webnovel

“PENGACARA (Pengangguran Banyak Acara)”

🍁 Dean Pov~

Bangun siang bagi seorang pengangguran itu sudah menjadi hal lumrah, bahkan itu sudah menjadi rutinitasku setiap hari. Sekeras apa pun aku mencoba untuk bangun pagi, perbuatan itu hanya akan berujung sia-sia. Sebagai contoh, alarm ponsel yang dipasang pukul 5 pagi, ketika alarm itu bersuara, aku akan bangun untuk mematikannya bahkan dalam mata terpejam, alarm jam sudah aku hiraukan sejak dahulu kala, bahkan yang lagi tren sekali pun yakni 'alarm ibu' aku abaikan. Tapi untuk kali ini berbeda, adikku mengetuk pintu kamarku yang berada di lantai 2 rumah.

"kak bangun!!" suara adik perempuanku satu-satunya yang sambil mengetuk pintu kamar.

Karena merasa berisik, aku menutup telinga dengan bantal dan menarik selimut putihku untuk menutupi semua bagian tubuhku.

"ibu, dia enggak mau bangun!!" teriak adikku kepada ibu yang terdengar di luar kamar.

Mungkin dia menyerah membangunkanku, karena sudah tidak terdengar suara apa pun. tiba-tiba saja. 'ceklek, ceklek' terdengar seseorang membuka pintu kamar yang terkunci. suara pintu terbuka, suara langkah kaki terasa sedang mendekat ke arah kasurku.

"ini anak!! suruh bangun pagi aja susah apalagi bangun rumah tangga" ucap ibu sambil membuka selimut yang menutupi bagian atas tubuhku.

"ibu kok malah jadi baper gini" responsku dalam benak.

ibu pergi menjauh dariku, sedangkan aku masih dalam keadaan mata terpejam dengan bantal yang menutupi wajah. Tak begitu lama, suara langkah kaki kembali datang mendekat. Orang itu memindahkan bantal yang ada di wajahku, kemudian 'gyurr' bunyi air yang ditumpahkan di wajahku, sekaligus membuatku bangun dari tidur.

"aragghhhh ibu!!" ucap kecewaku pada ibu yang sedang memegang gayung kosong, "bantalnya jadi ikut basah kan??" lanjutku yang membuat wajah ibu makin sangar, akhirnya aku paham arti dari 'The Power of emak'.

"gimana mau dapet kerja, suruh bangun pagi aja susahnya kebangetan. Cepet turun! Kita sarapan!!" ucapnya dengan nada marah namun di sana juga menyelipkan kata-kata peduli.

"iya.. iya!!"

"awas kalau tidur lagi, ibu siram pake air panas" ancam ibu padaku, kemudian keluar dari kamar dengan membawa gayung tadi.

Melihat emosi yang di keluarkan ibu, sebagai anak yang baik aku mematuhinya dan segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, serta bergegas turun menuju dapur untuk bergabung dengan ayah, ibu dan adik perempuanku yang bernama Diana.

Diana dan aku tidak terlalu akur, dia kadang bersikap kurang ajar (mungkin karena sedang dalam masa remaja), manja, kadang juga lucu. ahhh pokoknya kami berdua tuh kayak tom and jerry.

Yang berada di ruang makan, hanya ibu dan adikku saja. Namun, aku tetap bergabung dengan mereka. Memang tidak setiap hari aku sarapan dengan mereka karena bangun pagi saja jarang apalagi sarapan. Sarapan itu benar-benar penting untuk kita karena sarapan itu lebih nyata dari harapan. Wkwkwk apaan ya??

Terlihat hanya sebuah roti saja yang berada di atas meja, yang diolesi varian selai serta susu oleh ibu tercinta.

"ayah ke mana??"

"ayah tadi udah berangkat!!" jawab ibu tercinta

"Kamu abis ini anterin Diana ke sekolah ya!!" pinta ibu sambil menaruh roti di piringku.

"ihh gak mau. Kan ada pak sopir" pungkasku sembari mengambil roti di piring yang sudah diolesi selai oleh ibu.

"kan pak sopirnya udah berhenti!!" sahut Diana yang mulutnya dipenuhi dengan roti.

"dihh kapan? Kok aku gak tau!!"

"kemarin, istrinya lagi sakit jadi harus pulang dulu" ucap ibu yang kembali mengoles selai coklat di roti

"gimana mau tau, orang tiap hari kerjanya main, makan, main game, pacaran" yang kemudian menutup mulutnya dan lanjut bergumam "ehh lupa kan jomblo"

tuh kan!! dari ucapannya aja sudah bikin orang naik pitam.

"jadi aku harus anterin dia tiap hari gitu??" tanyaku pada ibu

"ya iya,, terus kamu maunya ibu yang anterin gitu??"

"gak mau ahh!!" rengekku pada ibu

"enggak papa kalau gak mau. Jangan pulang ke rumah ini lagi, ibu coret nama kamu di kartu keluarga" ancaman santai ibu

"ancaman macam apa itu??"

"terus aku jadi anak ibu dan ayah satu-satunya dong" sela girang adikku.

