webnovel

Bab 1

"Nanti kamu jadi nginep di rumahku kan, Ndra?" tanya Edo saat ke luar dari kantor bersamaku.

"Jadi dong, kan sudah janji," jawabku sembari membetulkan slempang tas dipundak.

"Eeh, Ibu masak apa?" lanjutku lagi.

"Tadi sih, bilang mau masak pete sama nyambel terasi kesukaanmu," sahut Edo seraya menepuk pundakku lalu tertawa lebar.

"Yeessss!" kataku sembari mengepalkan tangan tanda bahagia.

"Cakep-cakep makanannya pete, hahahaha," ujar Edo.

"Halaaah, kayak kamu enggak doyan saja, Do. Pete itu mempunyai riwayat tersendiri yang sangat melegenda," sahutku pasang wajah serius.

"Apa itu?" tanya Edo, sepertinya penasaran juga.

"Peteeee, your smell like hell, but taste like heaven. Hahahaha," kataku terpingkal pingkal.

"Busyeeet dah."

😎😎😎

Pukul 06.30 PM

"Makan dulu Ndraaa," teriak Ibu dari dalam dapur.

"Dooooo, pada makan dulu," lanjutnya lagi.

"Iya, Buuu," sahut kami kompak dari dalam kamar.

Aku dan Edo pun bergegas menuju meja makan.

"Wah! Kumplit banget sih, Bu," tanyaku sembari mencolek dan menjilat sambal di ujung jariku.

"Kumplit apanya, ah. Ngaco kamu. Paling ketambahan pete bakar sama sambel doang, kok," sahut Ibu terkekeh.

"Hehe, makan sekalian yuk, Bu," ajakku kepada Ibu.

"Ayuk," jawab Ibu.

"Owh ya. Kok, dari tadi aku enggak lihat Bapak? Lagi ke mana sih, Bu?" tanyaku sembari memperhatikan Ibu yang sedang mengambilkan nasi untukku juga Edo.

"Ituuu ... lagi ada urusan sedikit di Masjid. Sebentar lagi juga pulang. Sudah makan dulu saja. Tuh, lauknya pada ambil sendiri, ya," kata Ibu.

😎😎😎

Pukul 09.00 PM

"Whooeee, ngelamun saja dari tadi. Aku perhatikan, beberapa hari ini kamu sering ngelamun di kantor  Ndra. Ketawa-ketiwi sendiri, mirip orang gila di pasar," kata Edo sembari menepuk bahuku yang lagi asyik rebahan di atas kasur.

"Biasa saja, kok. Perasaan kamu saja, tuh," sahutku kaget agak gelagapan.

"Eeh, tapi bener nih. Jangan-jangan  kamu sudah mulai ada gebetan,ya?" tanya Edo sembari merebahkan badannya di sampingku.

"Hehehe," sahutku mulai salah tingkah.

"Kira-kira, siapakah wanita yang beruntung itu?" Ujar Edo sembari akting manggut-manggut memegang dagunya.

Mata Edo melirikku sembari menahan tawa.

"Do, ini bukan wanita sembarangan. Kamu saja enggak bakal bisa mendapatkannya," kataku dengan mantap.

"Emang siapa, sih? Manager kita kah?" sahut Edo beringsut duduk.

"Bukan, dia mah bukan kriteriaku, Do. Ada yang lebih dari dia."

"Siapa, sih? Menurutku, kalau bukan Manager kita, ya sekretarisnya, Ndra," tanya Edo penasaran.

"Aah, bukan juga. Mereka tuh, bukan tipeku," jawabku sembari menahan senyum yang sedari tadi tak bisa kutahan.

Entah kenapa, setiap senyum manis Rahma terlintas di kepala, rasanya aku ingin tersenyum terus. Rasa ingin tersenyum itu sangat sulit untuk kukendalikan. Sehingga akan membuat semua orang tahu, kalau aku sedang kasmaran.

"Lalu siapa?" tanya Edo sembari mengkerlingkan matanya.

Sepertinya ikut bahagia dia, hahaha.

"Besok pagi kita ke rumahku sebelum berangkat kerja. Kamu akan tahu sendiri, Do," kataku penuh keyakinan.

😎😎😎

Pukul 06.30 AM

"Mana, Ndra?" tanya Edo yang sedari tadi sudah duduk di kursi di teras.

"Sebentar," kataku sembari menyiram tanaman di halaman rumah.

Sesaat kemudian, kulihat Rahma keluar dari rumah.  Tiap jam segini dia pasti mau antar anak-anaknya sekolah.

Kulihat Rahma mengeluarkan motor gedenya dari dalam garasi dan memanaskan mesin motor.

"Duuuuh! Kenapa jantung jadi berdegup kencang kayak gini, ya?" gumamku dalam hati.

Cantik sekali Rahma, dengan gamis warna hitam. Aku terpana melihat cara dia memanaskan motornya. Benar-benar cewek maskulin.

Kulihat Rahma menghampiri kedua anaknya untuk segera berangkat. Reflek Rahma menatapku. Sepertinya, Rahma tahu kalau sedari tadi aku terus memperhatikan tiap langkahnya.

