webnovel

16. Sambang (1)

Sudah terlanjur horny, Haris hanya mengangguk pelan dan membiarkan dirinya dipeluk Hasan. Namun usahanya untuk menghentikan yang ketiga gagal. Duda 35 tahun itu tidak terlalu ingat apa yang terjadi selanjutnya.

Ketika bangun pagi, Hasan tengah tertidur lelap di sampingnya. Haris merasa tubuhnya sudah bersih, begitu juga sprei tempat tidur.

Meski hampir tidak punya tenaga untuk beranjak dari tempat tidur, hanya kewajibannya sebagai seorang ayah yang membuat Haris berusaha bangun.

Thud!

Hasan membuka mata saat mendengar suara benda jatuh. Tidak ada yang berbeda selain Haris yang sedang duduk di lantai.

"Kenapa duduk disitu?" tanya Hasan. Suaranya serak dan parau.

"Sekarang masih jam 6. Tidurlah sebentar lagi." Tangan besar pemuda itu menepuk-nepuk sebelahnya yang kosong.

"Niar sebentar lagi bangun," ujar Haris khawatir. Bagaimana tidak, dia masih belum memakai apa-apa. Dia tidak yakin kalau di balik selimut, Hasan memakai sesuatu.

"Mm... Biar saya yang urus." Pemuda itu lalu bangun dan berjalan ke arah lemari.

Kulit Hasan terlihat lebih gelap dalam cahaya yang masih remang-remang. Tapi pundaknya yang lebar begitu kokoh. Posturnya juga tegap saat berdiri. Seolah apapun yang dilakukannya pasti akan beres.

Masalahnya...

"Jangan. Niar belum bisa mandi sendiri," sahut Haris.

Hasan menoleh ke belakang. Senyum predatornya lebar dan sudah ganas.

"Haha.. oke, Yah," ujar Hasan sok imut.

Sebagai gantinya, pemuda itu membantu Haris memakai pakaian. Atau, lebih tepat dibilang: memaksa Haris untuk mau dipakaikan baju olehnya.

Selesai memandikan Niar, hidung Haris menangkap aroma lezat yang memenuhi ruangan. Duda itu tertawa saat perut anaknya berbunyi tanda setuju.

Sambil bergandengan tangan, Haris menuju dapur merangkap ruang makan.

"Sepertinya lezat," komentarnya sambil mengambil piring dan nasi.

Hasan bergumam. "Hmm, cuma sosis goreng dan sup tomat. Apa ada yang mau telur?"

"Tidak, terima kasih," jawab Haris sambil menggeleng.

Haris tidak terlalu kesulitan membujuk Niar makan. Meski dia yakin bocah itu belum pernah makan sup tomat sebelumnya, wortel bentuk bunga dan baso bentuk matahari membuat Niar bersemangat makan.

Kedua lelaki itu saling bertukar senyum melihat Niar yang antusias dengan isi piring di hadapannya.

.

Selesai makan, Haris mencuci piring. Hasan membungkus makanan lebih jadi bekal makan siang mereka bertiga.

"Apa Bapak tidak apa?" tanya Hasan sambil meletakkan panci terakhir di tumpukan piring kotor. "Mau ijin cuti?"

"Ini bukan masalah besar," sahut Haris. Dirinya malu mengambil cuti hanya karena perutnya sedikit kram dan kakinya lemas.

Untungnya hari ini hari Sabtu, jadi mereka hanya perlu masuk setengah hari. Suasana juga biasanya lebih ceria dengan libur akhir pekan di depan mata.

Saat naik ke dalam mobil, Haris teringat sesuatu.

"Hasan, motormu yang mega-fro itu ada dimana?" tanya Haris.

"Saya titipkan ke teman. Sekarang lebih sering kemana-mana naik mobil." Hasan lalu melirik ke wajah atasannya lewat spion, sebelum keluar perlahan dari tempat parkir.

Haris tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu. Namun dari mimik mukanya, Hasan menduga pria itu pasti sedang memikirkan sesuatu. Hasan hanya berharap bukan sesuatu yang setara dengan 'menghemat uang sabun'.

.

Kata-kata Hasan tentang mengambil cuti terdengar menggoda bagi Haris saat itu. Padahal dia hanya berjalan sebentar dari parkiran mobil dan kini sedang berdiri menunggu lift bersama karyawan lain. Tapi rasa nyeri di perutnya membuat Haris membayangkan enaknya bergelung di kasur dengan secangkir coklat panas.

"Mari, Pak," panggil Hasan sambil menarik lengannya.

Di dalam lift yang penuh, Haris bergeser mendekati Hasan. Dia lalu menyandarkan pundaknya di tubuh Hasan yang lebih tinggi dan kokoh.

Lift berjalan lambat dengan berhenti di setiap lantai sebelum pintunya kembali terbuka di lantai 7.

"Saya membawa anti nyeri kalau Pak Haris mau." Hasan terlihat cemas akan keadaannya.

Haris mengangguk pelan. Dia malu mengakuinya, tapi setidaknya hanya Hasan yang tahu kenapa dia butuh obat itu. "Tolong air hangat sekalian. Terima kasih."