"jangan mimpi kamu yah! Kamu ada disini aja gak pernah diundang sama sekali" balasku pada Diana

"apa??" kesal Diana dengan ekspresi seperti mata yang akan keluar

"udah,, udah.. kalau kalian berantem, dua-duanya ibu coret dari kartu keluarga" ancam ibu untuk aku dan Diana, lalu ibu menyuruh "cepat makan rotinya!!"

Walaupun ancaman yang tidak masuk akal itu diucapkan oleh ibu serta tidak memungkinkan terjadi, tapi aku dan Diana tetap menghormatinya dengan tidak mengeluarkan kalimat apa pun. Seusai sarapan, aku pergi ke garasi untuk memanaskan mobil yang terparkir yang akan digunakan untuk mengantar Diana ke sekolahnya. Sekarang aku bukan lagi seorang pengangguran, melainkan menjadi seorang sopir gadis jelek ini.

Keadaan keluarga kami serba dalam berkecukupan berkat kerja keras yang dihasilkan ayah. dari hasil pekerjaanku selama satu tahun ke belakang menjadi Pengacara di salah satu firma hukum yang lumayan cukup memiliki 'nama', aku mampu membeli mobil ini yang tadinya akan kugunakan untuk bekerja.

Memakai kaos dan celana trening tidak apa-apa kali ya, lagian aku juga tidak akan turun dari mobil jadi tidak akan malu. Aku menunggu diana di depan rumah, tak lama Diana dan ibu datang. Diana berpamitan lebih dulu kepada ibu. Dia membuka pintu mobil dan duduk di kursi depan, kemudian ia memakai sabuk pengaman untuk menjaga keselamatan.

sejauh perjalanan yang sudah ditempuh, diana hanya mengeluarkan suara tawa. ku lihat dia sedang asyik memainkan ponsel pintar miliknya.

"ngapain sih de?? dari tadi ketawa-ketawa gak jelas" melihat ke arah Diana sambil tangan di setir mobil

"sikkeuro!!" jawab Diana dalam bahasa korea yang artinya berisik

"ngomong apa sih kamu??" serta melanjutkan praduga

"jangan bilang kamu lagi nonton...."

Sambung Diana "apa?? nonton apa??"... "jangan suudzon dulu kak. Lihat!!" sembari melihatkan layar ponsel ke Dean dan menyambung dengan "orang aku lagi liat oppa aku"

Percakapan kita terhenti karena mobil yang kita tumpangi sudah tiba di gerbang sekolahnya Diana. Terlihat dari luar mobil, begitu banyak anak sekolah yang baru tiba, ada banyak siswi yang berjalan menuju pintu gerbang, ada yang menggunakan sepeda, ada juga siswa yang datang dengan sepeda motornya. Kalau lihat mereka itu jadi ingat pas waktu masih sekolah dulu, benar-benar tidak ada beban sama sekali tidak seperti sekarang. Diana membuka sabuknya dan keluar dari mobil. Ia berjalan ke arah kanan dan dia berhenti tepat di pintu mobil dekatku, kemudian ia mengetuk kaca jendela pintu mobil, aku membuka kaca jendelanya sebagian saja.

"apa lagi??" tanya ketusku.

"nanti siang jangan lupa jemput aku!!" pinta Diana

"naik angkutan umum kan bisa de!! Ngapain harus dijemput segala sih de???"

"silakan aja kalau namanya mau dicoret dari kartu keluarga"

ikut-ikutan mengancamku

Terdengar dari kejauhan "hei???" yang memanggil Diana, orang itu menghampiri Diana dengan satu orang teman yang lain. Mungkin saja mereka adalah teman-teman Diana. teman Diana yang perawakannya tinggi kecil dengan memakai kacamata melihatku dengan wajah bingung.

"siapa dia??" tanya penasaran teman Diana yang perawakan tinggi kecil itu dan berkacamata.

"ohh, itu sopir barunya ibu" jawab Diana yang membuatku kesal, dan menyambung "tumben kalian datang pagi?"

"bukan kita nya yang pagi, tapi kamu nya aja yang kesiangan" jawab teman yang satunya lagi dengan perawakan yang hampir sama namun tidak memakai kacamata.

"ayo!!" ajak yang berkacamata.

Sebelum pergi ke kelasnya, Diana kembali memintaku untuk menjemput di kala jam pelajaran sudah habis. Dan mereka pun berjalan bersama memasuki gerbang sekolah, sedangkan aku segera meninggalkan sekolahan Diana serta On The Way pulang.

Setelah mengantar Diana, setibanya di rumah aku kembali melanjutkan tidurku di sofa tempat kumpul keluarga. Tiba-tiba datang panggilan telepon dari Heru teman sepanjang zaman yang membuatku terbangun. Dia memberitahu bahwa akan diadakan reuni SMA dan mengajakku untuk ikut serta berpartisipasi dalam acara tersebut.

"kalau ada waktu nanti aku datang!!" balasku via telepon dan kemudian menutup panggilan.

