webnovel

Confetti in Seoul You

Hana, harus menjalani drama menjadi seorang selir dari Raja kekaisaran Korea hanya untuk sebagai jaminan agar 'orang itu' tetap hidup. Meskipun ini adalah kisah di abad 21, Hana merasa begitu kotor harus mendesah dibawah kungkungan pria yang lebih seperti ayahnya itu. Sanggupkah, Hana bertahan dan kembali ke Indonesia setelah menyelamatkan seseorang yang begitu disayanginya itu?

Mucha_Azalea · Urban
Not enough ratings
3 Chs

#2

Pagi ini, seperti yang dikatakan Raja Sejong semalam, Hana harus mengikuti sang suami menghadiri rapat dewan di Taeyang Group. Hana baru saja mengetahui ternyata suaminya itu adalah CEO di perusahaan itu. Perusahaan besar yang bergerak di bidang real esteate, swalayan dan juga perkebunan.

Setelah hampir 1 jam ia dirias oleh perias terbaik istana, Hana hampir tidak mengenali siapa dirinya ketika menatap sosoknya di dalam cermin.

Bibir merah, kulit yang halus, rambut yang disanggul rapi dengan poni yang menutupi keningnya. Jangan lupakan dengan blus putih polos dengan blazer berwarna merah maroon dan rok hitam ketak selutut. Bahkan untuk alas kaki, ia harus memakai high heels setinggi 9 cm. Penampilan seperti ini sangat bukan dirinya, tetapi selama di tempat ini ia harus membuang semua tentang dirinya dulu.

"Nyonya, Yang Mulia sudah menunggu anda!" kata Su Hye membuyarkan lamunannya.

"Aku mengerti!" sahut Hana pelan.

Perlahan ia pun menghela napas dan menghembuskannya. Dengan hati-hati ia berjalan, jujur saja high heels barunya itu sedikit menyiksa kakinya. Dengan bantuan dari Su Hye, Hana mencoba untuk tetap berjalan tegak.

Di ruang tengah, di ruang keluarga Hana melihat Raja Sejong menatap foto keluarga yang terpasang di sana dengan tatapan menerawang, sedang memikirkan sesuatu. Tapi ia tidak ingin naif, ia sangat tahu sang raja sedang merindukan mendiang istrinya.

Di samping Raja, Il Woo menyadari kedatangan majikan barunya yang masih mematung di anak tangga terakhir.

"Nyonya Hana..." gumam Il Woo pelan.

Menyadari kehadiran Hana, Sejong segera meninggalkan ruang tengah tanpa mengatakan sepatah kata pun. Secara tidak langsung, pria itu meminta Hana untuk mengikutinya. Bahkan ketika mereka berdua telah duduk berhadapan di dalam limosin, tidak ada seorang pun dari mereka yang membuka suara.

Il Woo hanya dapat menghela napas dan memandangi kedua majikannya ini bergantian.

Limosin itu membelah kota Seoul. Hana memandangi bangunan-bangunan tinggi yang dilewati limosin. Dapat mengunjungi kota metropolitan ini, dulu hanya dianggapnya sebagai mimpi. Tetapi merasakan mimpinya menjadi kenyataan sekarang, entah mengapa tidak membuatnya bahagia. Mungkin karena ia datang ke negara ini di saat yang tidak tepat.

Tak lama limosin yang mereka tumpangi berhenti di sebuah gedung kantor utama Teyang Group. Gedung tinggi berlantai lebih dari 25 lantai yang berdiri kokoh dan terlihat menantang siapa pun yang menginjakkan kaki di tempat ini.

Lagi, saat keluar dari limosin dan memasuki gedung itu tidak ada satu pun yang bersuara. Sampai akhirnya mereka tiba di ruang rapat. Hana segera mengambil tempat duduk di samping sang Raja.

"Ternyata Nona Jang Mi tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik," ucap seorang pria paruh baya sambil tersenyum menatap Hana yang sudah merasa tidak nyaman duduk di tempatnya. Orang itu seolah menelanjanginya dengan tatapannya itu.