Sontak jantung berdegup kencang. Seolah aku ini maling yang tertangkap basah. Wajahku memerah, hingga telinga terasa sangat panas.

Aku palingkan pandangan ke arah tanaman pura-pura sibuk dan mencoba untuk mengatur nafas, agar nanti jika disapa tidak tambah grogi.

"Kamu kenapa, sih? Kayak orang kena asma saja. Sini, biar aku yang nyiram tanaman," kata Edo sembari merebut selang air yang ada di genggaman tanganku.

Tanpa berkata, aku nurut saja langsung memberikan selang air kepada Edo. Sesaat kemudian, Rahma lewat depan rumahku.

"Mari, Mas Indraa," sapa Rahma kepadaku sembari mengklakson dua kali.

"I-iyaa, Mbak. Mari," jawabku gelagapan.

Aku hela nafas dalam-dalam sembari menatap dari belakang hingga Rahma tak kelihatan di tikungan. Lega rasanya.

Tak sadar, ternyata Edo sedari tadi yang terus memperhatikan tingkahku.

"Kenapa, cengar cengir dari tadi?" tanya Edo.

"Ya itu, Do," jawabku sembari nyengir dan garuk-garuk kepala.

"Itu apa?"

"Cewek yang aku ceritakan semalam."

"Itu? Cewek yang kamu suka? Enggak salah kamu, Ndra!" tanya Edo dengan mata terbelalak karena kaget.

"Iya, emang kenapa?" kataku.

Tiba-tiba aku merasa tak suka dengan expresi Edo saat menatapku.

"Itu! Cewek yang kamu suka selama ini?" ujar Edo sembari tangannya menunjukkan tangannya ke arah Rahma pergi tadi.

"Iya, Do," jawabku.

"Enggak salah kamu, Ndra! Itu kan emak-emak, Ndra! Masa kamu ... duuuh, ni anak! Pusing aku, Ndra," kata Edo sembari mematikan kran air dan menghampiriku duduk di kursi.

"Biasa saja kenapa, sih," sahutku datar.

"Ya enggak gitu dong, Ndra. Nih, sekarang aku tanya, ya," kata Edo sembari tangannya memegang dahinya.

"Iya, mau tanya apa," sahutku.

"Tuh, cewek bukannya masih punya suami. Kemarin-kemarin pas aku main ke sini, aku lihat ada laki-laki di rumahnya. Itu suaminya, kan?" tanya Edo dengan expresi menyeramkan.

"Iya, memang kenapa kalau Rahma masih punya suami?" kataku.

"Owh, jadi namanya Rahma. Ndra, apa enggak ada cewek lain selain tuh cewek. Eh, Rahma maksudku."

"Enggak ada, Do."

"Allahu Akbar. Mimpi apa aku semalam."

"Pengen tahu mimpi apa kamu semalam? Mimpi jatoh dari monas!" kataku sembari beranjak masuk.

"Gila nih, anak," gerutu Edo.

"Yuk ah. Sudah beranjak siang, nih. Aku mandi dulu," kataku kepada Edo yang masih garuk-garuk kepala yang aslinya tak gatal.

"Ndra, nanti malam aku nginep di rumah kamu, ya," kata Edo kepadaku.

"Oke, deh. Pulang kerja kita mampir minimarket dulu, ya. Persediaan di rumah sudah pada habis soalnya," jawabku pada Edo.

"Okelah kalau begitu."

Pulang kerja aku dan Edo mampir sebentar ke minimarket yang ada di kompleks perumahan aku tinggal.

"Ndra, kamu beli banyak banget, sih? Kayak mau buat makan satu RT!" tanya Edo kepadaku.

"Biasanya kaleee, aku paling males kalau sudah di rumah terus ke luar nyari makanan. Mending aku belanja banyak sekalian," jawabku kepada Edo.

"Ndra! Ndra!" kata Edo sembari menepuk-nepuk bahuku yang sedang memilih camilan di rak.

"Apaan, sih. Kayak lihat hantu saja," kataku kepada Edo tanpa menoleh ke arahnya.

"Itu loh, ada Rahma lagi belanja juga di minimarket ini," tukas Edo sembari matanya terus menatap ke arah Rahma.

Deg!

Hati ini berdesir mendengar nama Rahma. Spontan aku menoleh ke arah Rahma.

Jantung berdegup kencang ketika melihat Rahma. Aku perhatikan Rahma sedang memilih sesuatu entah apa, kedua anaknya juga ikut bersamanya.

"Biasa saja kaleee. Enggak usah merah kayak gitu mukanya," ledek Edo kepadaku.

"Apaan, sih!" kataku sembari meninju lengannya.

"Kayak enggak ada cewek lain saja," ujar Edo sembari menghela nafas dalam-dalam.

"Emang ada larangan mencintai cewek? Biarin lah dia punya suami, enggak masalah bagiku," sahutku pada Edo.

"Ya enggak ada, sih. Pusing aku mikirin kamu," ujar Edo.

Tiba-tiba jantung berdegup kencang tak karuan saat kulihat Rahma mulai mendekati rak depan aku berdiri.