webnovel

Dandi Yang Malang

"Aku udah bilang, aku mau pisah sama kamu! Kita cerai!" bentak Nirmala pada suaminya.

"Dandi gimana? Dia masih kecil, apa nggak bisa dibicarain dulu? Apa alasan kamu minta cerai gini?" tanya Ferdi dengan tenang membicarakan masalah yang sebenarnya pada Nirmala.

"Aku bosan sama kamu! Aku mau kita cerai!" bentak Nirmala yang kemudian keluar dari kamar mereka berdua.

Kejar-kejaran antara Nirmala dan Ferdi jelas terlihat oleh Dandi. Antari yang masih kecil hanya mengikuti mamahnya masuk kedalam mobil dan meninggalkan papahnya, Dandi hanya diam saja, pikirannya sedang mencerna apa yang baru saja ia lihat. Apakah ini artinya Dandi harus hidup bersama papahnya dan Antari hidup bersama mamahnya yang entah kemana perginya. Ferdi yang merasa putus aja hanya berjalan kembali ke kamarnya, dirinya mengacuhkan Dandi yang mengintip dibalik pintu kamar. Dibukanya pintu kamar, dirinya kemudian melangkah keluar rumah untuk memastikan kalau benar mamah serta adiknya pergi meninggalkan rumah. Rumah yang mereka tempati selama bertahun-tahun sejak papahnya pertama kali memenangkan proyek diperusahaannya sepuluh tahun yang lalu, rumah yang kini menjadi saksi perpisaha kedua orang tuanya. Dirinya lalu menutup pintu rumah yang sudah ditempeli tulisan 'Rumah Ini Disita Bank'.

Hari telah gelap dan Dandi mulai merasakan perutnya yang sedari tadi bergemuruh seakan gunung api telah memuntahkan lavanya, dirinya kemudian berinisiatif membuka kulkas. Namun sayang, hanya terisi air putih dan beberapa potong buah yang sepertinya sudah berair dan tidak dapat dikonsumsi lagi. Sebenarnya Dandi ragu untuk menemui papahnya yang sedari tadi dikamar, namun rasa laparlah yang menuntun tangannya mengetuk pintu kamar kedua orang tuanya.

"Tokk! Tokk! Took!".

"Paaaah" panggil Dandi lirih.

"Papaaah" panggil Dandi sedikit mengeraskan suaranya.

"Papah udah tidur?" seru Dsndi memastikan papahnya didalam sana.

Dandi rasa papahnya sudah tidur, dirinya kemudian memutuskan masuk ke dalam kamar karena rupanya pintu kamar tidak terkunci. Pemandangan yang sangat menyakitkan bagi anak berusia 12 tahun jelas terekam oleh pikiran Dandi, pemandangan yang menunjukkan selebaran kaca pecah dengan center seorang laki-laki yang duduk menghadap Dandi dengan mata terbelalak serta lengannya yang tak berhenti mengucurkan darah segar. Bersamaan dengan itu, masuklah seorang perempuan paruh baya dengan air mata yang mengucur dipipinya, dirinya segera memeluk Dandi yang masih shock dengan apa yang dilihatnya saat itu.

"Dandi, Dandi ikut nima kedepan ya" kata wanita tua memamapah Dandi menuju kamarnya.

"Cucu nima" kata wanita tua yang terus memeluk Dandi.

"Mah! Kenapa? Ini ada apa?" tanya seorang wanita muda turun dari mobilnya dan berlari menuju kamar Dandi.

"Telpon ambulance sekarang, nanti mamah jelasin" kata wanita yang terus memeluk Dandi.

Selang beberapa menit, sebuah ambulance datang dan segera mengangkat jenazah Ferdi yang sudah dinyatakan meninggal dunia karena kehabisan darah, perasaan Dandi semakin tak karuan. Dirinya tidak bisa mengatur emosi mana yang harus ia kelurkan saat melihat tubuh kaku papahnya diangkat oleh beberapa staf medis. Dirinya menatap kejadian itu secara samar-samar, namun pikirannya merekam semua kejadian itu meskipun hatinya belum bisa menerima kenyataan apapun.

