webnovel

“Seandainya,,”

🌺 Faza' Pov~

Jikalau seandainya Yuna dulu tidak pergi begitu saja, mungkin kita sekarang dalam hubungan baik-baik saja, bahkan kita akan bahagia bersama.

"kenapa dulu kamu pergi??" itulah yang ingin aku tanyakan saat ini padamu.

Menyesal memang, dulu aku seharusnya tidak lari dari kenyataan, dulu seharusnya aku pergi mencarimu dan menanyakan alasan mengapa kamu pergi begitu saja.

Kini di kala kita sudah temu setelah 4 tahun, aku bahkan belum mampu bertanya "apa yang membuatmu pergi tanpa pamit?" karena aku masih tak berani mendengar jawaban yang akan kamu berikan, betapa bodohnya aku dalam urusan cinta.

Selama 4 tahun terakhir, aku masih belum sanggup beralih kelain hati karena aku masih selalu merindukanmu setiap harinya. 'apakah kamu merasakan hal yang sama?' itulah pertanyaan yang sering timbul di kala aku merindu, dan ternyata kamu abaikan setiap rindu ini oleh jawaban atas sikapmu pada ku.

"Pagi kemarin mungkin aku masih merindukanmu, tapi untuk pagi kali ini akan ku pastikan rindu itu sudah tiada saat rinduku kemarin kamu abaikan" ucapku menjelang berangkat kerja.

Jadwalku hari ini mengunjungi pengadilan negeri, sebelum ke sana, aku membeli secangkir kopi terlebih dahulu di sebuah kafe yang dekat dengan pengadilan. di kafe ini aku melihat Yuna bersama dengan Tiara duduk mengobrol, tak ayal mereka pun melihatku. Bukan aku tak ingin menyapa, hanya saja aku terlanjur sudah memutuskan untuk tak berurusan lagi dengannya, sebagaimana dia yang ingin melupakanku.

"cappucino 1" pesanku kepada barista.

Selepas membeli itu, kemudian aku pergi tanpa mengatakan apapun, senyum pun tidak aku tunjukkan kepada mereka.

🌹 Yuna Pov~

Sebelum sampai ke pengadilan mengurus berkas kasus pelanggaran UU ITE kemarin yang telah dibatalkan pihak penggugat, Tiara memintaku untuk bertemu di kafe dekat pengadilan.

Tiara yang sudah tiba lebih dulu, menyuruhku untuk duduk menunggu. Kami berbincang-bincang membicarakan Wendy yang sudah bebas dari tuntutan ini dan merasa sangat lega sekali. Tak ku sangka, Faza' juga turut hadir di kafe ini, kami berdua melihat dia, begitupun dia yang menatapku. Tidak ada yang ingin aku ucapkan padanya, untuk menyapanya saja aku enggan. Tiara juga tak mengatakan apapun, dia hanya sebatas senyum padanya yang tak ia balas.

"capuccino 1" pesan Faza' kepada barista yang terdengar olehku.

Setelah ia medapatkan minuman itu, ia pergi tanpa permisi. Bertemu di sini dengan ku seperti bertemu dengan orang yang tak pernah aku kenal, ya seperti orang asing.

"kenapa dengan dia?" tanya Tiara yang kebingungan melihat tingkahnya

"gak tau!" balasku dengan meminum seteguk cofee yang sebelumnya sudah Tiara pesan.

"boleh aku tanya sesuatu?"

"apa?"

"aku penasaran, kenapa kamu belum menemukan pengganti dia? Kamu masih sayang dia??" tanya berturut-turut Tiara

"sebenarnya, dari semua yang hadir aku selalu mencoba menerimanya, tapi kenapa hatiku seakan menolak? Apakah ini karena trauma? Aku sendiri tidak tahu. Waktu itu, dia seakan yang terbaik dari yang baik, dia seakan yang paling aku sayang sampai-sampai aku jatuh terlalu dalam yang berujung aku masih belum mampu lupa tentangnya. Perlahan, aku belajar melupakan, tapi kenapa di saat aku mulai terbiasa tanpanya, tiba-tiba dia hadir?? Makin sakit hati ini ketika harus mengingat itu" jawabanku yang tak kuasa mengeluarkan semua uneg-uneg dalam hati.

