mengurus administrasi," katanya lagi.
"Hei, Tara, ayo kita bermain!" seru Zaly. Ia langsung menarik tangan Tara.
"Hati-hati Zaly!" tegur Zayn.
"Jangan khawatirkan aku kak Zayn, khawatirkan saja Sane yang tidak lepas dari ibu itu!" teriak Zaly dengan tawa yang ia keluarkan.
Sane mencebik. "Ibu, aku tidak mau sekolah."
Zayn menggelengkan kepalanya melihat saudaranya yang sangat manja.
"Bukankah para jagoan Ayah sudah berjanji untuk masuk akademi?" tanya Ares.
"Tapi, Ayah, kalian akan kesepian," ujar Sane.
Hera menatap suaminya, ia juga tidak mau membiarkan anaknya terpaksa memasuki akademi, ia takut nantinya Sane akan sakit karena menangis ingin pulang.
Mengetahui apa yang ada di pikiran istrinya, Ares tersenyum lalu menganggukkan kepalanya.
"Sane, apa kau tidak ingin bersekolah?" tanya Hera.
Sane menjawab dengan anggukan cepat.
"Baiklah, Ibu dan ayah akan menyekolahkan mu jika itu permintaan Sane sendiri," ujar Hera. "Jika Sane tidak mau sekolah, kita akan pulang bersama."
"Benarkah?!" Wajah Sane kini berubah ceria.
Hera tersenyum, tidak apa anaknya terlambat masuk, yang terpenting adalah kebahagiaan dari anaknya.
"Ya, sayang."
Sane bersorak, ia menjulurkan lidahnya pada Zayn yang menatapnya risih.
"Kekanakan," ucap Zayn. Bocah laki-laki itu memasukkan kedua tangannya ke saku celana yang ia pakai, kemudian ia berlalu dari sana.
Kembali Hera menatap suaminya. "Apa anak sulung kita dewasa sebelum waktunya?"
Ares menghela napasnya. "Dia benar-benar menuruni sifatku," ujarnya.
***
"Ah Dane ku sangat lucu." Zalyne mencubit pipi Dane yang membulat itu. "Dane, mengapa kau semakin bulat?" Zaly terkikik. "Kau sangat lucu seperti roti kukus, ah aku ingin memakan pipimu itu," ujarnya disertai tawa yang sangat menggemaskan.
Sekarang keluarga kecil itu sudah berkumpul di sebuah ruangan. Dane yang sedang ada kelas terpaksa bolos karena ingin menemui orang tua dan saudara-saudaranya.
Zyddane hanya memutar bola mata malas mendengar perkataan kembarannya ini, meskipun ia kakak tetap saja ia perempuan yang kekanakan.
"Sepertinya Ibu menyetujui ucapan Zaly, apa Dane sangat bahagia di sini sehingga tidak merindukan Ibu?" tanya Hera sendu. Sedari tadi putranya itu tidak memeluknya ketika ia berkunjung.
Dane menatap sang ibu dengan kening mengkerut. Perlahan ia mendekati ibunya kemudian mendekap wanita yang sangat ia sayangi itu.
"Apa yang Ibu bicarakan? Tentu saja Dane merindukan kalian. Dane bahagia di sini dan juga bersama ibu dan ayah," ujar Dane.
Hera membalas pelukan putra kecilnya. Air matanya mengalir mendengar ucapan sang putra. "Apa Dane tidak merindukan rumah?" tanyanya.
"Dane ingin pulang tetapi Dane harus mengikuti ujian kenaikan tingkat." ujar Dane.
Bocah laki-laki itu beralih menatap ayahnya. Ia berjalan santai lalu memukul lengan ayahnya layaknya orang dewasa ketika bertemu.
"Hey big Daddy!" ucap Zyddane.
"Halo juga little boy," balas Ares. "Bimbing saudaramu yang lain, mereka akan bersekolah juga kecuali Sane," ujar Ares.
"Sane? Kenapa?"
"Sane adalah anak manja, Zyddane. Bahkan ia masih tidur bersama ayah dan ibu," ucap Zayn.
"Zayn! Aku tidak semanja itu!" desis Zyssane.
Zyddane tertawa kecil. Meskipun memiliki pipi yang tembam, bibit ketampanan laki-laki kecil itu sudah muncul. "Lantas, mengapa kau tidak ingin bersekolah?" Dane mendekati Sane kemudian berbisik, "Kau bisa bebas makan apapun, melakukan apapun, tanpa ada teguran dari ibu." Dane tertawa kecil setelah mengucapkan itu.