Sebenarnya bukan aku tidak mau datang, hanya saja setiap kali hadir aku merasa bosan. Selain tidak banyak gadis cantik, mereka akan membicarakan hal-hal yang tidak berfaedah dan hanya akan membuang-buang waktu, uang serta tenaga saja, selain itu mereka juga selalu membicarakan tentang pekerjaan yang jelas akan membuatku merasa tidak nyaman. Alasanku saat ini menganggur bukan karena tidak adanya pekerjaan, aku bisa saja ikut bergabung dengan perusahaan yang saat ini ayahku naungi dan bisa saja aku menjadi seorang penasihat hukum di perusahaan itu. tapi untuk saat ini, aku ingin menjadi seorang pengacara publik sama halnya dengan Yuna. Aku pernah mendaftar tahun lalu, tapi mungkin dewi fortuna belum memihakku dan lebih menyakitkannya, aku gagal di tahap akhir. Maka dari itu, sekarang aku mau mengambil kesempatan untuk tahun ini. memang benar saat ini profesiku sebagai pengacara namun bukan makna yang sebenarnya tetapi hanya sebatas pengangguran banyak acara walaupun di belakang namaku terdapat gelar hukum.

bunyi sepatu highheels datang mendekat, sudah kuduga itu suara sepatu yang ibu gunakan. terlihat ibu sudah stylish sekali dengan pakaian serta tas yang ia jinjing. ibu berdiri di depanku.

"ayo!!"

"ke mana??" tanyaku

"ke supermarket. Ibu mau beli bahan dapur"

"kan ada bibi, ngapain juga harus ibu yang beli?" rengekku

"ya udah, kamu belinya sama bibi aja. Tapi jangan pake mobil, pake motor aja ya!!"

Lagi dan lagi mengeluarkan jurus ampuhnya yang membuatku tak bisa berkutik lagi.

"iya, iya!!" pasrahku, disambung "tapi aku ganti baju dulu!!" Karena masih memakai celana trening dan sweter hitam lengkap dengan tudungnya serta sendal jepit.

"gak usah!! Kelamaan!! Udah pake yang ada aja!" balas ibu yang bersikukuh memintaku agar tidak mengganti pakaian.

Alhasil aku pun mengantarnya dengan berpakaian itu ke supermarket. gak adil, ibu-ibu bisa berpakaian modis sedangkan aku yang anak millenial malah pakai baju seadanya. Jujur sejujur-jujurnya, kalau bukan orang tua udah aku sleding dari tadi, tapi untung peran ia sebagai orang tua, jadi menghambat terjadinya proses penyeledingan.

Saat di supermarket pun, ibu menyuruhku mendorong troli serta mengikutinya dari belakang. Perasaan malu serta kesal sebenarnya sedang menyelimuti hati dan pikiranku. Karena malu itulah aku menggunakan tudung sweterku yang setidaknya tidak terlalu menampakkan wajahku.

"sabar Yan!! Jangan sampai kamu jadi anak durhaka Cuma gara-gara disuruh bawa ginian" ucapku tanpa terlontarkan dimulut sembari mendorong troli dan lanjut mengikuti ibu.

Satu persatu bahan makanan ibu masukan ke troli ini, dari mulai sayuran, daging yang telah dibungkus dan bahan dapur lainnya. Ponselku berdering, aku berhenti sekejap sedangkan ibu sudah melangkah sedikit jauh di depanku. Aku mengambilnya dari saku celana, pas dilihat dan dibaca panggilan itu dari Diana. Karena itu hanya panggilan yang jauh dari kata penting, tentu saja aku mengabaikannya. Jadi aku kembali mengikuti ibu. Tak lama, nada pesan masuk. Aku membacanya sambil berjalan mendorong troli tanpa melihat jalan, isi pesan itu 'jemput aku sekarang' yang dikirim oleh Diana, tiba- tiba...

'ptak' suara troliku yang bertabrakan dengan troli lain milik seseorang di depanku.

"maaf" ucapan spontanitasku

"enggak papa kok!!" sahut orang itu

begitu aku melihat orang itu, "waaww" ujar mulutku ini ketika ada seorang wanita cantik di depanku.

aku terus melihatnya tanpa berkedip (astagfirullah, padahal ini tuh perbuatan zina mata)

"kenapa??" tanya perempuan itu "ada apa di muka aku??" sambil meraba-raba wajahnya.

"heuh?? enggak ada apa-apa kok!!"

balasku sambil senyum kagum.

"terus kenapa liatnya kaya gitu??" sembari menunjuk ke wajahku

"abisnya kamu cantik!!" jawabku yang membuat wanita itu tersipu malu.

"namanya siapa??" lanjutku

"Hana"

"namanya cantik, sama kaya orangnya!!" pungkasku yang membuat ia tersenyum salah tingkah untuk kedua kalinya.

"Dean!!" panggil ibu dari jauh.

"iya Bu!!" sahutku..

"aku duluan ya!!" pamit Hana melanjutkan belanjanya dengan membawa troli.

Aku pun mendatangi ibu dengan membawa troli yang sudah hampir penuh diisi bahan-bahan dapur.

"sini biar ibu yang bawa!" ucap ibu yang menarik troli dari tanganku "sekarang kamu jemput Diana ke sekolahnya" lanjutnya

"terus ibu nanti pulangnya sama siapa??"

