webnovel

It's start

Jane sedang mengantarkan anaknya ke sekolah sebagai rutinitas pagi yang wajib dilakukan, dia memeluk dan hendak mengecup kening Nicholas sebelum anak itu masuk ke kelasnya, Nicholas lalu menepis tangan Jane yang hendak mengusap kepalanya.

"Aku bukan bocah. Aku tidak memerlukan kecupan dan usapan lembut darimu lagi, berhenti berpura-pura kalau kau peduli," kata Nicholas kurang ajar.

Hati Ibu mana yang tidak sakit hati ketika anaknya berkata demikian? Jane tertunduk, ingin memaklumi, namun rasanya sulit sekali. Air mata yang terkumpul seolah tidak ada habisnya, Jane nyaris menangis, tetapi, wanita itu segera tegar dan menatap lembut Nicholas.

Dia meremas pelan bahu Nicholas, tapi, lagi-lagi anak itu menyentak tangan sang Ibu. Sejurus kemudian, Nicholas pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun dari mulutnya.

Jane tidak bisa membayangkan betapa kesepiannya Nicholas, sang Ayah yang jarang sekali pulang. Dan di sekolah ini, Nicholas tak punya teman maupun sahabat, akibat sifat Nicholas yang terlalu pendiam. Jane yang selalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter hingga terkesan selalu mengabaikan Nicholas.

Perempuan dengan satu kuncir rambut itu kemudian berjalan menuju ruang guru, perlahan Jane membuka pintu dan menemukan banyak pasang mata yang menatapnya. Dia lalu tersenyum kepada semua orang dan langsung berjalan menghampiri wali kelas Nicholas yang sedang duduk di dekat jendela sambil menikmati secangkir kopi.

"Permisi, bu, saya ingin membicarakan tentang—" ucapan Jane terpotong.

"Oke, silahkan duduk di sana dan tunggu sebentar," jawab Sashen jutek, Jane lantas mengangguk dan berjalan menuju sebuah sofa lalu duduk.

Jane menunggu cukup lama, meskipun guru itu memang terlihat seperti sedang mengulur waktu. Untuk mengalihkan kebosanannya, Jane sengaja melihat-lihat majalah yang ada di atas meja, Jane kemudian mengambil sebuah koran yang memuat tentang penyakit aneh yang menyebar di daerah pinggiran kota.

Tanggal koran itu adalah kemarin lusa, tepatnya pada tanggal 8 Juli 2021. Jane menekuk alis ketika melihat gambar beberapa orang yang berbaring lemah pada koran tersebut, lebih anehnya lagi, penyakit itu menyebabkan kulit si penderita melepuh total. Seperti bekas terbakar.

Perempuan itu lalu membuka lembaran selanjutnya yang lebih mencengangkan, bulu kuduknya seketika meremang saat memandang poto mayat-mayat yang disensor. Dalam artikel tersebut menyebutkan bahwa penyakit ini dinamakan virus 'D-21'. Jane kemudian membaca artikel itu dengan seksama:

Penyakit jenis baru yang ditemukan pertama kali di kota Stonburg ini membuat terror baru di masyarakat, sebab si penderita akan mengalami perubahan emosi dan suhu tubuh yang menurun drastis. Pada kasus baru yang ditemukan pada tanggal 1 Juli, Virus ini mengakibatkan kulit melepuh serta mengeluarkan darah, hingga serangan jantung.

Kini, para ilmuwan sedang meneliti dampak dari virus yang belum diketahui ini. Menurut Prof. Dr. Octwel Herskovits, penyakit yang disebut virus D-21 (Demolition virus) di sebabkan oleh suatu bahan kimia yang membuat kulit mengelupas. Saat ini, kasus yang menimpa kota Stonburg sedang di usut oleh pemerintah Aviatry.

Jane terkejut kala guru wanita itu tiba-tiba sudah duduk di sebrang dan sedang memanggilnya, Jane lalu menaruh koran itu kembali. Dia menatap wajah wanita itu dengan nanar, pikirannya masih larut dalam artikel tadi. Berarti saat ini kota Stonburg sedang diserang wabah? Kenapa beritanya tak sampai ke telinga Jane? atau setidaknya ada satu saluran TV yang meliput berita ini. Tapi, tak ada satupun yang menyinggung soal virus D-21 tersebut.

Sejurus kemudian, guru wanita berkacamata bulat itu angkat suara mengenai laporan Jane. "Dengar, Bu. Kami memang guru disini, tapi, kami tidak pernah mengajarkan para murid untuk merundung seseorang. Setelah kami survei pun, tidak ada yang mengaku pernah melakukan perundungan terhadap Nicholas, apalagi sampai memukulnya. Apa mungkin putra Ibu hanya mengarang cerita saja?" jelas Sashen panjang lebar, Jane lalu mengerutkan dahinya agak dongkol.

