Nea benar-benar pulang di jam delapan malam. Gadis itu juga membereskan beberapa barang miliknya dan memasukkannya ke dalam tas sekaligus.
"Pulang duluan ya Din. Semangat ya! Pasti bisa.. jumpa lagi besok." Ujar Nea ramah dan merapikan kursi kerjanya.
Kali ini Dina hanya tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Ia tak lagi cemberut dan merengek pada Nea. Ia juga sadar diri bahwa bersikap seperti itu sudah tidak cocok dengan umurnya yang dewasa.
Dan kini Nea baru saja keluar dari kantor bank. Ia segera menghirup banyak oksigen dan menghembuskan karbondioksida dari mulutnya.
Ada perasaan sangat lega di hati Nea. Pekerjaan lemburnya sudah ia kebut dan kira-kira sudah selesai 80 persen. Sisanya akan Nea kerjakan besok sebelum customer bank berdatangan. Mungkin Nea akan berangkat kerja lebih awal besok pagi jam tujuh saja.
Tak lama sebuah mobil hitam berhenti mulus di depan Nea.
Nea menyengir lebar dan segera masuk ke dalam mobil itu. Tentu saja yang menjemputnya adalah Lita. Jika bukan Lita siapa lagi? Nea kan tidak punya gebetan.
"Thanks ya Ta udah mau jemput." Ujar Nea setelah selesai mengaitkan sabuk pengaman dan mobil Lita mulai melaju dengan kecepatan sedang.
"Udah santai aja mbak. Gimana mbak lemburnya?"
"Hari terakhirku besok Taaa.." ujar Nea yang tidak sinkron dengan pertanyaan Lita.
"Ditanya apa jawabnya apa mbak."
"Aku udah hafal sikapmu. Kamu itu basa-basi dulu tapi ujung-ujungnya tetep nanyain hal yang sama.." omel Nea.
"Hehehe.. syukur deh mbak kalau keputusan itu sudah bulat."
"Yeeee.. datar banget sih reaksi kamu. Seneng kek, ketawa kek, kaget kek.. gak mau tahu apa alasanku resign secepet ini?" Tanya Nea kesal.
Lita terkekeh pelan. "Pasti karena David kan mbak."
"Bukan. Tapi karena pemberitahuan dari Rasyid. Kamu gak dikasih tahu sama dia?"
"Eh, perihal apa mbak? Jujur aku jarang banget buka ponsel sejak kemarin siang." Kata Lita jujur sambil tetap fokus pada jalan raya di depannya.
Nea berdecak kesal. "Gimana sih Ta kok gak tahu? Itu penting loh. Para investor mau batalin kontrak dan jual saham. Gimana aku gak stres. Apalagi alasan mereka sama kayak alasannya David. Pada pengen tahu owner aslinya. Mau gak mau aku harus resign lah.."
Tentu saja Lita membulatkan kedua matanya dan kecepatan mobil itu menurun. Ia langsung berpindah ke jalur kiri dan mencoba menenangkan keterkejutannya.
"Duh.. maaf banget ya Mbak. Beneran aku sibuk banget. Banyak yang harus kuurusin serba-serbi kafe yang harus dicek semua. Makanya mungkin pas Rasyid coba kasih tahu aku, aku udah tidur cepet kemarin malam. Terus gimana mbak solusinya?"
"Hmm. Gampang lah. Lagian kan aku udah fix resign beneran dari kantor bank. Habis ini tolong jadwalin rapat dan pertemuan ya Ta.." ujar Nea.
Lita mengangguk antusias. "Siap mbak. Emang hari terakhir kerja kapan mbak?"
"Kan aku udah bilang tadi. Be-sok."
Lita nyengir malu. Nada suara Nea terdengar kesal dan ada penekanan pada kata besok.
"Adain rapat besar hari sabtu di kafe. Tutup kafe kita sehari dan kumpulin semua pekerja mulai dari admin, kasir, pramusaji, koki, petugas kebersihan, semuanya pokoknya. Bentar aja mungkin gak lama. Dan siangnya undang aja para investor yang komplain itu. Suruh mereka dateng ke dalem kantor."
"Itu kafe yang di Kemang atau Depok mbak?"
