webnovel

BAB 8 : Di Tolak

Mata Zicola bergerak panik, nafasnya naik turun tidak beraturan. "Jika tangan cedera. Dia tidak bisa melukis."

Hatiku teremas, aku ingat bagaiama Yu pernah mengatakan ingin melukis saat kami makan bersama siang tadi.

Zicola selalu membanggakan tingkat kekampuan Yu dalam berseni.

Bagaimana dengannya sekarang?, aku harap dia segera pulih.

Aku tidak tahu mengapa aku harus memikirkan ini semua. Aku tidak mengerti mengapa aku peduli dan sedih melihat Yu terluka.

Ini bukan aku..

Ku lihat di balik pintu. Menatap Zicola yang membungkuk memeluk Yu yang terbaring di ranjang.

Besok adalah hari kelulusanku dan Zicola, tidak masalah jika aku menjaga Yu sementara Zicola pergi.

Aku tidak perlu datang, dengan begitu ayahku akan marah. Aku senang melihat dia marah dan membuat publik bertanya-tanya.

Tapi aku tidak akan berjanji untuk tidak berbuat macam-macam.

Harusnya Rebeca di tuntut, meski aku yakin Zicola tidak akan melakukannya karena ada ayah yang menjadi benteng pelindung jalang itu.

Jika Zicola diam, maka aku yang akan memberinya pelajaran..

***

Author Pov

"Pengiriman ke Moscow. Apa sudah sampai?" ucap Julian di balik telepon, tangannya yang terampil sibuk mengetik di keyboard laptopnya.

"Sudah tuan, berliannya akan di pamerkan besok malam" jawab Strom di seberang.

"Bagus. Tutup semua akses peminpin partai, aku tidak ingin di ganggu setelah hari kelulusanku besok."

"Baik tuan."

Julian segera menyelesaikan perbincangannya ketika melihat kemunculan Rebeca yang duduk di kursi seberang Julian.

"Jika kau tidak keberatan, malam ini aku ingin menginap disini. Thomas ada urusan dan tidak bisa membawaku" ucap Rebeca dengan lembut layaknya seorang ibu.

Julian tidak bergeming dan tidak menganggap keberadaan Rebeca.

Dengan tangan terkepal diam-diam Rebeca masih bertahan dengan senyuman palsunya, "Aku akan ikut ke Inggris untuk urusan kerajaan. Thomas memperkenalkan aku sebagai calon isterinya"

"Bagus, menikahlah. Maka aku akan mengusir kalian dari istana"

"Juls jaga sikapmu."

"Kau yang tidak perlu bersikap baik di depanku jalang."

"Juls. Berhentilah berfikir negatif tentangku" lirih Rebeca sedih, namun tidak dapat menggoyahkan hati Julian sama sekali.

"Aku tahu kau yang mendorong Yu" Julian menutup laptopnya dan menatap tajam Rebeca, wanita itu nampak pucat dan takut meski bibirnya tersenyum.

"Juls, kau menuduhku. Itu sangat keterlaluan" Rebeca mulai terisak menangis.

Julian hanya menguap dan mengedarkan pandangannya ke sekitar dapur, suara tangisan Rebeca ia anggap pelengkap suara hujan yang deras di malam itu. "Ah sial, jangan bicara padaku lagi. Aku alergi bicara dengan jalang sepertimu."

"Aku akan mengatakannya pada Thomas. Thomas harus tahu jika anaknya sangat kurang ajar"

Brak!

Julian menggebrak meja dengan kuat hingga Rebeca tercicit kaget dan tangisan palsunya langsung terhenti.

"Katakan saja. Aku akan menghabisi kalian berdua" tantang Julian dengan penuh tekanan. Julian mengambil laptopnya dan pergi meninggalkan Rebeca yang di buat kesal setengah mati.

Julian membanting laptopnya ke ranjang dengan kesal, nafasnya memburu menahan amarah.

Dia sama sekali tidak peduli dengan Thomas, perasaan kecewanya masih tertanam kuat di dalam hati Julian. Thomas tidak pernah ada untuknya dan ibunya, Emilia.