"ibu bisa naik angkutan umum" jawab ibu.

Daripada mendorong troli yang dipenuhi bahan dapur dan makanan lainnya, lebih baik aku menjemput Diana ke sekolahnya. Aku bergegas pergi ke parkiran dan melaju ke arah sekolah Diana menggunakan mobil. Mengingat kembali peristiwa tadi membuatku senyum sendiri, sayangnya aku tidak mendapatkan nomor ponsel Hana. Walau begitu, jika ditakdirkan untuk berjodoh cepat atau lambat pasti kami akan bertemu kembali. Tiba di sekolah Diana, sudah hampir 10 menit aku menunggunya namun masih belum datang juga. Terlihat dari kaca mobil, Diana baru saja keluar dari gerbang bersama dengan kedua temannya tadi. Mereka mendekat dan menaiki mobil yang ku bawa. Anehnya, mereka bertiga duduk di kursi belakang yang menandakan kalau aku benar-benar sopirnya Diana.

Aku melihat ke arah belakang melalui kaca, sambil menggelengkan kepala. Diana yang melihatku begitu, segera melontarkan ucapan.

"pak.. anterin kita ke toko buku yang ada di depan ya!!"

"wahhh" takjubku mendengar pinta adikku sembari mulai menyetir

"ganteng juga ya supir baru kamu!!" ceplos si teman berkacamata yang membuatku berganti ekspresi menjadi tersenyum kepedean.

"ganteng dari mananya?? Mukanya aja gak sebagus kuku nya Joong Ki oppa" pungkas Diana yang mematahkan senyumanku.

Hari yang lumayan panjang serta melelahkan pun telah kulalui. Matahari sudah membenamkan dirinya di langit barat, karena masih menunjuk pukul 8 yang belum terbilang larut, aku memainkan game play station sendirian di kamar, tak lupa juga ditemani camilan-camilan yang ibu beli di supermarket tadi. 'tok-tok-tok' bunyi suara pintu kamarku. Karena tidak dikunci, seseorang pun membukanya.

"ayah mau bicara sama kakak!!" ucap Diana yang berdiri dekat pintu dan segera meninggalkan kamarku.

paham apa yang diucapkan Diana, aku bergegas turun menuju ke ruang keluarga. Aku pikir akan ada hal serius yang mau ayah bicarakan denganku. Ayah dan ibu sudah menungguku di sana sembari menonton TV sedangkan Diana tiduran di karpet lantai dan membaca buku-buku pelajarannya. Aku pun ikut bergabung dan duduk di sofa.

"Dean, ayah khawatir sama kamu saat ini. usia kamu sekarang bukan hitungan belasan lagi" basa-basi ayah

"sebenarnya, ayah mau bicara apa??" To The Point ku

"daripada kamu hanya berdiam diri, lebih baik kamu ikut bekerja dengan ayah. Ayah tau, kamu bahkan tidak tertarik dengan apa yang ayah jalani, tapi ayah bicara begini untuk kebaikan kamu juga"

"aku akan urus itu. jadi ayah tidak perlu khawatir akan hal itu"

"bagaimana ayah tidak khawatir, di saat semua teman ayah membanggakan anaknya karena pekerjaan, terus apa yang harus ayah banggakan dari kamu??"

Mengatakan kalimat seperti itu sedikit membuatku tidak nyaman, aku menarik nafas lebih dulu.

"segitu malunya kah ayah melihatku seperti ini??" sahutku pada ayah

"bukan gitu, tapi setidaknya kamu harus punya kegiatan. Bukan hanya melakukan hal-hal yang tidak berguna"

"aku punya impian. Dan aku sedang berusaha untuk itu" jawab kecewaku pada ayah

Ibu sama sekali tidak membelaku karena mungkin di matanya sama saja seperti penilaian ayah maka dari itu ibu tidak mengatakan satu patah kata apa pun. Melihat orang tua yang bersikap seperti itu pada anaknya, jelas sekali membuatku merasa kecewa dan berpikir 'kadang ucapan orang tualah yang mematahkan semangat anaknya'. Aku memutuskan pergi di tengah pembicaraan kami.

"kamu mau ke mana? ayah kamu belum selesai bicara!!" tanya ibu yang aku khiraukan.

Jadi dengan pakaian seadanya, sama seperti dengan yang dikenakan ke supermarket tadi, aku memilih pergi dari rumah dengan berjalan kaki. yang aku bawa hanya sebuah ponsel saja. Aku pergi bukan untuk selamanya namun untuk sementara agar suasana di rumah tidak semakin memanas.

Berjalan dan terus berjalan sampai akhirnya tiba di depan rumah seseorang. Kemudian aku menelepon pemilik rumah itu.

"kamu lagi di mana??" tanyaku via ponsel

"di rumah. Kenapa??"

"bisa gak keluar sebentar? Sekarang aku lagi di depan rumah kamu" pintaku yang dilanjut dengan menutup panggilan telepon.

Sesuai inginku yang memintanya untuk keluar, ia pun datang menemuiku di depan rumahnya dengan pakaian seadanya juga yakni memakai kaos serta celana trening serta sandal jepit dengan rambut dikuncir dan wajah tanpa riasan sedikit pun namun tetap terlihat cantik.