"Kami mendengarnya Little boy," ujar Ares dan Hera bersamaan.
Zyddane tertawa dan hal itu sukses membuat Hera gemas. Ia menciumi pipi tembam kemerahan milik Zyddane.
"Ibu, pipiku akan meledak jika kau menggigitnya," ujar Zyddane menghapus jejak gigi ibunya di pipinya.
Zaly tertawa melihat pipi Zyddane yang memerah, ia sangat suka melihat saudaranya yang sekarang, sangat berisi dan lucu.
"Jadi, apa kau masih tidak ingin bersekolah, Sane?" tanya Dane lagi.
"Tidak akan, karena Sane adalah anak yang manja," ujar Zaly.
"Zaly, tidak boleh seperti itu kepada saudaramu," tegur Ares.
Zaly menyengir. "Maaf, Ayah."
"Aku akan bersekolah!" Zyssane berteriak lantang. "Aku sudah besar dan aku akan lebih pintar dari Zyddane!" ujarnya lagi.
"Kau tidak akan bisa mengalahkan ku, Sane." Dane menjulurkan lidahnya mengolok Sane.
"Zyssane, Zyddane, kami menyekolahkan kalian bukan untuk bertanding siapa yang lebih pintar diantara kalian berempat. Kami menyekolahkan kalian agar kalian bisa berbaur dengan dunia luar," ujar Ares. "Ayah tidak mau mendengar sekolah mengadu tentang kalian berdua yang berkelahi, jika itu sampai terjadi, Ayah akan menyuruh Mariana menenggelamkan kalian di palung Mariana. Mengerti?"
"Ya, Ayah," jawab kembar itu serempak.
"Bagus. Ibu dan Ayah akan selalu mengunjungi kalian nanti."
***
Empat bersaudara itu kini sedang bermain di tempat bermain akademi. Daerah yang mereka gunakan adalah daerah untuk para makhluk immortal yang masih kanak-kanak. Makhluk yang sudah dewasa akan dipindahkan di tempat lain sesuai tingkatan yang mereka miliki.
Di tengah-tengah kesibukan Zaly bermain, tiba-tiba saja sebuah asap hitam dan putih menghampirinya lalu menampakkan sosok selama ini yang sering mengganggu Zaly.
"Little mate," bisiknya.
Pasir yang ada di genggaman Zaly kini sudah berada di wajah pria itu.
"Paman mengagetkanku!" ujar Zaly. Bibirnya mengerucut lucu. "Paman jelek yang tidak tau sopan santun!" gerutunya.
"Apa yang kau lakukan, little mate?"
"Paman, namaku Zaly, Za Ly, kenapa Paman terus memanggilku itu!"
"Jawab saja pertanyaanku," ujar pria itu.
Zaly memutar bola matanya yang berwarna hijau itu. "Paman bisa melihatnya sendiri," kata Zaly jengkel. Ia tidak memperdulikan kehadiran pria dewasa itu, ia malah asyik dengan kegiatannya membangun istana pasir.
Xavier, pria yang menggangu Zaly itu menatap datar gadis kecilnya. Pipi putih kemerahan milik Zaly menjadi magnet untuknya. Ia mendekat guna merasakan pipi putih itu, tapi ...
"Dor! Kau tertangkap Paman jahat!"
Tiba-tiba saja bocah-bocah kecil itu menghampiri Xavier lalu memberikan serangan-serangan kecil.
Mata Xavier berkilat marah, ia tidak suka kesenangannya terganggu.
Tangannya terangkat guna menepis bocah-bocah itu hingga mereka terpental ke tanah.
"Paman! Itu saudaraku! Mengapa kau ingin menyerangnya?!" teriak Zaly yang menatap paman jelek itu dari bawah.
"Mereka menggangguku," jawab Xavier.
"Mereka menyelamatkan ku dari orang jahat sepertimu, Paman!" ujar Zaly lalu membantu ketiga saudaranya berdiri.
"Apa kalian baik-baik saja?"
"Aku tidak menyukai paman itu, dia menyerang anak kecil," ujar Dane.
"Dia memang orang jahat, kita harus menyelamatkan Zaly kita darinya," sambung Sane.
"Paman," panggil Zayn. "Jika kau menganggu Zaly lagi, kau akan berhadapan dengan kami," ujarnya.
Xavier mengangkat sebelah alisnya. Seorang demon ditantang oleh tiga kurcaci?
***
Bersambung ...
___
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI!!!
With love @ptrmyllln^^