Kehadiran Rebeca semakin menambah noda kekecewaan Julian. Dia tidak akan pernah sudi jika Rebeca menggantikan kedudukan ibunya.

Andaikan saja wanita itu bukan Rebeca, Julian akan berfikir ulang untuk membencinya.

Suara isakan tangis mengganggu pendengaran Julian. Dengan tergesa-gesa Julian membuka jendela dan melompati pagar kamar Yura.

Di dapatinya Yura bersimpuh di lantai, menangis menahan rasa sakit yang mendera seluruh tubuhnya.

Julian berlari dan merengkuh tubuh mungil itu kedalam pelukannya, "Seharusnya kau di tempat tidur."

Yura masih terisak saat tubuhnya kembali di baringnya, "Terimakasih."

Tangan Julian terulur menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi wajah cantiknya, perasaan pedulinya kembali muncul setiap kali melihat setiap tetes air matanya yang terjatuh.

"Sakit?" Tanya Julian terdengar bodoh.

Yura mengangguk sedih, kelopak matanya basah dan memerah membuat Julian tidak tahan untuk semakin mendekat dan memeluknya agar Yura tenang.

"Rebeca pelakunya?" Tanya Julian lagi.

Yura mengangguk.

Rahang Julian mengeras, memang sejak awal dia yakin Rebeca pelakunya. Namun kebencian Julian yang paling membuatnya murka adalah Rebeca melempar kesalahannya kepada Jane.

Julian melepaskan pelukannya setelah menyadari sesuatu. "Barusan kau mau apa hingga turun ke lantai?"

Yura memalingkan wajahnya yang memerah seketika. Sebenarnya Yura ingin ke toilet, namun rasanya memalukan jika pria mesum dan gila seperti Julian mengetahuinya.

"Katakan saja" desak Julian dengan senyuman gelinya.

"Aku mau ke toilet" aku Yura tertunduk malu.

Tawa ledekan Julian memecah dan berhasil membuat Yura cemberut kesal. Dengan mudah Julian membopong Yura dan membawanya ke toilet dan mendudukannya di atas closet.

"Keluarlah" usir Yura tanpa terimakasih.

"Aku akan menunggu"

"Tidak perlu"

Dengan cemberut Julian langsung keluar dan menutup pintu, ia berdiri bersandar pada dinding melihat keluar jendela.

Samar-samar tendengar suara air di wastafel.

"Apa kau sudah selesai?" Tanya Julian sedikit keras.

Tidak ada jawaban..

"Apa kau butuh bantuan?" Tanya Julian lagi karena Yura terlalu lama di toilet.

Tidak ada jawaban...

"Buka saja pintunya, aku tidak akan memperkosamu."

Suara klik di pintu menampakan Yura yang berjalan tertatih-tatih menahan sakitnya, dengan sigap Julian membopongnya lagi dan membaringkan tubuhnya di ranjang.

***

Deras suara hujan berjatuhan membasahi atap mobil Julian, kegelapan malam sesekali berkilauan karena suara petir.

Mobil Julian berhenti di depan sebuah minimarket.

Seorang pria paruh baya duduk di kursi kasir, Julian melewatinya dengan tenang karena tidak ada siapapun yang di lihatnya selain penjaga kasir yang sibuk dengan komputernya.

Ada banyak kesenangan yang terlintas di benak Julian untuk mengisi kekosongan waktunya.

Julian mendorong troli dan mengambil barang-barang yang terlihat nyeleneh, ia mengambil sebuah buah panci, gunting dan lusinan gelas.

Julian mendorong belanjaannya menuju kasir, "Apa kau memiliki alat-alat perkakas?"

Pria yang sejak tadi sibuk dengan komputernya mendongkakan kepalanya, bibirnya terbuka dan menganga kaget melihat sosok pria di depannya.

"Kau..." gagapnya tidak mampu menyelesaikan kalimatnya, "Julian Giedon?"

Dengan senyuman sombongnya Julian mengangguk, "Anda menjual alat perkakas?."

