webnovel

Rumah Sakit

Roi duduk termenung di depan kamar Rumah Sakit, kegelisahan menyelimutinya kini. Rasa bimbang dan bahagia terpancar di mukanya. Tiba-tiba seorang dokter memanggilnya dengan berkata, bapak Roi bisa kesini menemani ibunya?

Aku pun langsung masuk kedalam ruang persalinan. Ku tatap muka istriku yang mulai merasa kesakitan.

"Sayang, udah siap belum?" tanya ku khawatir.

Namun dia tak bisa menjawab apa-apa selain mengisyaratkan kapan hal ini akan berakhir.

Para perawat hanya lalu-lalang memastikan kondisi istriku dan kesiapan akan persalinannya. Hingga sang dokter tiba dan berkata, ini kenapa ngga di urusin. Ini dedeknya udah mau keluar. Seketika ruangan itu di bikin heboh karna perkataan dokter tadi.

Aku di samping istriku memastikan agar dia selalu dalam keadaan sadar selalu. Setidaknya itu yang bisa kulakukan sesuai anjuran dokter. Lima belas menit berlalu dan puji TUHAN suara seorang anak terdengar oleh kami. Dokter memberikan ucapan kepada kami karna anaknya lahir dalam keadaan sehat dan waktunya juga singkat yakni hanya membutuhkan waktu Lima belas menit untuk seorang yang baru melahirkan dan juga dengan persalinan normal.

Ku tatap mata istriku yang mulai lemes dan sayu sembari mengelus kepalanya. Dan kataku, Sayang terimakasih untuk pengorbananmu dan perjuanganmu untuk mengandung anak bagiku. Dia tak bisa membalas ucapanku, aku pun memakluminya. Aku tahu betul berapa banyak tenaga yang harus di kerahkannya tadi sewaktu persalinan.

Seorang suster datang dan memberikan kepada kami bayi itu, "ini pak anaknya. Selamat ya untuk anak laki-lakinya."

Bahagianya aku bukan main mendengar bahwa yang lahir adalah seorang lelaki. Sri lihat anak kita ganteng seperti aku walau badannya sangat merah. Dia pun hanya bisa menitikkan air mata memeluk anak kami.

Pak, walau disini ngga banyak orang harap tetap pakai masker nya ya. Gimana pun kita harus mengikuti perintah dari pemerintah. Apalagi ini Rumah Sakit bahaya corona sangatlah nyata. Tegur bidan yang bertugas disitu.

"Ok bu, maaf saya hanya tidak terbiasa pakai masker tapi saya akan melakukannya segera." Jawabku.

Sekarang hari Senin, 06 April 2020 untuk tanggal kelahiran anak kami. Dia lahir di masa yang amat genting. Dimana awal tahun Negeri ini telah di timpa musibah yang amat mengerikan. Penyakit itu mungkin amat populer sepanjang masa karna penyebarannya yang amat cepat dan belum ada obat atau pun vaksin yang dapat menyembuhkan bila tertular oleh penyakit tersebut. Bahkan seluruh negara di dunia tertular oleh penyakit tersebut. Penyakit ini katanya virus yang menyebar melalui udara dan namanya tak lain adalah VIRUS CORONA.

"Sayang, ambilin aku minum dong."

Suara lemes itu menggoyahkan lamunku yang lagi memikirkan nama apa yang akan ku berikan pada anak pertama kami ini. Setelah ku beri dia minum dia hanya kembali terdiam setelah nya. Aku pun sungguh merasa jengkel di buatnya. Serasa siapa aku disini nggak di ajak ngobrol sama sekali.

"Huffffttt,"

Sebel ku langsung meninggalkannya sendiri disitu dan mencari angin di luar."

***

Sri hanya terpaku pada bayi yang di pelukannya. Sedari tadi dia telah mendiami setiap perhatian Roi. Setelah energinya terkumpul dia meminta handphone dari suaminya untuk menghubungi orang tuanya.

"Halo, mah..."

"iya nak, gimana keadaan kamu sekarang?"

"Sedikit kecewa dan juga marah.

