webnovel

Dandian, 1992

Cerita ini menceritakan sebuah cerita hidup dari anak yang bernama Dandian dalam lika-liku kehidupannya. Berawal dari masa kecilnya, ia tumbuh besar seiring berjalannya waktu. Bertemu dengan sekian banyak orang yang menjadi faktor-faktor tertentu bagi kehidupannya. Drama, Asmara, aksi dan lain sebagainya yang ia alami sebagai perjalanan hidup oleh Dandian, seseorang yang berkelahiran pada tahun 1992. Di dalam dunia yang hitam, putih, dan abu-abu ini, Dandian, ia belajar, "hidup". -- Cerita ini bersifat fiktif, tidak berdasar dari kebencian kepada suatu bentuk perorangan maupun bidang atau badan. Setiap jalan cerita di bentuk secara fiktif dari ide dan imajinasi penulis demi membentuk alur suatu cerita untuk kedepannya tanpa maksud-maksud tersembunyi. Fiksi ini diciptakan secara fiktif semata, demi menciptakan suatu kreasi bagi penulis.

iNewbFK · Realistic
Not enough ratings
5 Chs

Konseling,

Pada akhirnya, di dalam ruangan UKS tersebut, aku yang masih anak-anak ini, terbujuklah oleh Pak Djailani itu. Terceritakan semuanya satu per-satu kejadian dan sebab terjadinya perkara ini. Beliau begitu handal dalam membujuk anak-anak seumurku. Yang dimana beliau hanya guru TU atau Tenaga Umum yang pada umumnya hanya menjadi guru olahraga/penjas, koperasi dan extrakulikuler pada mada itu. Namun, meskipun beliau bukan orang yang ber-title demi menjadi seorang guru, tenaga pengajar, atau seorang "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa", beliau benar-benar mendedikasikan fikiran dan tenaganya demi mendidik kami. Ya, benar. Saat itu, guru belum berstaraf status PNS, atau Pegawai Negeri Sipil.

Setiap pengajar disekolah-sekolah pada masa itu, adalah mereka yang benar-benar menjiwai bidang mereka. Yang berdedikasi tinggi demi mendidik dan mengarahkan kami, generasi penerus mereka, untuk bangsa. Seusainya semua ceritaku, setelah beliau yakin bahwa tidak ada lagi cerita yang tertahan dariku, beliau tak langsung memproses akan hukuman atau apapun yang akan aku terima setelah melanggar norma aturan umum sekolah, sebagai seorang siswa.

"Hmm.", Beliau bergumam, menghela nafasnya sedikit sembari kembali duduk ke kursi di depanku. "Begini, nak Dian. Memang, tidak salah, kamu membela dirimu sendiri dengan perlawanan saat ditindas. Namun, tidak benar juga caranya jika kamu hanya mengikuti amarahmu yang berkecamuk itu.", Beliau menasehatiku dengan nada yang tenang, terasa lembut walaupun suara beliau berat dan berintonasi. Seakan-akan, daripada mendengarkan suatu nasehat, terasa lebih seperti mendengarkan suatu cerita. Isak tangisku pun terhenti. Teralihkan perhatianku kepada cara beliau menasehatiku.

"Iya pak, maaf.", aku hanya menjawab dengan respon umum, yang pada umumnya akan di ucapkan oleh anak-anak seusiaku, saat merasa bersalah.

"Looh? Maafnya bukan ke bapak loh nak.", Beliau tersenyum hangat sembari menepuk halus lututku lalu menggenggamnya tanpa tenaga. "Itu nanti, kamu maafnya sama Andika. Tapi, nanti ingat baik-baik. Perlawanan itu, memang perlu. Tapi kekerasan, bukanlah satu-satunya jawaban.", Beliau menambakan.

"Iya pak, maaf. Saya salah.", Aku menjawab dengan jawaban yang sama. Masih, tertunduk, dengan perasaan sedikit bersalah. Namun, amarahku reda terbujuk dengan bujukan beliau.

Beliau mengarahkan kedua lengannya ke arahku. Mengangkatku dengan kedua tangannya turun dari sisi tempat tidur UKS tersebut. Aku diam, menurut pada apapun yang beliau akan lakukan atau serukan.

"Ayo nak, kita ke majelis guru dulu sebentar. Sudah ga nangis lagi kan?", Beliau berujar. Tak seperti sedang bertanya.