"Tidak" jawab pria itu dengan cepat. Dengan tergesa-gesa dia mengambil barang belanjaan Julian dan menjumlahkannya, "Aku penggemarmu. Apa aku bisa mendapatkan tanda tanganmu?"

"Baiklah"

Dengan tangannya yang gemetar, pria tua itu memberikan sebuah buku keuangan pribadinya untuk Julian tanda tangangani.

"Aku Robert. Rumahku di bawah minimarket ini. Mungkin aku bisa memberikan alat yang kau butuhkan" tawar Robert antusias.

"Aku ingin melakukan penelitian" dusta Julian yang dengan mudahnya Robert percaya. "Aku perlu paku dan ball bearing"

"Aku akan mengambilnya"

***

Dalam perjalan pulang Julian di buat sibuk dengan mainannya. Mobil bergerak sendiri tanpa perlu di kemudikan, sementara Julian memutar tempat duduknnya dan membuka semua yang di bawanya.

Julian memasukan tumpukan gelas yang sudah pecah, paku, gunting dan lainnya.

Tidak lupa juga dia melepaskan jam tangannya yang mewah dan memasangkan kabel untuk di jadikan detonator pemicu sebuah ledakan.

Hujan sedikit mereda ketika Julian sampai di vila. Dengan tergesa-gesa Julian keluar mendekati mobil Rebeca dan medorongnya dengan susah payah untuk menjauh dari vila.

Kenakalan Julian tidak sampai disitu

Dengan kunci yang telah di curinya, Julian memindahkan semua barang-barangnya kedalam mobil Rebeca.

Sebuah kompor kecil sudah menyala di atas kursi kemudi, tidak lupa juga Julian meletakan pancinya dan menutup rapat membiarkan panci itu merasakan daya tariknya untuk segera meledak.

***

Julian melompat memasuki kamarnya, ia menanggalkan pakaiannya yang sudah basah kuyup, menggantinya dengan cepat dan segera mengambil segelas anggur untuk menemani pertunjukan yang sebentar lagi akan terjadi.

Yura perlu melihat permainannya yang epic. Fikir Julian.

Dalam satu lompatan jauh Julian sudah memasuki daerah kamar Yura, gadis itu tidak mengunci pintu jendelanya dan memudahkan Julian masuk.

Yura sudah tertidur di bawah selimut tebal yang menghangatkan tubuhnya.

Wajah cantiknya terlihat lebih tenang meski ada goresan lebam merah di rahangnya.

Julian mengurungkan niatnya untuk membangunkan Yura dan memilih segera keluar sebelum mobil meledak di luar perhitungan.

"Ray..."

Langskah Julian terhenti, ia berbalik dan melihat Yura bergerak gelisah di bawah selimut.

Langkah Julian kembali membawanya mendekati Yura.

"Ray.. " Panggil Yura terdengar Jelas.

Julian duduk di tepi ranjang dan mengusap wajah Yura dengan lembut, mengguncang bahunya. "Hey, bangunlah."

Yura terbangun dengan dengan waspada, peluh jejak air mata membasahi matanya dengan bernafas tersenggal-senggal.

"Kau bermimpi buruk" suara Julian memelan, dengan rengkuhan lembutnya dia menarik Yura untuk duduk, "Aku punya pertunjukan bagus."

"Apa maksudmu?"

"Aku sedang mengerjai Rebeca, dengan bom panci" ucapnya dengan antusias layaknya anak kecil yang senang melakukan hal nakal.

Bulu kuduk Yura merinding, ada ketakutan baginya saat melihat tatapan gila mata Julian.

Kening Yura megerut, sikap Julian selalu berubah-ubah. Terkadang dia kenak-kanakan, mesum, dewasa, dan kejam. Pria itu gila.

***

Julian mengambil gelas anggurnya dan segera keluar kamar meninggalkan Yura yang duduk di depan jendela.

"Kau tidak di inginkan disini, jadi jangan bermimpi. Tidak ada yang peduli padanmu" hinaan Rebeca terdengar keras dan tajam tertuju pada Jane, sikap aslinya selalu muncul dan menjijikan pandangan Julian.