Dikala situasi seperti ini dan pikiran sedang runyam menemui Yuna adalah solusi terbaik karena dia selalu menjadi pendengar yang baik, yang selalu menghibur walau tak pernah lucu, namun setidaknya dia membuatku merasa lebih nyaman.

"ada apa??" tanya dia

"enggak ada apa-apa" dengan wajah muram

"bilangnya enggak ada apa-apa, tapi ekspresinya kayak yang banyak apa-apa. bilang!!" duganya

"siapa yang bikin muka kamu tambah absurd kaya gini?? Bilang!!" lanjutnya dengan menyingsingkan bajunya.

"ayah aku" tanpa basa-basi

"ayah kamu??" tanyanya kembali

"euhh" mengangguk "ayahku"

"akan kutarik omonganku barusan, kalau beneran ayah kamu yang bikin muka anaknya tambah absurd gini" mengembalikan singsingan bajunya

"bilang aja gak berani!!"

'kurubuk' suara perutku yang meminta asupan gizi, spontan aku memegangnya "di rumah kamu ada makanan gak?? Aku lapar terus gak bawa uang"

"gak ada apa-apa. di rumah kamu kan banyak makanan!!" polos Yuna

"aku kabur dari rumah" pungkasku.

"berani-beraninya kabur dari rumah gak bawa uang sepeserpun" dengan ekspresi bibir dimanyun-manyunin yang ujungnya "ayo!!" ajak dia padaku.

Kami pun berjalan mengunjungi toserba dekat sini. Aku duduk menunggunya di depan toko, sedangkan Yuna membeli mie instan dan menyeduhnya disana. Setelah selesai dia membawa 2 buah mie, satu untukku dan satu lagi untuk dirinya. mie itu ia taruh di meja dan kitapun duduk berhadapan untuk makan. Disela makan, aku sedikit-sedikit membicarakan masalahku pada Yuna.

"emang salah yah jadi pengangguran??" tanyaku pada Yuna yang sedang menyeruput mie.

Yuna menelan mienya lebih dulu "nggak ada yang salah. Emang siapa sih di dunia ini yang belum pernah menjadi pengangguran?? Bahkan pengusaha yang punya brand ternama aja pernah" kemudian melanjutkan "itu yang ayah kamu bicarakan??"

"euhh" sederhanaku sambil memainkan mienya dengan garfu plastik.

"tapi kalau setiap harinya kamu Cuma makan, tidur, main game dan hanya sebatas melakukan itu. emangnya orang tua kamu gak kesel liat kamu?? Mereka hanya pengen liat anaknya melakukan kegiatan lain. Sekarang kamu bukan anak kecil yang harus diatur-atur lagi. Umur kamu udah banyak bahkan lebih banyak dari aku" tutupnya.

Omongan mereka sama saja, membuatku tersudutkan.

"kalo kamu gak mau denger mereka ngomong gitu, rubah pola hidup kamu. Walaupun kamu seorang pengangguran, tapi setidaknya kamu harus punya kesibukkan. Jangan Cuma tidur sampai matahari udah ada di tengah baru bangun" sambungnya yang kembali menyeruput mie.

Yuna mengunyah dan menelan mienya, lalu melanjutkan "lakukan apa yang kamu mau. Itu kuncinya!! Selama itu hal yang positif maka lakukanlah, jangan hanya sebatas main game aja"

"ahhh... dan juga nggak ada salahnya menganggur, aku juga pernah. Tapi jangan sampai impian kamu hilang gitu aja!. Rebut kembali impian kamu. Jangan hanya berdiam diri!! Selama kamu tidak mau berubah, maka tidak akan ada yang berubah"... "fighting!!" tutupnya menyemangatiku dengan mengepalkan tangan layaknya orang demo.

"sudah ku duga kamu yang terbaik!!" kembali menambah semangat

"cepet makan!! Jangan cuman dimainin karena dimainin itu rasanya gak enak" ungkap baper Yuna.

Kamipun menghabiskan mienya. Dengan perut kenyang rasanya enggan sekali menyingkir dari tempat duduk ini.

"besok temui aku jam 8 ya!!" pinta Yuna

"mau ngapain pagi-pagi??"

"baru 5 menit aku nasehatin kamu, bahkan ini ludah masih belum kering ehh udah kumat lagi" geleng-geleng kepala

Malam ini aku memutuskan untuk pulang ke rumah setelah menemui Yuna, hanya saja aku pulang agak larut agar tidak terpergok ayah dan ibu. Malu dong, udah merajuk tiba-tiba pulang ke rumah gitu aja, jadi sembunyi-sembunyi lebih baik dengan catatan asal jangan sembunyi-sembunyi ke rumah orang lain saja.

Langit gelap serta malam yang dingin berganti dengan cahaya matahari yang hangat. Seperti apa yang dikatakan Yuna, tidak akan ada yang berubah jika diri sendiri tidak mau untuk merubahnya. Spesial untuk pagi ini, aku keluar dari kamar dengan penampilan rapi yang sudah siap untuk melakukan aktivitas. ketika berjalan menuju ruang makan, terdengar

"Bangunin kakak kamu!! Siapa tau dia udah pulang!!" suruh ibu pada Diana

Namun aku memotongnya "nggak usah!! Aku udah bangun kok" dan duduk di kursi dekat Diana.