Aku menjawabnya dengan menggelengkan kepalaku, dengan muka polosku dan mataku yang sedikit sembab sehabis menitiskan airmata meskipun tak meraung. Beliau mulai berjalan, membuka pintu untuk keluar dan berdiri tegak menghalangi pintu agar tak tertutup. Beliau memposisikan dirinya seperti itu dengan bahasa tubuhnya yang menyuruhku untuk keluar dahulu sebelum beliau. Lalu akupun berjalan melewati beliau dengan polosnya, melalui pintu keluar.

Sesampainya aku diluar, kebisingan hening yang terasa dan terdengan di sekolah pada umumnya. Gema suara dari guru-guru yang sedang mengajar, menjelaskan materi pelajaran di kelasnya dan sembari suara ketukan antara penggaris kayu atau penghapus papan tulis bertemu dengan papan tulis sesekali terdengar. Aku berdiri tegak diluar pintu tertunduk dengan polosnya menunggu Pak Djailani keluar dari UKS. Sebelum keluar, beliau merapikan kembali ruangan tersebut. Meletakkan kembali kursi yang beliau gunakan ke tempat dimana beliau mengambilnya. Sedikit merapikan tempat tidur dimana aku duduk, dan lalu beliau keluar sembari menutup pintu dibelakangnya.

Beliau dengan halus meletakkan tangannya ke pundakku, sedikit mendorong dengan halus upaya mengajakku berjalan beriringan mengikuti lengannya sebagai penuntuk jalanku ke Majelis Guru. Sesampainya kami disana, dari luar, aku dapat melihat Andika sedang duduk ter-isak bersama seorang guru berjilbab yang berpostur badan cukup berisi, tidak gemuk. Tampak dimukanya, tepat di bagian hidungnya, terdapat kapas atau kain mika yang digulung dan dimasukkan kedalam lubang hidung sebelah kirinya dengan sedikit noda darah yang terserap. Ibu guru tersebut, bernamakan Sri. Seorang guru mata pelajaran IPS, dan sebagai wali kelas dari kelas 4A. Sementara kelasku, kelas 1A. Wali kelasku ibu Mimi, namun beliau di hari itu berhalangan hadir.

Masuklah kami, Pak Djailani dan aku, kedalam majelis guru beriringan. "Permisi bu Sri.", Pak Djailani menyapa sambil memasuki ruangan.

"Iya pak, silahkan. Disini saja kita pak.", Ibu Sri merespon sapaan beliau dan langsung ke inti pokok permasalahan.

"OK bu.", Pak Djailani menjawab. "Ayo nak.", Beliau mengajak sambil menuntunku berjalan mengikutinya duduk di kursi bersebelahan dengan beliau, tepat didepan Andika dan Ibu Sri yang sedang membujuknya.

Aku tertunduk merasa bersalah, dari awal aku masuk keruangan hingga aku duduk di kursi di depan mereka, di samping Pak Djailani. Tertunduk, diam, dan tanpa suara.

"Jadi gimana pak?", Ibu Sri mulai membuka topik.

"Wah, gitu ya bu?", Pak Djailani tersenyum sambil sedikit melirik ke Andika. Ibu Sri merespon dengan sedikit mengangguk dan sedikit mengernyitkan keningnya. "Nah, kalau dari saya, si Dian lebih ke membela diri bu.", beliau membelaku.

"Hmm...", Ibu sri bergumam, seakan berfikir. Tangan kanan beliau sambil mengelus punggung Andika yang masih ter-isak-isak dan menundukkan kepalanya. "Jadi, yang mulai siapa? Kamu ya, nak?", Ibu Sri bertanya kepada Andika dengan nada yang membujuk sambil mendekatkan kepalanya ke Andika.

Andika menjawab dengan menggelengkan kepalanya sambil ter-isak. "Loh, katanya bukan loh pak. Gimana dong?", Ibu Sri bertanya kembali kepada Pak Djailani dengan nada dan sikap yang sengaja sedikit di manjakan agar kami tidak panik dan menangis.

"Wah gimana dong nak Dian? Kamu tadi bohong ga sama bapak?", Beliau bertanya kepadaku dengan nada dan sikap yang sama seperti ibu Sri seakan terdengar seperti permainan tanya-jawab. Aku merespon dengan menggelengkan kepalaku juga, sambil tertunduk.