"Pergilah! Dan jangan__"

"Jangan apa? Potong Julian mulai tidak tahan dengan sikap tidak tahu malu Rebeca yang semakin sangat memuakan.

"Kau sangat manis Rebeca, aku punya kembang api yang belum di bakar disini. Ini untuk hadiah kelulusanku dan Zicola" ceritanya dengan misterius. "Lihatlah" tunjuk Julian mengarah ke mobil Rebeca yang cukup jauh dari vila.

Wajah Rebeca mulai memucat dan terlihat was-was, sudah banyak kejadian gila yang harus di hadapinya karena permainan Julian. "Apa yang kau rencanakan Juls."

"Sudah aku bilang, aku punya kembang api."

Beberapa detik setelah Julian menjawab. Sebuah ledakan besar menggema dari dalam mobil Rebeca, warna kemerahan api dan kepulan asap mengalahkan derasnya hujan.

Rebeca berteriak histeris penuh air mata, dengan tergesa-gesa ia keluar dan meratapi nasib mobilnya yang hancur di lahap api. Dengan sisa-sisa tubuh mobil layaknya puing tidak berharga.

Namun air mata Rebeca tidak berlaku untuk Julian untuk iba. Tangisan Rebeca semakin menambah kesenangan baginya untuk tertawa lebih lepas.

"Aku suka pertunjukan." Serigai Julian.

***

Pagi itu terasa lebih cerah dan menyejukan, sisa-sisa hujan semalaman menyisakan tetesan air di dedaunan.

Yura masih terbaring dalam tidurnya dengan tenang, dia mengeliat lemah di bawah selimut saat gordeng jendela di sibakan Zicola dan membuat sinar matahari mengganggunya.

"Selamat pagi" sapa Zicola yang kini duduk di tepi ranjang dan mengusap rambut Yura dengan penuh kasih sayang.

"Pagi" balas Yura dengan suara serak dan menguap.

Zicola membungkuk mengecup kening Yura dan tersenyum, "Apa kau tidak keberatan jika aku pergi ke pelulusan tanpamu?, aku takut kau lelah. Jika kau merasa takut dan kesepian aku tidak akan pergi."

Yura menggeleng dengan senyuman, "Pergilah, aku baik-baik saja disini. Jangan Khawatir"

"Julian akan menemanimu, jika dia macam-macam langsung telepon aku."

"Aku mengerti" jawab Yura meragu.

Sifat Julian yang mesum dan tidak sopan cukup membuat Yura risih, namun di satu sisi Yura merasa nyaman tanpa protes, karena semua yang ada di dalam diri Julian selalu menenangkannya dan membuat Yura merasa bersama Raymen.

Pantaskah Julian di samakan dengan Raymen?

***

Selepas kepergian Zicola dan Jane, suasana vila menjadi semakin sepi. Hampir satu jam Yura menghabiskan waktunya di kamar mandi dengan susah payah.

Kakinya terasa sangat sakit setiap kali di gerakan, tangannya semakin mati rasa.

"Harusnya meminta bantuanku" omel Julian begitu melihat Yura muncul di ambang pintu.

Dengan hati-hati Julian membungkuk dan membopong membawa Yura kedalam mobilnya dan mengatur posisi duduk Yura agar nyaman. Tidak berapa lama dia datang menyusul masuk.

"Bukankah hari ini kelulusanmu juga?" Tanya Yura selagi Julian melajukan mobilnya.

"Itu tidak penting" jawabnya acuh, Julian tidak tertarik membahas kelulusannya."Apa kau akan menuntut Rebeca?" Julian kembali membuka suaranya.

Yura terdiam menatap kosong jalanan yang di lewatinya, fikirannya berkelana memikirkan perasaan sesak di dadanya.

Yura merasa ada yang hilang di dalam dirinya semenjak datang ke Neydish.

Ia ingin pulang ke Hon Kong..

Yura merindukan tempat itu, disana dia merasa menjadi lebih hidup meski banyak kekerasan.