"Tria, mamah minta selesaikan semuanya. Mamah tunggu dirumah" kata wanita yang kini duduk dimobilnya bersama Dandi yang masih belum mau mengatakan sepatah kata pun.

"Dandi, Dandi nginep dirumah nima ya sayang" kata wanita yang rupanya orang tua dari Nirmala. Sebutan nima memang ia dapatkan saat kelahiran cucu pertamanya, Dandi. Nima ialah singkatan dari nini dari mamah, oleh sebab itulah lahir panggilan nima bersamaan dengan lahirnya Dandi kedunia ini.

Dengan pikiran yang sama bingungnya, Tria yang sampai didepan rumah langsung berlari masuk dan mencari mamahnya untuk menanyakan hal yang baru saja ia alami tadi malam. Meskipun tengah malam, dirinya tidak sabar menunggu waktu esok untu mencari tau hal yang membuatnya harus buru-buru pulang dari kantor dan pergi kerumah kakaknya, belum sempat dirinya bertanya. Dirinya malah dihadapkan dengan jenazah iparnya yang harus ia urus karena rupanya Ferdi merupakan anak dari pebisnis Jepang yang tidak bisa datang saat itu juga, dirinya harus menunggu beberapa jam sampai keluarga Ferdi datang dan memutuskan penguburan jenazah Ferdi dengan layak.

"Mah! Mamah! Mamah!" seru Tria menuju kamar Meria.

"Sssttt! Kita bicara didepan" jawab Meria keluar dari kamarnya dan menuju ruang kerjanya.

"Kita bicarakan disini saja, biarkan Dandi istirahat" kata Meria duduk disalah satu sofa ruang kerjanya.

"Ada apa sih mah? Aku sampe harus buru-buru pulang dari kantor, udah kenapa Ferdi harus bunuh diri?" tanya Tria yang masih bingung dengan keadaannya saat itu.

"Nirmala pergi meninggalkan Ferdi".

"Kakak kemana? Mereka pisah?".

"Nirmala meminta cerai dengan Ferdi, dia lalu pergi dengan Antari. Itu isi pesan Ferdi sore tadi. Dia bilang, dia titip Ferdi. Karena dirinya sudah tidak sanggup dengan hidupnya, perusahan yang bangkrut dan ditinggalkan istri yang sangat dicintainya. Dirinya takut jika Dandi akan putus sekolah jik harus hidup dengannya, aku juga baru buka pesan itu jam 7. Padahal dia mengirim pesan jam 4, aku langsung pergi ke rumahnya, aku nemuin Dandi lagi jongkok didepan pintu dengan tatapan kosong menatap Ferdi yang mungkin udah meninggal waktu itu" jelas Meria yang diiringi air mata Tria.

"Kenapa kakak setega itu sama Kak Ferdi dan anaknya, sedangkan dulu dia sampai harus pergi dari rumah untuk menikah dengan Kak Ferdi. Sepertinya ada yang nggak beres, mah" jawab Tria sembari menyeka air matanya.

"Mamah udah selidiki itu semua, kita tinggal nunggu kabar dari orang itu" kata Meria yakin.

Mereka berdua kemudian keluar dari ruang kerja Meria dan memutuskan untuk tidur, karena hari sudah hampir pagi. Keesokan harinya mereka bersiap menghadiri penguburan jenazah Ferdi, jenazah Ferdi dibawa orang tuanya untuk dimakamkan di negara kelahirannya, Jepang. Kini Dandi kecil benar-benar merasakan kesendirian yang benar-benar menyakiti hatinya, Dandi yang malang belum bisa mengatur perasaan yang sedang ia alami saat itu.