"Saya menunggu cukup lama disini, jika kalian para guru membutuhkan bukti, saya punya. Sudah beberapa hari saya mengajukan laporan ini, tapi, kalian malah terkesan mengabaikannya. Kalau pihak sekolah tidak mau lagi mengurus hal semacam ini, saya bisa melaporkannya ke Menteri Pendidikan dan Komisi Perlindungan Anak," ujar Jane, mendengar pengakuannya, para guru sontak menatap ke arah Jane secara intens.

Salah seorang guru kemudian menimpali ucapan Jane, dia mengatakan; "Kami bukan mengabaikan, tentu, kami juga butuh bukti. Apalagi ini menyangkut tentang anak kepala sekolah,"

"Baik anak kepala sekolah atau anak orang biasa pun, keadilan memang harus ditegakkan, pak," sahut Jane, tatapannya memandang tajam.

"Baik, tunjukkan buktinya, Bu. Tapi, kalau tidak ada bukti, kami tidak akan memproses kasus ini lagi." Sashen memandang Jane dengan tak suka.

Jane mengangguk kemudian merogoh tasnya untuk mengambil ponsel, namun, tiba-tiba benda itu menghilang entah kemana. Dia celingukan ke kanan ke kiri, lantas meraba sofa, siapa tau terjatuh.

Jane berdiri, masih sibuk mencari ponselnya. Guru wanita tadi pun kembali angkat suara setelah sekian menit Jane menggeledah tas juga meraba-raba sofa, "Jika tidak ada, silakan keluar, bu, sebentar lagi kelas akan di mulai."

Jane menoleh, dia masih ingin membela putranya, Nicholas. Tetapi, untuk saat ini, Jane terpojok. Dia tidak bisa membuktikan perundungan yang menimpa Nicholas. Jane lalu memutuskan untuk mencari ponselnya di mobil, "Saya akan kembali dengan buktinya ketika anak-anak beristirahat di jam sepuluh." ujar Jane.

"Bu, Anda pikir kami di gaji hanya untuk mendengarkan keluhan Anda terhadap anak kepala sekolah?!" sentak guru tersebut.

"Saya hanya ingin membuat anak saya merasa nyaman bersekolah disini!" Jane balas menyentak, ia terlanjur tersulut emosi.

"Kenyamanan anak adalah bagaimana suasana di rumah! Dan dukungan orang tua selalu menjadi poin yang utama, Bu. Jika anda merasa keberatan, silakan pindah sekolah!" Dia menggebrak meja cukup keras hingga membuat Jane terdiam.

Lalu, perempuan itu berdiri tegap dan menatap guru bernama Lusi itu dengan tajam. Jane merasa di hakimi oleh para pengajar di sekolah ini. Dia kemudian memutuskan untuk pergi meninggalkan ruang guru tanpa banyak bicara lagi.

"Sekolah favorit macam apa ini," gumam Jane sangat menyesal karena telah memasukkan Nicholas ke sekolah itu.

🍃🍃🍃

Jam istirahat datang lebih cepat, Nicholas kembali diseret lalu dilemparkan ke deretan meja hingga punggungnya sedikit memar akibat benturan dengan ujung meja. Bocah itu merundungnya lagi, Nicholas terlalu takut untuk membela diri.

Takut kalau ia melawan, karena bocah itu memiliki backing yang banyak. Mengingat Nicholas tidak memiliki teman. Nafasnya jadi tak beraturan, suhu tubuhnya menurun, rasa sakit yang menerjang perutnya menimbulkan mual parah. Nicholas lantas merunduk.

"Dasar, cepu!" mereka terus meneriaki Nicholas seperti itu, seolah sedang memojokkannya.

Posisi Nicholas duduk bersimpuh di depan mereka yang merundungnya, Nicholas bahkan tak berani menatap Billy. Sosok yang sering dibanggakan sekolah karena 'prestasinya' juga terkenal karna 'kesopanannya'.

Billy lalu meminta bocah lainnya untuk mengambilkannya seember air. "Ambilin air,"

"Siap, bos!"

Beberapa menit berselang, bocah itu kembali dengan ember berwarna hitam yang penuh dengan air. Tanpa belas kasihan, Billy menyiram tubuh Nicholas sampai basah kuyup dan membuat keadaan kelas menjadi kacau.

Nicholas tak tahan dengan bau busuk yang menyerang hidungnya, dia lalu menengadah, menatap Billy dan komplotannya. Di matanya terlihat jelas kebencian yang tertanam sangat jauh di lubuk hatinya, hanya perlu sebuah alasan untuk menarik semua emosi itu keluar.

Dan sekarang alasannya sudah sangat jelas.