Suara kelakson mobil berdengung memecahkan lamunan Yura, "Kau kenapa sih!" Ketus Yura kesal

"Kau yang kenapa, aku bertanya padamu sejak tadi" Julian langsung bersedekap dan merajuk tidak suka, Julian benci di acuhkan.

"Kau bertanya apa?."

"Tidak perlu" Julian membelokan arah mobilnya menuju jalanan kecil yang menembus hutan.

"Kita mau kemana?" Tanya Yura kebingungan karena jalan yang mereka lewati bukan arah menuju pusat kota.

"Lihat saja nanti."

Tidak jauh setelah menembus hutan mereka berhenti di sebuah lapangan luas di tepi tebing.

Julian keluar dari mobilnya mengambil kursi roda, dengan sabar Julian memangku Yura dan mendudukannya di kursi roda.

"Selamat pagi Mr. Julian" seorang pria paruh baya membungkuk menyambut kedatangannya, mereka menyempatkan diri untuk bersalaman.

Yura hanya diam menatap bingung dengan apa yang akan di lakukan Julian, perasaan waspada mulai menghinggapinya mengingat bagaiamana sifat aneh Julian.

"Semuanya sudah siap, Anda bisa terbang dengan.." suara Kai menghilang saat melirik Yura, alisnya sedikit terangkat menimang-nimang kata apa yang pantas dia ucapkan selanjutnya.

"Kekasih" jawab Julian dengan cepat, "Zuyura Franklin." Sambungnya lagi memperkenalkan Yura pada Kai.

"Senang bertemu dengan Anda, nona Zuyura" Senyum Kai melebar tanpa mengulurkan tangannya untuk bersalam setelah meneliti tangan mungil gadis itu terbalut kain dan dengan kaki di gips.

Yura tersenyum kaku merasa tidak nyaman, pandangannya terkunci pada sebuah helikopter.

Julian mendorong kursi rodanya setelah berbincang dengan Kai, "Kenapa kau diam saja?."

Yura tidak menjawab, matanya terpejam merasakan rambutnya bergerak cepat di terpa angin dari baling-baling pesawat yang berputar.

"Kita akan terbang?" Tanya Yura setengah tidak percaya.

Serigai sombong terukir di bibir Julian, dengan mudah dia mengangkat Yura dan membopongnya, "Kenapa? Apa kau akan mengapresiasi kesombonganku?."

Wajah Yura memerah padam, Julian terlalu dekat dekat dengannya, bahkan mata kehijauannya seperti daun segar di bawah salju.

Julian tertawa pelan melihat semburat merah di pipi Yura, tanpa keraguan dia menengecup bibir merahnya yang sejak tadi mengganggu fokus Julian.

"Sialan, jangan menciumku!" Maki Yura dengan teriakan, namun Julian tidak bergeming sama sekali. Dengan hati-hati dia mendudukan Yura di kursi.

Julian menyusul masuk kedalam dan menutup pintu, bibirnya berkedut menahan tawa gelinya melihat cemberutan kesal Yura yang enggan melihatnya.

"Duduklah dengan tegak" bisik Julian mengingatkan, dia meraih sabuk pengaman dan mengikatnya di pinggang Yura, lalu mengambil headset memasangkannya di telinga Yura.

Diam-diam Yura mencuri pandangannya setelah Julian duduk di kursinya lagi, pria itu terlihat sangat cekatan saat melakukan pengecekan sebelum penerbangan, jarinya menekan tuas dan posisi suar sudah di nyalakan.

Julian berbicara untuk meminta izin lepas landas, setelah mendapatkan izin Julian melakukan pemeriksaan terakhir. Dengan perlahan ia mendorong throttle dan membuat pesawat bergerak da mulai menambah kecepatan pesawatnya hingga 2300 rpm.

Yura menarik nafasnya dalam-dalam merasakan pesawat mulai di udara, namun matanya masih terkunci melihat Julian di sampingnya.

Raymen menjatuhkan kepalanya di pangkuan Yura, rambutnya berkilauan di bawah cahaya matahari, Lihat itu."