Singkat cerita, 1 jam lebih berlalu dalam sesi konseling yang caranya cukup tidak efisien ini. Namun, efektif. Guru-guru ini berusaha merendahkan tingkat mereka agar bisa sedikit lebih setara dan dekat dengan kami sebagai penengah dalam pemecahan dan pemahaman masalah yang terjadi terhadap Aku dan Andika. Setiap beberapa informasi yang keluar, ibu Sri dan pak Djailani selalu saling oper meng-oper sebuah nasehat, cerita, dan bujukan canda. Dan kita semua tahu akan kemana dan seperti apa yang akan terjadi setelah sesi konseling selesai.

Pastinya, Andika dan Aku diminta untuk saling meminta maaf dan memaafkan. Singkatnya, berdamai. Dengan situasi canggung yang dimana Andika yang memulai, namun aku yang menghajar. Entah bagaimana perasaanku saat itu. Entah, akupun lupa. Yang pastinya, itu adalah suatu jabat tangan permintaan maaf tercanggung yang ter- dan paling, pertama dalam hidupku. Setelah acara permintaan maaf yang canggung tersebut selesai, di antarlah kami kembali ke kelas kami, kelas 1A.

Dengan berjalan tertunduk sambil menggenggam jari tangan guru yang menjadi konselor kami, dua orang insan polos yang akan menjadi sahabat dekat ini hanya bisa diam dengan sedikit perasaan bersalah yang masih bersisa, dan rasa malu. Aku dan Pak Djailani berjalan di depan, sementara Andika dan ibu Sri di belakang. Setelah beberapa waktu berseling, sampailah kami di pintu kelas 1A.

'Tok tok', pak Djailank mengetuk pintu kelasku. "Permisi bu, ini anak-anaknya.", pak Djailani menyapa ramah guru yang sedang mengajar sambil meminta izin untuk mengembalikan kami ke kelas secara tersirat.

"Oh, iya pak. Silahkan!", Ibu Lena, guru matematika, menjawab sapaan dan izin pak Djailani sembari meletakkan kapurnya, menepuk-nepuk kedua tangannya agar debu kapur runtuh dari tangannya sambil berjalan kearah kami yang berdiri di depan pintu. "Pantes ibu ga liatin Dandian sama Andika daritadi. Ibu nyariin loh", ibu Lena ber-basa-basi sambil merangkul kami tanpa mempertanyakan lebam dan memar di muka Andika seakan tak melihatnya.

"Loh, darimana aja loh kalian berdua?", Tambahnya.

"Biasa bu, anak laki-laki saling mengenal.", goda pak Djailani. Ibu Sri hanya tersenyum mengangguk ke ibu Lena lalu sambil melihat kearah kelas lain.

"Oh iya gitu ya pak? Wah..", ibu Lena merespon dengan wajah dan sikap yang seakan-akan girang agar tak memperkeruh suasana kami. "Kalau begitu kami permisi ya pak?", ibu Lena meminta izin sambil menggiring kami ke tempat duduk masing-masing.

"Iya bu, saya juga permisi dulu kalau begitu.", pak Djailani juga meminta ijin pamit ke ibu Lena. Mereka saling menganggukkan kepala sebelum akhirnya berjalan ke tujuan masing-masing.

Ibu Lena menggiring kami ke tempat duduk kami masing-masing. Kelas terasa hening saat itu. Aku digiring dengan tangan kanan beliau, sementara Andika dengan tangan kirinya. Karena bangku Andika lebih dekat, Andika lebih dahulu sampai terantarkan oleh ibu Lena. Ia langsung duduk dan menundukkan kepalanya beralaskan kedua lengannya diatas meja. Lalu, ibu lena kembali menggiring dan mengantarkan aku, yang tertunduk malu dengan teman-teman sekelasku, kembali ke bangkuku dengan kedua tangannya di pundakku.