Tak hanya ibu dan Diana saja yang berada disana, namun ayah juga sudah hadir di sini.

"ayah!! Beri aku kesempatan!! Aku juga tidak mau menganggur, tapi saat ini... aku menunggu perekrutan pengacara publik" bukaku pada ayah

"oke... ayah beri kamu kesempatan. Tapi jika seandainya, ayah bilang seandainya kamu gak lulus lagi. Mau gak mau kamu ikut bekerja dengan ayah"

Karena dimulai dengan pembicaraan yang serius, suasana sarapanpun menjadi hening seketika. Melihat situasi canggung seperti ini, akhirnya ibu mulai buka suara.

"nanti siang, ayah sama ibu mau ke rumah nenek"

"emangnya nenek sakit apa??" tanya Diana

"nggak sakit, cuman karena udah lama gak kesana aja. Kalian mau ikut??" tanya ibu pada kami

"aku ikut. Tapi tunggu pulang sekolah dulu"

"kalau kamu??"

"aku hari ini ada janji. Tapi kalau waktunya masih memungkinkan, nanti aku nyusul" imbuhku pada ibu.

Berhubung ada ayah, jadi aku tidak mengantar Diana lagi ke sekolahnya. Rasanya tidak enak kalau datang telat ke rumah nenek, tapi di sisi lain aku juga tidak bisa membatalkan janji dengan Yuna karena yang dipegang laki-laki adalah janjinya. Sekalinya ada acara, waktunya malah berbenturan.

Karena sudah janji dengan Yuna dan sebentar lagi waktu menunjuk pukul 8. Akupun bergegas menuju tempat yang sudah dijanjikan dengan membawa mobil hitam milikku. Sampai disana, Yuna sudah duduk di kursi umum menungguku sembari membaca buku. Dengan fashionnya yang memakai baju dilengkapi jas dan celana katun yang warnanya tidak mencolok serta sepatu yang tidak kebanyakan wanita muda pakai yakni ber-hak tinggi dia terlihat anggun dengan fashionnya itu.

Aku berjalan menghampirinya kemudian berdiri di depannya. Dia menatap mataku.

"kamu nunggu lama ya??" tanyaku.

"nggak kok".

"kamu mau kopi hangat??" tawarku

"euhh" mengangguk

"tunggu bentar!! Aku beli dulu" pergi mencari cafe di sekitar sini.

Aku menemukan cafe yang menyediakan kopi hangat, aku masuk dan memesan 2 cangkir kopi susu hangat untuk dibawa.

"americanonya 1" suara perempuan yang berdiri dibelakangku.

"iya, tunggu sebentar ya!!" jawab barista dengan ramah kemudian pergi membuat pesanan.

Kepalaku menengok kebelakang untuk melihat orang itu.

"ohhh??" kagetku melihat perempuan itu sambil menunjuk

"kaya kenal. Tapi siapa ya?? sambungku mengingat-ngingat

Perempuan itu hanya membalas dengan senyum manis .

"ahhhh" mengingat sesuatu "kamu Hana kan??" tanyaku

"kamu kenal saya??" tanya balik Hana

"waktu itu kita ketemu di supermarket" mengingatkan

"ahhh iya" jawab singkatnya

"kamu tinggal di lingkungan sini??"

"nggak, kebetulan hanya lewat saja"

Melihat id card yang dikalungkan di lehernya spontan aku bertanya "ahh.. kamu kerja di Griya Group??"

"iya!!" sambung "tapi, aku belum tau nama kamu. Siapa nama kamu??"

"Dean"

"ahh" pungkasnya

Barista itu datang dengan membawa 3 cangkir "ini kopi susu hangat nya" memberikan padaku "dan ini americanonya" memberikan pada Hana.

Aku membuka dompet dan mengambil kartu kredit serta memberikan pada Barista itu "sekalian sama americanonya juga"

Barista itu mengambil kartu kreditku "iya"

"nggak usah!! Biar aku yang bayar" sambil membuka dompetnya

Namun barista itu diam melihat kami dan belum menggesek kartunya.

"nggak papa, lagian harganya juga gak mahal ini!!" imbuhku pada Hana dan melanjutkan "silakan pakai kartu itu aja" kepada barista.

Barista itu pun menggesek kartu kredit milikku, dan mengembalikan kembali padaku "terima kasih" ramahnya pada kami yang hanya dibalas senyum saja.

"makasih ya!!" kemudian mengambil sesuatu di tasnya "ahh, ini!!!" memberikan sebuah kartu kecil padaku dan akupun menerimanya, ia melanjutkan "itu kartu nama aku, disana juga tertulis nomor ponselku. Lain kali aku ganti traktirannya" sembari senyum manis "kalau gitu, aku duluan ya" tutupnya pergi meninggalkanku.