"Seandainya dulu dia mengatakan dengan jujur yang sebenarnya terjadi, aku tak akan mengambil langkah sejauh ini. Seandainya dia pergi mencariku, seandainya dia tidak lari seperti seorang pecundang. Maka aku akan sanggup memaafkannya walau sebenarnya menyiksa" lanjutku.

"jika kamu trauma karena dikhianati, itu adalah hal yang wajar, karena itu berurusan dengan rasa percaya. Yang bisa memulihkannya hanyalah dia atau waktu. Kamu cukup membuka pintu, jika masih ingin dia. Selebihnya biar dia yang membuktikan" imbuh Tiara

Tiara melanjutkan "kamu cukup belajar berdamai dengan keadaan buruk yang telah berlalu, kemudian biarkan dia yang membuktikannya. Atau jika memang kamu rasa itu cukup, maka izinkan orang lain yang menyusun barisan huruf 'percaya' di hatimu itu kembali. Jangan terlalu menutup diri dan takut karena rasa trauma yang kamu buat".

🌺 Faza' Pov~

Hari di mana Yuna telah pergi tanpa pamit.

Hari itu, aku kembali ke rumah Yuna. Hanya saja tak dikawal ayah dan ibu seperti sehari sebelumnya. Aku kembali bukan untuk mengutuk atau mengacaukan rumahnya, aku datang hanya untuk memastikan apakah Yuna baik-baik saja atau tidak. Dengan membawa sekuntum mawar merah aku berani mengetuk pintu rumahnya. Saat itu suasananya benar-benar sepi, tidak ada orang yang membuka pintu rumahnya.

Tujuanku selanjutya adalah mendatangi Kedai milik ibu Yuna. Di kedai itu tak ada siapapun kecuali calon ibu mertua. Ia melihatku berdiri di depan kedai, kemudian aku masuk ke dalam kedainya. Dia menyambutku seperti biasanya dan kami duduk saling menghadap satu sama lain.

"Yuna masih belum pulang??" tanyaku kepada ibu Yuna

Dia seperti sedang salah tingkah, mungkin karena merasa tidak enak hati kepada ku. Lalu menjawab "belum".

Bunga yang sudah aku bawa sejak tadi, tak aku titipkan kepada ibu nya karena aku sendiri harus memberikan langsung kepada Yuna. Aku pamit kepada ibu nya dengan penuh kecewa yang mendalam.

"maafin ibu" terdengar suara ibu Yuna yang aku belakangi.

Rasa kecewa dalam hati, aku hilangkan sejenak. Aku membalikkan badan dengan wajah sedikit tersenyum "kenapa ibu minta maaf?? Aku tahu, pasti ada alasan tersendiri bagi Yuna. Dan,,, jangan khawatirkan aku, aku baik-baik aja. Kalau nanti Yuna pulang, jangan lupa kabari aku ya bu!" pintaku kepada ibu Yuna.

Semenjak hari itu sampai satu minggu setelahnya, kabar yang ku tunggu-tunggu tak kunjung datang, sedangkan aku sudah didesak ibu untuk pergi ke Bali. Tanpa sepengetahuanku, ternyata ibu mendaftarkan perkuliahan di sana alih-alih menghindari gosip yang sudah menyebar di penjuru kampus.

Seandainya saja aku tidak mendengar apa yang diperintahkan ibu waktu itu, bukan lari dari kenyataan dan Seandainya waktu bisa diputar, mungkin kini aku bisa memperbaiki keadaan tanpa sebuah penyesalan.

'Seandainya, seandainya dan seandainya' hanya kata itu yang bisa aku ucapkan saat ini.