Sesampaimya aku di tempat dudukku, tanpa mengulur waktu, aku langsung duduk dan menundukkan kepalaku di atas sisi meja paling ujung dengan keningku, sementara tanganku saling menggenggam, mengusap menahan malu di bawah mejaku. Ibu Sri hanya tersenyum lalu beliau berjalan kembali kearah papan tulis dan melanjutkan sesi pelajarannya tanpa Aku dan Andika yang masih belum bisa berlalu dari kejadian yang baru saja telah terjadi dan rasa malu terhadap teman-teman sekelas lainnya yang tidak menimbulkan suatu masalah seperti kami. Jam pelajaran ibu Lena adalah jam pelajaran terakhir di hari itu untuk siswa kelas 1A. Kegiatan belajar mata pejaran MTK atau matematika hari itu, untuk Andika dan aku sama sekalk tidak efektif.

Sepanjang mata pelajaran terakhir berlangsung, kami hanya tertunduk diam dan malu hingga kelas berakhir. Mengucapkan terimakasih dan salam kepada guru sebelum pulang adalah suatu tradisi antara pelajar dan pengajar. Namun, hanya untuk aku Andika, saat itu tidak terlaksana. Setelah mengucapkan rasa terimakasih dan salam kepada guru, kami, satu per satu menyalami tangan guru kami sebelum pulang.

"Dian, sama Andika jangan pulang dulu ya? Nanti sama ibu ke majelis dulu.", ibu Lena meminta dan berkata dengan lemah lembut sembari berdiri di samping mejanya dan mengulurkan tangannya ke murid-murid yang saat itu berbaris dengan rapi bergiliran, sesuai baris bangku masing-masing, untuk mereka menyalami punggung lengan beliau sebelum pulang. Aktifitas pulang sekolah pun bermula, suara keramaian anak-anak lain yang pulang sekolah di luar pun terdengar dengan jelas dari dalam.

Anak-anak kelas lain mulai berkumpul depan pintu, demi melihat kami si pembuat onar hari itu. Hampir menghalangi jalan keluar anak-anak kelasku.

"Hei! Pulang! Ga ada yang bisa di tonton disini! Pulang atau ibu bicarakan ke orangtua kalian masing-masinh kalau masih disini!", ibu Lena meneriaki mereka yang berkumpul di depan pintu dengan suaranya yang lantang sambil menunjuk ke arah mereka dengan tangan kirinya.

Seperti bocah-bocah pada umumnya di usia kami, mereka yang di depan pintu sedikit tertawa sebelum melarikan diri mereka masing-masing.

"Engga bu! Ampooon. Kaboooooor!!! Hahaha.", mereka berlarian menjauhi pintu kelas kami sambil tertawa.

"Kalau masih ada yang di depan pintu pas ibu keluar nanti, siap-siap di jewer kalian ya!", ibu Lena menambahkan dengan suara yang lantang dan raut muka yang sedikit judes sambil meletakkan tangan kirinya di samping pinggangnya dan menunggu antrian anak-anak murid yang menyalaminya selesai.

"Cabooooooottt!!!", teriak anak-anak itu lagi. Suara langkah-langkah kaki berlarian menjauh terdengar dari dalam kelas. Tak lama kemudian, antrian pun selesai.

Ibu Sri mulai merapikan mejanya. Memasukkan berkas-berkas kerja beliau kedalam keranjang besi lalu mengangkatnya dengan 1 tangan sambil menyanggakan sisi keranjang ke pinggulnya. Ibu Sri tidak berjilbab, beliau seorang guru yang memeluk agama Nasrani. Rambut hitam yang selalu di kuncir, mata yang memiliki tatapan yang tajam, porsi badan yang langsing, muka yang mulus berseri namun mengerikan saat sedang marah, warna kulitnya yang sawo matang tapi sedikit lebih putih dari kebanyakan, serta bibirnya yang tipis.

Sambil menggendong keranjang yang berisi buku-buku serta berkas-berkas tersebut dengan bersanggakan pinggulnya, beliau memanggil kami.

"Ayo, Andika, Dandian, kemas tasnya.", suruh beliau. Tanpa suara, kami mulai mengemas bawaan kami dan menyanggkan tas milikku ke punggung sementara andika menggunakan tas selempang yang bersanggakan pundak dan menyamping.

Dengan diam dan menunduk kami maju kedepan kearah ibu Lena, beliau hanya tersenyum dan sedikit menghela nafasnya. Lalu beliau mulai berjalan keluar kelas, dan kami mengikutinya dengan diam dari belakang. Andika di depanku, sementara aku paling belakang menuju Majelis Guru.