"Lah kenapa bisa begitu nak? emang ada apa dengan persalinannya?"

"Gini mak, tadi waktu salinan mas Roi marah-marah padaku. Seolah gampang banget apa melahirkan? Tadi dia nyuruh aku maksa sekali nafas untuk mendorong si kecil tadinya. Belum lagi dia suruh melebarkan bawah ku, kan sakit. Apalagi ini pertama kalinya aku melahirkan."

"O, jadi gitu nak. Semua yang di lakuin suami kamu itu benar adanya dan semua itu untuk kebaikan kamu. Mama juga tahu kalau kamu marah akan hal itu, jadi mama hanya memaklumi yang terjadi di antara kalian." Jawab Rahayu ibunya Sri.

"Trus anak kalian jenis kelaminnya apa sayang?" Tanya Ibunya Sri.

"Laki-laki mah."

"Syukurlah kalau begitu." Tapi disitu bahaya Corona nggak sayang? kan disana ibu dengar zona merah.

"Puji TUHAN disini ngga seperti yang ibu pikirkan. Hanya saja mas Roi seperti pusing akan biaya persalinan ku."

"Lah emanganya Roi ngga ada uang apa? Kan dia kerja."

"Iya mah, hanya saja Januari dia di diberhentikan."

"Oalah... Ndok... Ndok. Nasib kalian kok apes banget." Tapi bapak sama ibu ngga bisa bantuin kalian lho. Tau sendiri bagaimana keadaan bapak dan ibu di kampung.

"Iya mah. Udah dulu ya mau istirahat lagi."

Malam pun datang. Seharian yang mendebarkan kini telah berubah menjadi ria dengan bertambahnya anggota keluarga baru. Suasana panas di siang tadi kini berubah menjadi dingin yang menyengat tulang. Ku paling kan wajahku pada suami yang menemaniku sepanjang hari dengan sedikit penyesalan. Aku bahkan tidak tahu bagaimana dia menjalani hari tadi. Sosok yang biasanya penyuruh dan bodo amat kini berubah menjadi pengayom dan yang perhatian. Tidurnya sedikit terganggu di pandanganku. Itu semua tak lain karna dirinya yang tak tahan suhu dingin di malam hari. Hidungnya perlahan-lahan mengeluarkan air asin seperti sedia kala. Emang tiada obat ini suamiku kalau terkena udara malam. Anak yang di samping ku pun tertidur nyenyak. Betapa bahagianya aku di hari ini sebagai perempuan dalam batinku. Hal yang tak pernah terlintas dalam benak ku selama ini. Kini aku akan di panggil sebagai seorang ibu dan aku akan memanggil ayah atau pah kepada suamiku. Merasa geli banget rasanya dulu ketika melihat orang yang pacaran sambil panggil ayah bunda satu sama lain. Tapi kini aku akan melakukan. Walau sebenarnya aku masih saja serasa belum siap akan semua ini.

Di hari yang berbahagia ini terselip satu kekhawatiran dalam dalam hatiku. Itu tak lain musibah yang melanda dunia kini. Entah apa pemikiran terbaik yang di rancang suamiku untuk kehidupan kami mendatang. Apa kami akan bertahan di Ibu kota ini atau harus pulang kampung. Dan, anakku. Nama apa yang bagus dan juga pantas untuk dia yang akan kami berikan mengingat semua kejadian selama ini dan dia juga terlahir di masa yang sulit ini. Oh TUHAN, apa yang akan terjadi dalam kehidupan kami setelah ini. Suamiku yang lagi pengangguran dan juga kini kami telah memiliki anak yang harus di perhitungkan biaya kehidupannya sekarang. Apa wajar bila aku khawatir akan semua hal ini dengan semua kesusahan yang melanda kami. Aku hanya selalu berharap kehidupan kami setelah memiliki anak akan lebih baik bila di bandingkan sewaktu kami masih pacaran. Kini aku sungguh berharap dengan lahirnya anak ini bagi kami bisa memberikan senyum dan tawa di keluarga baru kami ini.