Kepala Yura menengadah melihat arah telunjuk Raymen. Langit kota Tuen Mun saat itu berwarna biru tanpa awan.

"Setelah menjadi pilot, kau satu-satunya wanita yang pertama aku akan bawa ke langit Eropa."

"Mengapa kau sangat suka melamun?" Suara Julian di headpone menarik lamunan Yura, dengan cepat Yura memusatkan perhatiannya ke bawah.

Kebun bunga mawar yang sempat mereka lewati hari kemarin kini tampak lebih indah, warna merahnya mendominasi warna hijau air danau.

"Apa kau suka?" Tanya Julian.

"Ini indah" jawabnya dengan senyuman kagum melihat pemandangan di bawah.

"Ya. Sepertimu." Ucap Julian samar.

Kepala Yura menengok untuk melihat Julian "Apa?."

"Kau indah" tegas Julian penuh tekanan, tatapannya memancarkan ketulusan saat menyelami kedalaman mata Yura.

Pipi Yura memerah padam, kedua tangannya menangkup kedua pipinya seolah sedang menyembunyikan warna merah itu di balik telapak tangan.

Perasaan gemas semakin mendesak hati Julian melihat kepolosan gadis itu.

Julian menggerakan yoke ke arah kanan dan mendorong pedal kemudi. Pesawat berbelok dengan halus menuju dataran luas kebun bunga mawar dan tulip.

Puluhan balon udara bergerak pelan di atas kebun semakin memanjakan pandangan Yura.

Sebuah pelangi melengkung indah di ujung danau.

Jalan gantung membentang kokoh tanpa merusak kebun, mobil Julian terlihat bergerak melesat di bawah mengikuti kemana arah pesawat pergi.

"Itu mobilmu, apakah dia berjalan sendiri lagi?" Mata Yura berbinar-binar tidak dapat menyembunyikan rasa takjubnya, jari-jari mungilnya menyentuh kaca seakan dia sedang menyentuh sesuatu di bawah.

Julian ikut tersenyum bangga dengan reaksi Yura. Setidaknya usahanya tidak sia-sia, tanpa Yura sadari jika balon udara yang berterbangan di bawah adalah perintah Julian. Bahkan pelangi itu juga. Butuh waktu lama orang-orang membuat hujan buatan agar bisa memunculkan pelangi.

"Apa kau pernah jatuh cinta?" Tanya Julian dengan serius.

"Mengapa kau bertanya seperti itu?."

Senyuman di bibir Julian memudar, "Apa kau tidak mengerti?, sekarang aku sedang menembakmu."

"Aku pernah jatuh cinta" suara Yura memelan, tatapannya mengunci Julian, "Sampai sekarang aku mencintainya."

Julian terdiam dalam kebisuan dan terbuai dengan perkataan juga tatapan gadis di sampingnya. Jantung Julian memacu dengan cepat meski dia mengusap dadanya beberapa kali.

Entah mengapa perkataan Yura seperti di tunjukan kepadanya.

***

Julian Pov

Butuh dua jam perjalanan dari desa Simmur sampai Loor. Aku membawa Yu menuju gedung utama perusahaan.

Ada banyak dokumen yang perlu aku tanda tangani, namun sebelum itu aku ingin kita sarapan.

Yu belum memakan apapun

Yu meletakan telunjuknya di mesin pengendali roda, jadi aku tidak perlu repot mendorongnya. Tapi aku akan tetap menjaga dan mengawasinya.

Aku merasa canggung..

Yu sudah menolakku, sekarang dia menekan-kan jika masih mencintai seseorang.

Seharusnya aku mundur

Tapi, aku semakin menyukainya…

Mungkin aku harus menemui dokter pribadiku nanti sore, dan menanyakan apakah aku masih dalam batas wajar normal atau sudah gila.

Beberapa karyawan terlihat penasaran melihat kedatanganku dengan Yu. Aku adalah seseorang yang fropesional, tidak ada wanita manapun yang pernah aku bawa kemari. Yu adalah yang pertama.