Duda itu bergerak dengan kaku menuju mejanya, dan menghela nafas lega saat akhirnya bisa duduk kembali. Dia tersenyum saat Hasan meletakkan obat dan segelas air hangat di mejanya. Haris meminum obat itu sambil menunggu layar komputernya menyala.

Beberapa saat kemudian, karyawan seruangan dengannya mulai muncul satu per satu dan memberi salam.

"Bagaimana? Nanti jadi?" tanya Budi ke Nisa.

"Mungkin. Gimana, Ik?" tanya Nisa ke Ika.

"Sepertinya iya," jawab Ika sambil menoleh ke Hasan. "Nanti bisa?"

"Kayaknya. Mau langsung atau pulang dulu?" Hasan balik bertanya.

Haris mau tak mau ikut memperhatikan pembicaraan mereka. Sepertinya sedang janjian berkumpul di suatu tempat. Mungkin nongkrong bareng, mumpung malam minggu.

"Pulang nanti aku mampir ke tempat lain," ujar Hasan sambil melirik ke arah Haris.

Meski sedikit dongkol karena tidak diajak acara kumpul-kumpul mereka, Haris hanya tersenyum saat Hasan melirik ke arahnya. Tapi kalau dipikir lagi, dirinya sudah berumur dan pasti akan mengajak Niar. Ya sudahlah, biar yang muda yang bersenang-senang dengan sepantaran mereka. 

"Kalian telepon saja kalau sudah dekat," ujar Hasan sambil memalingkan wajahnya dari atasan mereka.

Seseorang mengetuk pintu sebelum masuk. Wajahnya familier bagi mereka.

"Permisi, Pak Haris. Pak Bangun mencari Bapak, beliau menunggu di ruangan," ujar Anggi, sekretaris direktur mereka yang cantik dan bertubuh mirip model.

"Baik. Aku akan segera kesana," jawab Haris.

Anggi mengangguk lagi sebelum keluar ruangan.

"Apa ada yang mau ditanyakan mumpung saya masih disini?" tanya Haris pada seisi ruangan. Mereka menggeleng sehingga Haris berkata, "Kalau ada apa-apa, bisa chat ke hp."

Haris menahan untuk tidak mendesah saat berdiri. Dia memasukkan ponsel ke kantong celana lalu berjalan ke arah lift.

Anggi kembali berdiri membukakan pintu dan mempersilahkan duda itu masuk.

"Pak Haris, selamat pagi," sapa Pak Bangun yang sedang duduk di balik meja dengan tulisan jabatan dan namanya.

"Selamat pagi, Pak. Pak Bangun memanggil saya?"

"Iya. Saya dengar kalau perencanaan pembiayaan untuk produksi bulan depan sudah dibuat?"

"Kalau itu, Pak Bangun silahkan tanya ke bagian anggaran, mereka sudah selesai atau belum," jawab Haris.

"Kok bisa?" nada direktur yang sedikit lebih senior dari Haris itu meninggi. "Katanya kemarin kamu rapat dengan bagian produksi dan promosi?"

Haris menahan agar wajahnya tetap netral, tidak menunjukkan emosi apapun. "Rapat dengan bagian penjualan, produksi dan gudang, Pak," ralat pria itu.

"Intinya, kalau sudah dirapatkan, harusnya sudah ada laporannya sekarang," pak Bangun bersikeras. "Makanya saya tidak suka kalau yang jadi kepala departemen usianya masih muda. Mereka kira bisa main-main dan bermalas-malasan seenaknya."

"Kalau kerja harus selalu diawasi. Pengawasan longgar sedikit saja sudah tidak tahu kesalahan apa yang dibuat," omel direktur itu tidak pada tempatnya. "Biasanya kita juga selalu dapat tender besar-besar. Tapi sekarang untuk tender kecil saja sudah susahnya minta ampun."

Duda itu menelan kata-kata yang sudah siap meluncur di tenggorokannya. Tidak ada gunanya berdebat dengan pak Bangun. Beberapa kali Haris mencoba memberi saran, malah mendapat hinaan dan teguran keras. Atasannya itu bahkan mengancam akan memotong gajinya.

Yang Haris inginkan hanyalah pria itu segera menyudahi omelannya, sehingga dia bisa segera kembali ke meja dan mengerjakan tugasnya.

Kaki Haris juga mulai terasa pegal.

..

Satu jam kemudian, Haris akhirnya bisa keluar dari ruangan pak Bangun.

Sambil mendengarkan direktur itu, Haris merasakan getaran di ponselnya. Kini dia bisa memeriksa pesan-pesan yang masuk.

Ada satu dari Nisa, melaporkan tentang berkas yang dia minta kemarin. Satu lagi pesan dari sekolah yang menarik minat Haris.

Dia harus secepatnya memutuskan kemana Niar akan bersekolah. Dengan begitu dia bisa membuat rencana membayar cicilan dan lainnya. Kata-kata Hasan kembali muncul di benaknya tentang mutu sekolah hanya sebagai salah satu pendukung masa depan yang cerah. Hasil akhir tetap bergantung sepenuhnya pada kemauan dan usaha anak gadisnya itu.

Sehingga dia sebagai orang tua harus lebih pro aktif dalam memahami kebutuhan anaknya. Haris ingin Niar tidak berkecil hati meski tumbuh tanpa kehadiran ibunya. Tetap bisa berbahagia dan berpikir positif dalam suasana apapun.

.

.