webnovel

Ke Mall

"Ke mall, dong. Ayolah. Entar sekalian kita makan di luar. Itung-itung kita honeymoon tipis-tipis."

"Honeymoon kok gak diapa-apain." Eh, aku keceplosan. Langsung kubekap mulutku dengan tangan kananku. Kurang ajar bener nih mulut.

"Kamu bilang apa, Freya?"

"Enggak. Barusan aku kesambet. Sorry," elakku sambil cengar-cengir.

"Mana ada setan kesurupan demit." Attaya mencebikkan bibirnya ke arahku. Yang cewek aku apa dia sih, sebenarnya?

Aku langsung mencubitinya lagi. Gemas aku. Namun kali ini, dia tidak mengelak sama sekali.

"Dah capek nyubitnya?" komentar Attaya, setelah melihatku menyandarkan kepalaku di bahunya.

Aku meringis malu. "Waktu pertama lihat kamu, kirain kamu tuh seangker kuburan."

"Kenapa bisa gitu?"

"Soalnya tiap kali ketemu wajahmu ditekuk tujuh belas, terus sikapmu kaku kek kanebo kering. Tampangmu sangar kek preman pasar kelaparan."

"Ternyata?"

"Mmm ... ternyata ya sama aja. Lebih parah malahan."

"Freya ...!"

Aku ngakak melihat Attaya cemberut. Mulutnya mencerucut kek bibir ikan, lucu sekali. "Enggak, bercanda, ah. Tadinya aku bener-bener ketakutan membayangkan tidur sekamar dengan orang asing, takut dikasarin, takut dijahatin. Ternyata mamamu santai, Bik Asih juga santai."

"Aku gimana?"

"Mmm ... kamu sejauh ini baik sih, entah kalau nanti. Gak nafsuan lagi."

Attaya spontan ngakak mendengar ulasan ngawurku. "Aku bukannya gak nafsuan, Non. Aku hanya berusaha mengendalikan diri. Sekarang sih, masih oke. Entah kalau nanti. Bisa aja kan aku khilaf, trus tergoda meng-unboxing kamu?"

Aku langsung terdiam. Untuk saat ini, memang sih belum ada rasa ingin disentuh Attaya apalagi mantap-mantap dengannya. Entah nanti, beberapa Mingggu kemudian. Aku gak munafik, aku kan dah umur 22. Kadang hasrat seperti itu muncul, apalagi kalau habis nonton film Hollywood yang ada adegan uwu-uwunya. Duh, kepala langsung senut-senut, pingin ngegantiin tokoh utama ceweknya. Halu itu indah. Hahaha ....

"Freya ...." Terdengar Attaya memanggilku.

"Apa?"

"Sabar ya, sementara ini kita jalanin dulu hubungan ini. Kita ikuti keinginan mamaku. Aku janji gak akan menyentuhmu, gak akan bikin rugi kamu baik secara mental atau materiil."

"Oke, baiklah. Kita teruskan acara manten-mantenan ini," jawabku asal-asalan.

"Ayo, katanya mau nge-mall. Niat gak sih sebenarnya?"

"Ya, ayo. Kamu malah nyender gitu kek ranting pohon yang dah sengkleh." Mendengar ucapan Attaya, aku langsung menarik kepalaku dari bahunya. Kami pun berjalan beriringan menuju kamar.

***

"Cepetan pilih!" perintah Attaya padaku, saat aku hanya bengong aja ngeliatin berbagai model baju yang terhampar di depanku.

Melihatku hanya diam mematung kek manequin buluk, Attaya bergegas menyeretku. Dia berinisiatif mengambilkan beberapa atasan untukku. "Segini muat, kan?"

Aku mengangguk mantap. Apalagi setelah kulihat size-nya ternyata M. Fix, pasti muat.

"Sepuluh biji dulu, ya. Kalau kurang, besok kita beli lagi." Wow, aku terpana. Aku yang notabene seumur-umur jarang banget beli baju, karena bajuku hanyalah pemberian dari malaikat-malaikat baik hati yang suka bersedekah ke panti. Biarpun lungsuran, tapi kan yang penting masih layak pakai. Mending-mending ada yang ngasih, kan?

"Yuk, kita cari bawahan buat kamu. Kamu suka celana pendek apa rok mini?" Attaya menggamit tanganku, menyeretku ke bagian celana pendek dan rok lucu-lucu.

"Ayo, cepetan dipilih!"

"Sepuluh biji juga?"

"Iya. Lebih juga boleh," jawab Attaya dengan santainya. Enak ya, jadi orang kaya. Beli apa aja gak perlu mikir berkali-kali. Gak kek aku, mo beli bra obralan lima puluh ribu dapet tiga aja mikirnya dah ngalahin presiden mikirin negara.