Robin datang mendorong sarapan pagi kami, dia terlihat tersenyum menggoda saat melihat keberadaan Yu.

Banyak makanan yang terhidang di meja, aku ingin dia makan banyak. Tubuhnya terlalu kecil.

"Makanlah" aku mendorong semangkuk sup dan sepiring lasagna untuknya.

Yu menatapku, dia berkedip beberapa kali dan tangan kirinya meraih sendok dengan gemetar.

Hatiku terasa sakit…

Tangan mungilnya gemetar menahan sakit saat di gerakan, namun dia tidak kunjung meminta tolong padaku dan tetap berusaha dengan dirinya sendiri.

Aku tidak tahan, ku geser kursiku dan mengambil piringnya.

"Buka mulutmu" aku mengambil sesendok sup, Yu membuka mulutnya meski terlihat ragu.

Perasaan senang membanjiri hatiku. Melihat dia memakan apa yang aku berikan dengan lahap dengan pipinya mengembang di penuhi makanan, dia mengunyah dengan lahap dan tetap menjadi dirinya sendiri tanpa bersikap palsu di depanku.

Ini hanya makan, tapi mengapa aku sebahagia ini?

Tidak! Ini bukan aku!

"Aaaa" Yura membuka mulutnya lagi menungguku mengambil makanan. Aku menyuapinya lagi dengan perasaan bahagia.

Dia rakus dengan tubuh kecilnya..

Mungkin aku bisa melakukan ini sepanjang hari, menyuapinya dan menjaganya.

"Kanapa kau tidak makan?, apa aku membuatmu susah?" Suaranya merendah di penuhi rasa bersalah.

Aku menyuapkan sepotong jamur truffles dan mengunyahnya, "Kau sangat rakus jadi aku tidak sempat makan." Aku menggodanya dengan ejekan. Pipinya langsung merona malu.

Oh shitt!

Dengan satu gerakan, tanganku menjangkau tengkuknya dan menariknya. Bibirku menemukan bibirnya, aku menjilat dan menciumnya dengan keras tanpa memperdulikan tangan Yu yang mendorong dadaku untuk menjauh.

"Ehem" suara deheman keras menggangguku.

Dengan terpaksa aku melepaskan ciumannya, Yu terengah-engah mengusap bibirnya yang membengkak.

Aku tersenyum kaku melihat nenek dengan tongkat saktinya berdiri di depanku. Dia membenarkan kacamatanya dan melangkah tertatih-tatih untuk mendekat.

"Nenek" sapaku gugup.

"Kau Yu?" Nenek mengacuhkan aku, dia meraih wajah Yu dan menatapnya meneliti. Nenek tersenyum lebar dengan mata berkaca-kaca.

"Iya, Anda siapa?" Yu sama gugupnya denganku, atau mungkin dia malu karena aku telah menciumnya dan kepergok.

Dia tidak tahu jika nenek sudah terbiasa. Bahkan ketika nenek pernah memergoki aku sedang bercinta dengan seorang wanita, dia bersikap biasa saja dengan kenakalanku.

Tapi ini berbeda, mungkin kali ini nenek akan menamparku karena telah memperlakukan adik Zicola dengan tidak baik.

"Aku ibu Thomas Giedon. Nenek Julian Giedon."

"Nenek mau apa kemari?" Aku harus membuatnya pulang secepat mungkin.

"Aku ingin melihat calon isterimu."

Apa? Apa aku salah dengar? Apa aku sedang mengigau.

"Nenek, apa yang barusan nenek bicarakan" aku memastikan pendengaranku menjadi lebih baik.

"Setelah Yu sembuh, kalian akan menikah."

Demi lautan, tenggelamkan aku. Demi langit! Terbangkan aku!

Menikah?

Menikah degan Yu?

Apa nenek bisa melihat jika aku sedang terindikasi perasaan suka pada gadis ini?.

"Anda jangan bercanda Yang Mulia" suara Yu gemetar ketakutan, dia menggerakan jarinya di kemudi kursi roda lalu pergi.

Sialan, dia menolakku begitu saja!.

***