Sejong berdeham pelan. "Sebaiknya kita mulai rapat hari ini sekarang."

Semua orang duduk di tempat mereka masing-masing.

"Menurut pendapat kami para pemegang saham, sebaiknya anda segera mempunyai penerus yang baru, Yang Mulia!"

"Apa maksud kalian?" tanya Sejong tidak mengerti.

"Dengan posisi Putra mahkota Jae Jun sekarang akan sangat mengkhawatirkan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti pangeran Jae Hyuk. Dengan adanya penerus baru, posisi anda dan putra mahkota akan tetap aman," jawab pria paruh baya tadi yang bernama Choi Dong Sil. Salah seorang pemegang saham ke-2 setelah raja Sejong dan menjabat sebagai penasehat istana.

Mata Hana terbelalak, kaget. Dirinya harus mengandung benih dari pria yang tidak dicintai dan selalu menyiksa batinnya ini? Ia merasa sepertinya langit akan runtuh. Benar-benar runtuh.

"Nona... maksud saya Nyonya Jang Mi masih sangat muda dan cantik, pasti melahirkan 2 atau 3 orang penerus untuk anda bukan perkara yang sulit," tambah Dong Sil sambil mengalihkan pandangannya pada selir baru raja yang ia akui cantik itu.

Apa yang dikatakan orang tua itu barusan? 2 atau 3 penerus bukan perkara yang sulit? Memangnya dirinya itu apa? Mesin pencetak anak? Kalau bukan perkara yang sulit mengapa tidak orang-orang tua itu saja yang melahirkan?

Hana mengepalkan tangan di pangkuannya. Setelah dipaksa melayani sang Raja, tugas selanjutnya adalah melahirkan anak? Ia merasa harga dirinya sedang dipermainkan.

Pembicaraan selanjutnya sama sekali tidak dipahami Hana. Ia hanya mendengarkan sambil lalu, masuk telinga kanan dan keluar kelinga kiri. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.

Segalanya masih terlalu rumit untuk dimengertinya. Harus menikah dengan seorang Raja yang lebih pantas menjadi ayahnya, kakak yang disayanginya dituduh melakukan pembunuhan, menerima kata-kata pedas pangeran yang menjadi anak tirimu, kebebasanmu terenggut dan sekarang harus memberikan penerus pada orang yang tidak dicintainya.

Apa masih ada hal berat lain yang akan didapatkannya?

"...na... Hana..."

"Akh... maaf!" Hana sadar ia baru saja melamun.

Sejong menatap wajah istrinya yang menunduk. "Wajahmu terlihat pucat. Pulanglah terlebih dulu!"

"Ba-baik, Yang Mulia!" sahut Hana segera berdiri, memberi hormat dengan sedikit membungkuk badan kepada para pemegang saham dan segera meninggalkan ruang rapat.

Setelah menutup pintu dan menghela napas, ia menghampiri Il Woo yang sedari tadi menunggu di luar ruangan.

"Nyonya... ada yang bisa saya bantu?" tanya Il Woo sedikit heran menatap majikannya keluar dari ruang rapat sendirian.

"Kita bisa pulang lebih dulu! Itu yang dikatakan Yang Mulia," jawab Hana sambil memijat pelipisnya untuk menghilangkan sedikit pusing yang menyerangnya.

"Anda sedang sakit, Nyonya?"

"Aku hanya sedikit pusing, tapi aku baik-baik saja."

"Saya mengerti!"

Mereka berdua memasuki limosin dan meninggalkan area kantor Taeyang Group. Mengamati wajah gadis di depannya ini membuat Il Woo khawatir.

"Nyonya... menurut anda apa itu kesendirian?" Il Woo mencoba membuka pembicaraan.

Hana yang semula menatap keluar jendela mobil mengalihkan perhatiannya pada pemuda yang sedang mengajaknya berbicara ini.

Merasa tidak mendapat jawaban Il Woo meneruskan apa yang ada di pikirannya.

"Kesendirian itu ketika kita benar-benar mengurung diri kita dengan benteng yang kita bangun sendiri dan mengusir siapa pun yang mencoba memasuki area pertahanan kita."