Tanpa aba-aba, Nicholas menendang kaki Billy hingga bocah itu tersungkur ke lantai, semua temannya refleks berteriak, bahkan ada yang memasang taruhan di antara keributan yang terjadi. Mereka mencoba memisahkan Nicholas dan Billy, namun, liciknya Billy, dia membiarkan dirinya dipukuli oleh Nicholas.

Kali ini, Nicholas terlihat sangar marah dengan sorot mata tajam, dia terus memukul asal ke arah Billy. Padahal Billy nampak menahan semua pukulan itu menggunakan telapak tangannya, jadi ia tak benar-benar membiarkan Nicholas menang atas perkelahian ini.

Berita perkelahian ini cepat tersebar, bahkan ke telinga para guru. Guru yang sebelumnya mengobrol dengan Jane pun ikut turun tangan, namanya adalah Sashen.

Sashen dibantu dua keamanan sekolah berupaya untuk mencegah Nicholas yang tampak naik pitam, tak butuh waktu lama untuk Sashen menormalkan keadaan. Akibatnya, Nicholas harus dibawa ke ruang guru guna konseling.

Sebelum pergi meninggalkan kelas, Nicholas sempat melihat Billy menjulurkan lidah dan menyeringai padanya dengan wajah babak belur itu. Nicholas lalu mengeraskan rahang sambil menyorot tajam bocah gemuk tersebut.

🍃🍃🍃

Usai memarkirkan mobilnya, Jane berjalan memasuki sebuah rumah sakit yang terlihat penuh antrean. Bahkan, beberapa ambulans pun berjajar di parkiran. Jane mengerutkan dahi ketika melihat satu lagi ambulans yang datang, mobil itu berhenti tepat di depan Jane, lalu beberapa tenaga medis pun mencoba mengeluarkan seseorang yang terbaring di atas brankar. Mereka terlihat kesusahan.

Kondisi orang itu sangat mengerikan, kulitnya seperti terbakar, bahkan di beberapa bagian terlihat borok. Dia terus merintih kesakitan sambil di bawa masuk ke dalam rumah sakit.

Dengan refleks bercampur penasaran, Jane segera mengikuti pasien itu. Namun, langkahnya terhenti di lobi, ketika temannya memanggil. "Dokter Jane, kami butuh bantuanmu di kamar nomor tiga." ucapnya, tanpa basa-basi, Jane pun mengangguk dan segera mengikuti temannya itu ke sebuah ruangan.

Betapa terkejutnya ia, Jane melihat seisi kamar penuh dengan orang yang memiliki penyakit sama. "Sebelah sini, dok!" teriak salah seorang keluarga pasien.

"Tidak! Suamiku yang terlebih dulu sampai disini, tolong obati dia dulu... Dia sangat kesakitan!!" teriak wanita itu sambil menangis dan memohon di kaki Jane.

"Apa yang anda lakukan! Bukankah tidak sopan jika mengabaikan seorang pejabat yang sedang sakit disini?!" Wanita berambut pendek itu memarahi Jane yang tidak tau apa-apa.

Situasi tiba-tiba berubah ricuh karena keluarga pasien saling berdebat tentang siapa yang pantas di obati terlebih dulu. Jane terlihat seperti orang linglung dan pikirannya kosong, dia memandang seorang pasien yang mengerang kesakitan. Kemudian, Jane beralih menatap keributan yang ada di depannya.

Dalam satu tarikan nafas, Jane membentak supaya orang-orang itu diam, memang ini tindakan yang salah karena bisa menganggu kenyamanan pasien, namun apa daya, tenaga medis yang lain pun tidak bisa melerai keributan ini.

"DIAM! SAYA TIDAK AKAN MENGOBATI SIAPAPUN SAMPAI KALIAN DIAM!" teriak Jane, tetapi mereka sama sekali tidak menggubris Jane.

"Astaga, apa kalian tidak mendengarkan? Saya dokternya di sini!" geram Jane, Ully yang barusan mengajak Jane ke sini pun jadi merasa bersalah. Harusnya mereka bisa lebih tertib dan menunggu giliran.

Sehingga, wanita itu menjadi berang dan hendak menyerahkan tugas ini pada rekannya yang lain. Jane lantas pergi meninggalkan ruangan, dia berjalan menuju kantor Brian Osella.

"Tolong, semuanya diam!" Ully berusaha melerai pertikaian tersebut tanpa Jane.

Jane merasa sesak, akibat banyaknya pasien hari ini. Bahkan, Jane tidak menyadari bahwa mereka semua telah terjangkit virus D-21. Perempuan dengan jas warna putih itu berdiri di depan pintu dengan papan nama "Dr. Brian Osella", Jane perlahan memutar knop pintu, lalu mendorongnya perlahan.

"Dokter Brian?" panggil Jane, dia mengedarkan pandangan dan tidak menemukan keberadaan pria itu.