"Di Kemang dulu aja. Yang Depok nyusul hari minggu. Kasih tahu Rasyid ya Ta.."
"Siap."
"Yang kafe Depok juga gitu pokoknya semuanya suruh kumpul. Aku ada briefing beberapa hal. Tutup aja itu hari minggu dan hari senin juga tutup aja karena itu tetep hari libur mereka." Tambah Nea.
"Oke mbak, paham. Kalau David gimana mbak?"
Mendengar nama David, Nea langsung menghembuskan napas panjangnya. Jika bukan diawali dengan kemauan David yang ingin bertemu dengannya, maka hari ini Nea tidak perlu meyodorkan surat pengunduran diri pada Pak Rudi.
Lagi pula Nea harus bisa mengendalikan emosinya. Ia tidak boleh bicara ketus dan meluapkan emosinya pada Lita.
Bagaimanapun juga Lita rela mengurus semua hal dan gadis itu sangat sibuk mengurus dan memantau sistem kafe. Nea tidak boleh menekan Lita haya karena masalah ini.
"Besok sore. Kamu yang hubungi David ya. Aku kan gak punya kontaknya. Cukup melaluo kamu aja. Bilang ke dia besok jam lima sore suruh ketemu aku di rooftop kafe Kemang. Soalnya dia kan pernah bilang kalau dia yang bakal samperin aku. Udahlah.. gitu aja." Kata Nea.
Lita mengangguk paham. "Oke deh mbak, aku inget semua planningnya. Makasih ya mbak udah bersedia come back dan udah kasih keputusan bulat."
"Hadeeehh Taaa.. aku yang harusnya makasih ke kamu. Makasih banyak selama ini kamu sama Rasyid yang bersedia aku repotin. Kalian tuh udah kayak nyawaku di dalem kafe tersebut tau gak sih. Aku yang makasih banget. Kalian sabar banget sama aku. Padahal kalau kebanyakan orang tahu bos macam aku kayak gini pasti udau dibenci sama semua bawahan mereka. Tapi tetep Ta, kalian berdua itu bukan bawahan aku. BUKAN. Catat ya. Aku bener-bener gak mau nganggep kalian sebagai bawahan aku. Kalian itu pondasi kafe yang aku dirikan. Aku juga gak mau kalian kenapa-napa. Dan sekarang aku udah yakin aku harus terjun kembali dan berani mempublikasikan diriku ke masyarakat."
"Uuuuhhh terharu banget Mbak. Sama-sama Mbak. Aku tuh sama Rasyid seneng bisa gabung mendirikan kafe itu sama Mbak. Rasyid suka perihal keuangan. Aku suka bisnis dan mengatur banyak hal. Yah, berarti kita bertiga jodoh lah udah dipertemukan kayak gini." Balas Lita.
Nea mengangguk setuju. "Bener banget. Kita itu tiga serangkai, Ta. Dan aku harap kita bertiga rukun terus sampai kafe kita punya cabang yang lain."
"Aamiin..aamiin Mbak. Semoga terwujud apa yang Mbak Nea impikan."
Nea terkekeh pelan. Ia sangat bersyukur bisa mengenal Lita dan Rasyid.
Tanpa mereka berdua, Nea tidak akan bisa berdiri sendiri. Meskipun sejak awal Lita dan Rasyid tidak pernah berkontribusi perihal modal atau uang. Semuanya memang murni dari perjuangan Nea sendiri. Mulai dari resep, modal awal, hitungan rugi dan untung, menyewa ruko. Semua itu memang Nea yang melakukannya.
Namun Lita dan Rasyid selalu membantu tanpa meminta bayaran. Karena saat mereka awal bertemu, Nea sebagau senior kampus dan mereka berdua berada di tingkat bawah Nea.
Hingga akhirnya kafe kecil Nea mulai berdiri empat tahun yang lalu. Dan mulai menghasilkan uang, menu baru, kreasi baru, hingga akhirnya Nea bisa menggaji Lita dan Rasyid untuk pertama kalinya.
Itu semua adalah kenangan manis dari usaha yang dibentuk oleh keyakinan mereka bertiga yang terkumpul. Usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Dan sekarang, Nea berpeluang besar membuat kafe dan makanannya terkenal.
*****