"Ini!" Aku menyerahkan celana pendek dan rok yang kupilih pada Attaya. Attaya segera menyerahkan barang-barang itu pada seorang pramuniaga cantik yang sedari tadi mengikuti kami.

"Kamu keringetan, tuh!" ujar Attaya, sambil mengusap butiran keringat yang mulai muncul di pelipisku. Aku tersipu, mendapat perlakuan manis dari Attaya. Ternyata, manis juga nih orang.

Tak berapa lama kemudian, Attaya sudah menyeretku lagi ke bagian underwear. Attaya cengar-cengir melihatku tertunduk malu. "Gak usah malu-malu kudanil kek gitu. Dah sana pilih, aku kan gak tau ukuranmu."

Pipiku semakin memerah. Sementara Mbak Pramuniaga yang tadi ikutan cengar-cengir melihatku yang salah tingkah. Ia langsung turun tangan membantuku memilih underwear yang di mataku nampak keren semua itu.

"Kamu pingin beli apalagi, Freya?" tanya Attaya, setelah aku selesai memilih underwear. "Beli kimono tidur, ya. Kamu pasti gak punya kan?"

Aku mengendikkan bahuku. "Terserah kamu deh, Atta."

"Kamu mau pilih yang panjang apa pendek?" Attaya menunjukkan berbagai model kimono tidur yang tergantung. Uh, cantik-cantik semuanya.

Aku langsung maju, kemudian memilih yang kusuka. Kupilih sepuluh biji lalu kuberikan pada Mbak Pramuniaga Cantik itu. "Nih, Mbak. Makasih, ya."

"Mbak pengantin baru, ya?" tanya Mbak Pramuniaga itu dengan suara lembut. Beneran lembut loh suaranya, gak kek suaraku yang cempreng kek kaleng kerupuk dipukulin.

"Iya, Mbak," jawabku malu-malu T-Rex.

"Yuk, kubantuin milih model." Mbak Pramuniaga itu tiba-tiba menyeretku ke bagian baju yang modelnya bikin aku melongo sejadi-jadinya. Attaya yang berjalan mengiringi kami, langsung cengar-cengir. Ia berkali-kali melirik dengan tatapan entah.

"Silakan dipilih, Mbak. Saya tinggal dulu, ya, barangkali Mbak-nya malu." Mbak Pramuniaga itu berlalu meninggalkan kami.

"Ayo, dong, dipilih." Attaya mulai menggodaku. Dia masih saja cengar-cengir kek orang gila.

"Aku gak mau pakai baju kayak gini, Atta."

"Kamu tahu ini namanya apaan?"

"Tahu. Lingerie, kan? Baju haram alias baju dinas malam."

"Tau apa kegunaannya?"

"Buat menggoda suami, kan?"

Attaya ngakak mendengar jawabanku. "Tuh dah pinter. Tahu dari mana kamu?"

"Dari grup literasi yang ada di sebuah sosmed. Kan member-nya kebanyakan ibu-ibu, tuh. Makanya jadi tau banyak."

"Pingin beli, gak?" tanya Attaya lagi.

"Buat apa, Atta? Mendingan telanjang aja sekalian."

"Pegang ya kata-katamu barusan!" Attaya langsung menowel pipiku.

"Kenapa emangnya?"

"Lah, siapa tau kelak aku pingin ngilafin kamu."

"Dih, omes kamu tuh. Ayo ke kasir. Bayarin semuanya. Habis itu beli ponsel." Kugandeng tangan Attaya, menuju kasir. Mbak Pramuniaga Cantik tadi kulihat lagi ngeberesin barang-barangku.

Mataku sontak melotot melihat deretan struk yang keluar dari mesin kasir. Apalagi pas melihat total belanjaannya. Aku mules seketika. Ya ampun, uang segitu bisa buat beli beras sama lauk untuk penghuni panti selama sebulan. Seketika aku merasa bersalah. Melihat mataku berkaca-kaca, Attaya mendekatiku dan bertanya, "Kamu kenapa kek mau nangis gitu? Terharu dengan kebaikanku, ya?"

Sontak kusikut perutnya dengan ganas. "Aku sedih, Dodol! Duit yang buat ngebayar baju-bajuku itu bisa buat makan anak-anak di panti selama sebulan, tau! Eh, aku malah tega buat belanja baju doang. Aku merasa berdosa pada mereka."

"Ya udah, besok kita berkunjung ke pantimu, ya. Kita bawain sembako sama jajanan buat mereka. Oke, ya?" ujar Attaya sambil mengusap-usap rambutku. Aku merasa terharu, duh, dahlah cakep, baik hati lagi. Nilai plus Attaya semakin bertambah di mataku.

"Makasih, ya. Kamu baik sekali, Atta." Kuraih jemari Attaya, kemudian kugenggam dengan hangat. Namun, sedetik setelah Attaya membisikkan sesuatu di telingaku, mataku sontak membola. Dasar otak mesum!