Jane berjalan pelan memasuki ruangan dengan influset water yang menyala itu. Jane melihat banyak barang yang tergeletak di lantai, apa terjadi sesuatu disini?

Wanita itu mengambil sebotol obat yang isinya sudah berhamburan ke lantai, "Dokter Brian?" panggil Jane sekali lagi.

BRUK! Suara dentuman itu membuat Jane terlonjak kaget dan refleks menjatuhkan botol obat tersebut, Jane kemudian menoleh dan menemukan pintu toilet terbuka. Sayup-sayup perempuan itu mendengar erangan dari dalam sana.

Jane lalu memberanikan diri untuk menengok ke dalam toilet, ritme jantungnya semakin cepat di setiap langkah yang ia ambil. "Dokter Brian, apakah anda ada di dalam?" tanya Jane gemetar.

"Dokter Brian?" tanya Jane, dia semakin mendekat ke toilet.

"Dokter?" Jane menelan ludah ketika tinggal satu langkah lagi menuju kamar mandi. Detak jantungnya semakin brutal, akibatnya nafas Jane menjadi ngos-ngosan.

"Dokter Brian ... " Jane mengintip ke dalam toilet, kemudian ia terlonjak kaget kala mendapati tubuh Brian tergeletak di lantai dengan mengenaskan, kulitnya seperti bekas terbakar, lalu tubuhnya nampak lebih kurus dari sebelumnya. Kedua bola matanya mengeluarkan darah, selain itu, Brian masih bernafas.

Lutut perempuan itu semakin gemetaran, Jane spontan memekik ketika Brian tiba-tiba berdiri dengan gerakan yang cepat dan menoleh dengan mata penuh darah. Sejurus kemudian, Jane mengambil langkah mundur. Sial, kaki wanita itu menginjak botol obat tadi dan terhenyak cukup keras.

"Ja-jangan mendekat!!" teriak Jane kalut.

Namun, makhluk itu tidak mendengarkan teriakan Jane dan terus berjalan terseok-seok sambil menggeram. Dalam kesempatan yang sangat sempit, Jane menoleh ke belakang dan spontan mengambil influset water yang ada di atas meja Brian, lalu melemparkannya ke depan.

Berpacu dengan waktu, Jane kemudian berdiri dan berlari keluar ruangan, dia spontan mengunci pintu dari luar. Jantungnya masih berdetak tak keruan, dadanya naik turun tidak beraturan. Hembusan nafas Jane terdengar lebih keras dari sebelumnya.

Jane tertunduk, masih berusaha menetralkan detak jantungnya. Gara-gara kejadian barusan, badan Jane tiba-tiba terasa lesu.

DUK! Jane tersentak saat makhluk itu mengetuk kaca pintu, tatkala Jane berbalik badan, mereka langsung berhadapan face to face. Jika saja tidak ada pintu, Jane tidak tau apa yang akan terjadi padanya.

"Astaga." Sepasang matanya mengerjap beberapa kali, Jane merasa syok berat.

Tak lama kemudian, ia mendengar suara teriakan parau dari lobi. Jane lalu berjalan tergesa-gesa untuk mencari tau apa yang sebenarnya terjadi, tetapi, belum juga mencapai lobi, perempuan itu sudah dicegat oleh para makhluk mengerikan yang keluar dari ruang rawat.

Erangan yang menggema membuat bulu kuduk Jane meremang, detak jantungnya kembali tak beraturan. Salah satu makhluk terlihat sedang memakan mayat seorang wanita berambut pendek yang tadi berteriak pada Jane.

Rasanya Jane ingin muntah, perutnya pun tiba-tiba mual saat melihat banyak bercak darah yang mengotori dinding dan lantai rumah sakit. Belum lagi bau amis yang memenuhi hidungnya. Padahal sebelumnya ia sering melihat darah dan mencium bau amis. Tapi untuk kasus yang ini, Jane angkat tangan.

Beberapa staff rumah sakit pun nampak tergeletak di lantai dengan kondisi mengenaskan, "Jane... tolong!" Suara itu membuat Jane menoleh, perempuan itu merangkak keluar dari ruangan nomor tiga dengan hanya separuh tubuh yang tersisa.

"Jane, tolong selamatkan aku." Ully menangis, ia meraung karena tak mau mati. Namun, Jane malah melangkah mundur, tangannya bergetar hebat.

Satu detik kemudian, zombie itu melompat ke atas tubuh Ully dan mulai menggigiti kulit lehernya sampai terkelupas.

Sial, Jane mematung di tempat ketika zombie itu menatap dan menjerit ke arahnya.

Dalam keadaan yang semakin tak keruan, Jane tiba-tiba di tarik mundur oleh seseorang. Dia terkejut, tapi sedetik kemudian, Jane berlari mengikuti langkah pria yang membawanya, meskipun Jane tidak bisa melihat wajah orang itu dengan pasti.