Padahal tidak ada niatan sama sekali biar bisa dapat nomor ponselnya, mungkin rezeki hari ini sedang berpihak padaku. Yang aku katakan sebelumnya itu benar adanya, dia terlihat sangat cantik di mataku. mata tajamnya, hidung mancungnya, alisnya yang tidak diukir-ukir seperti kebanyakan perempuan lainnya, bibirnya yang tipis dengan warna yang terlihat natural sekali menjadi nilai tambah untuk kecantikannya yang bahkan mengalahkan miss world. Ini bukan hiperbola namun nyatanya benar-benar menyegarkan mata. Yang aku suka dari dia adalah sikap sederhananya, walaupun memiliki paras yang cantik dia sama sekali tidak menyombongkan itu. aku membawa kopi itu dan kembali menemui Yuna yang sudah menunggu dengan wajah kegirangan dan sangat bersemangat.

"kamu kenapa?? Udah kaya orang gila aja senyum-senyum sendiri"

"nggak papa" sembari senyum "ini kopi hangatnya!!" memberikan satu cangkir kepada Yuna.

Aku duduk di kursi itu dan meminum kopinya, namun Yuna mengatakan "ayo!!" sambil berdiri

"mau kemana?? Baru aja aku duduk" ungkapku

"mana kunci mobilnya!! Biar aku aja yang nyetir" pintanya dan aku kasih kunci itu.

Yuna pergi menuju parkiran mobil sedangkan aku masih duduk menunggunya disini. Karena tempat duduk ini berada pinggiran trotoar serta mengarah ke jalan raya, Yuna pun memberhentikan mobil di jalan tepat depanku. Akupun segera menuju mobil dan masuk dengan membawa secangkir kopi yang ku beli tadi. Untuk kali pertamanya Yuna membawa mobil yang kutumpangi.

"aku gak tau kamu bisa nyetir!!"

"emang harus ya aku umumin ke semua orang kalau aku bisa nyetir" responnya sambil fokus menyetir

"udah punya SIM belum??"

"hari gini nyetir tanpa SIM, emang masih zaman??" tanya baliknya yang artinya dia sudah memiliki Surat Izin Mengemudi

"kamu mau bawa aku kemana??" tanyaku yang tidak mendengar balasan apapun.

Sekitar 15 menitan dia menyetir, akhirnya dia memarkirkan mobil di sebuah tempat yang cukup luas namun bukan tempat parkir bawah tanah yang sering aku lakukan. Kami turun dari mobil itu dan berjalan ke arah pemukiman yang bisa dibilang kumuh. Dia terus berjalan dan aku mengikutinya dari belakang. 'tap' bunyi sepatunya yang berhenti melangkah.

"kamu ngapain sih bawa aku ke sini??" tanya penasaranku yang kembali tidak mendapatkan jawaban.

Aku melihat matanya, namun mata dia fokus melihat hal lain.

"kamu liat apa sihh??" tanyaku sembari melihat arah yang dia fokuskan.

Ternyata dia memandangi sepasang anak kecil yang berpenampilan kucel sedang bermain tanah di depan rumah.

"kak,, teman-teman aku semuanya bilang kalau ayah itu pembunuh. Makanya mereka gak mau main sama aku".. "ayah emangnya ngebunuh siapa kak??" tanya polos si anak perempuan itu.

"siapa yang bilang gitu?? Nanti kakak pukul orangnya" ujar si anak laki-laki

Aku tidak tahu ada hubungan apa antara Yuna dengan kedua anak itu tapi daripada hanya memandanginya dari kejauhan saja, aku menarik tangan kanan Yuna untuk menghampiri mereka berdua.

"lepasin!!" memukul tanganku dengan tangan kirinya

"aku gak tau mereka siapa, yang jelas kita udah jauh-jauh datang kesini tapi Cuma bisa liat dari jauh aja" aku tetap menarik tangannya dan berhenti di depan mereka berdua. Merekapun berdiri dan melihat kita. Anak laki-laki itu berdiri di depan adiknya yang seolah sedang melindunginya dari orang yang tak dikenal.

"siapa kalian??" tanya anak laki-laki itu.

Mendengar begitu, Yuna mengambil posisi jongkok agar terlihat sebanding dengan anak-anak itu.

"ibu kalian kemana??" tanya halus Yuna

"ibu lagi kerja" jawab anak perempuannya dengan sedikit menongolkan kepala dari punggung kakaknya.

"kalian gak perlu takut sama kita" ungkapku gereget melihat tingkah mereka

"iya,, kita bukan orang jahat!!" pungkas Yuna, "kenalin!! Kakak yang akan membebaskan ayah kalian. Dan ini temen kakak!! Sambungnya memperkenalkan diri.

"beneran??" tanya tak percaya anak laki-laki itu

"beneranlah!! Masa iya orang ganteng gini disamain sama penjahat" jawabku pada anak itu yang membuat Yuna memukul kakiku.

"kalian belum makan kan??" tanya halus Yuna pada mereka berdua

"belum" jawaban anak laki-laki itu

"ayo!! nanti Kakak belikan makanan enak"

"kalau liat di tv, biasanya orang gak dikenal tiba-tiba ngajak makan ujungnya mau menculik" pungkas polos adiknya

"gininih kalau anak kecil udah dicekok sinetron" gumamku yang membuat Yuna kembali memukul kakiku.

"kita makan nanti saja kalau ibu udah pulang" jawab si kakak

"kalian percaya sama kakak!! Kita ini gak ada niatan untuk menyakiti kalian" ungkap Yuna yang belum menyerah

"gimana caranya aku tau kalian orang baik-baik??" tanya kembali si kakak

"wahh" membuatku takjub sekaligus kesal. "ayo!! Kita pulang aja!!" ajakku pada Yuna namun Yuna justru memberikan kartu namanya.

"ini kartu nama kakak!! Kamu bisa baca, kakak ini seorang pengacara publik. Gimana mungkin kakak yang paham hukum ini berani menculik kalian"

Setelah Yuna memperlihatkan kartu namanya, akhirnya kedua anak itu menyerah dan mau ikut bersama kami. Melihat betapa kukuhnya mereka membuatku menyerah, berbeda dengan Yuna yang bersikap sabar menghadapi kedua anak itu. Yuna membawa kami ke sebuah restoran. Tiba di restoran ini, membuat kedua anak itu melongo. Kami memilih tempat duduk yang kursinya tersedia untuk 4 orang.

"pilih yang mau kalian makan!!"

Anak itu memilih makanan ini itu, mungkin karena untuk pertama kalinya makan di restoran makanya sangat antusias seperti itu.

"jangan banyak-banyak. Nanti gak kemakan semua" pungkasku kepada mereka

"gak papa" kata Yuna "kamu gak milih??" tanyanya padaku

"nggak. Lagian yang mereka pesan juga gak akan abis" ungkapku

Setelah makanan itu tersedia, dengan lahap mereka langsung menyantapnya sampai ke titik penghabisan sedangkan aku dan Yuna hanya memerhatikan mereka makan saja.

"wahhh" takjubku melihat mereka makan dengan lahapnya serta menghabiskan semua pesanan yang segitu banyaknya.

"gak nyangka perut sekecil itu bisa menampung segitu banyaknya" lanjutku.

"kalian mau nambah lagi??" tanya Yuna

"Aku mau es krim" jawab si adik perempuan

Dari sekian banyak makanan yang dimakan, mereka masih ingin jajan es krim. Benar-benar membuatku menggelengkan kepala, mereka memang luar biasa.

"ahh,, pilih makanan buat ibu kalian nanti" suruh Yuna.

Mereka memilih makanan itu untuk diberikan kepada ibunya nanti. Terlihat senyum terpancar dari wajah Yuna. Tak hanya sampai di situ, Yuna membawa mereka ke sebuah Toserba. Sedangkan aku menunggu mereka di mobil. Terlihat Kedua anak itu memilih berbagai snack makanan, alhasil mereka keluar dengan membawa 3 kantung plastik yang isinya makanan ringan semua. Setelah itu, kami mengantar kembali ke rumahnya. Tanpa lupa, mereka berterima kasih kepada kita yang telah memberikan makanan.

Akupun mengantar Yuna pulang ke rumahnya, saat berada di mobil menuju arah rumah Yuna.Sembari menyetir "kamu terlalu baik sama mereka" imbuhku.

"yang aku lakukan gak ada apa-apanya dibanding mereka yang melakukannya setiap hari" respon santainya "aku berpikir. Gimana kalau aku yang seperti mereka?? Apakah akan ada orang yang akan peduli sama aku??.. daripada melakukan hal yang gak berguna, alangkah baiknya kita menolong orang yang membutuhkan. Makasih, berkatmu aku bisa membantu mereka walau gak seberapa" jawabnya dan menutup "dan makasih juga udah mau nemenin aku".

Tiba di depan gang rumah Yuna. Dia keluar dari mobil sedangkan aku masih duduk di kursi sopir, aku hanya membuka kaca jendela kiri saja untuk melihat Yuna.

"makasih untuk hari ini" ucap Yuna berpamitan padaku.

"euh" tutupku sembari senyum

Aku menyetir kembali untuk pulang ke rumah, tiba-tiba ada panggilan masuk dari ayah terlihat dari ponsel yang aku taruh di depan. Karena untuk menjaga keselamatan, aku menghubungkan secara otomatis dengan mobilku jadi tidak perlu memegang ponsel dan secara tidak langsung membuatku tetap fokus menyetir.

"iya yah ada apa??"

"assalamualaikum Yan??" suara perempuan

"waalaikumsalam. Ahh nenek??"

"mana cucu nenek yang katanya mau nyusul??" sinis nenek

"maaf nek, Dean kira urusannya gak akan lama. Ini aja masih belum pulang" jelasku pada nenek

"iya da apa atuh, nenek mah cuman butiran micin, gak penting buat kamu mah" canda nenek zaman now

"hehehe" tawaku yang mendengar ucapannya, "nanti aku ke rumah nenek kok"

"janji ya!! nenek tunggu" tutupnya di telepon.

Ada-ada aja kelakuan nenek zaman sekarang. Sebenarnya rumah nenek gak terlalu jauh karena masih bisa di jangkau dengan kendaraan mobil, karena kesibukan juga jadinya sudah jarang sekali aku datang mengunjunginya.

Next chapter