"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?"

"Hanya mengatakan apa yang terlintas di pikiranku saja!"

Hana terlihat termenung. "Kesendirian itu seperti kopi. Sebanyak apa pun kau mencoba menambahkan gula, rasa pahitnya tidak dapat sepenuhnya menghilang. Mungkin benar kesendirian itu seperti benteng tapi sekuat apa pun kita berusaha untuk ceria jika hati kita belum siap tetap saja kita akan merasakan sepi, kesendirian adalah jalan terakhir yang akan kita pilih."

Setelah tak ada yang dapat dibicarakan lagi, mereka berdua pun terdiam. Il Woo tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Ia yang selalu ceria bisa dengan muda tertular kekalutan gadis ini. Ada sesuatu di dalam dirinya yang berteriak tentang kepedihan yang sama. Karena itu ia mengerti dengan kiasan antara kesendirian dan kopi itu.

Tidak lama limosin mereka berhenti di area istana timur. Setelah pintu terbuka, Hana segera turun diiringi Il Woo dan beberapa pelayan di belakangnya.

"Tidak bisakah kau pergi dalam waktu yang cukup lama?" suara berat Jae Jun menghentikan langkah Hana untuk menaiki tangga.

Di ruang tengah Jae Jun berdiri bersindekap di kusen pintu. Hana hanya menatap pemuda itu datar. Sebenarnya dirinya sudah terlalu lelah dengan cemoohan pemuda itu.

"Aku senang mendapatimu tidak berada di rumah pagi ini. Jadi mengapa kau harus repot-repot kembali lagi?"

Hana tetap bergeming.

Il Woo bahkan sedikit terkejut mendapati putra mahkota yang biasanya irit bicara sekarang terlihat sangat out of character, terlepas dari semua kata dan pandangannya yang tajam.

"Sekuat dan sekeras apa pun kau mencoba menggantikan tempat ibuku, itu tidak akan berhasil. Sekali wanita murahan selamanya akan tetap menjadi wanita murahan," ucap Jae Jun santai.

"Kau..." desis Hana. Ia benar-benar murka sekarang.

Melihat seorang pelayan berjalan mendekat ke arah Jae Jun dengan membawa segelas jus berwarna hijau, dengan langkah cepat ia segera mengambil gelas itu dan menuangkannya tepat di wajah tampan anak tirinya itu. Pemandangan itu membuat semua orang yang melihat membelalakan mata.

"Jaga bicaramu! Jika aku memang seorang gadis murahan, tidak seharusnya kau mengucapkan itu. Tidak kah kau tau sopan santun?"

Jae jun menggeram kesal. Ini pertama kalinya ada seseorang bernyali tinggi melawan dirinya dengan menyiramnya dengan segelas jus.

Tanpa mengatakan apa pun lagi Hana segera meninggalkan tempat itu disusul beberapa pelayan pribadinya. Setelah membubarkan para pelayan yang melihat tontonan gratis itu, Il Woo menatap Jae Jun datar.

"Kuharap kau jangan mencemoohnya, hidupnya sudah terlalu sulit di sini!"

Jae jun menatap Il Woo tajam. "Jadi sekarang kau berpihak padanya?"

"Aku tidak berpihak padanya. Aku hanya kasihan padanya karena mendengar kata-kata pedas darimu," balas Il Woo menatap putra mahkota dengan sama tajamnya.

"Jung Il Woo... sebenarnya kau itu sahabatku atau siapa sekarang?"

"Aku tahu kehadirannya di keluarga ini membuatmu tidak terima. Aku sangat tahu Jae Jun. Tapi... gadis itu tidak jauh berbeda denganmu. Karena dia terlalu mirip denganmu, aku jadi kasihan padanya."

"Jangan mencoba menasehatiku dan membela wanita murahan itu di depanku," geram Jae Jun tidak terima jika dirinya disamakan dengan gadis selingkuhan sang ayah.

"Tidak selamanya apa yang kau lihat itu benar, adalah kebenaran yang sesungguhnya. Mungkin malah sebaliknya. Setiap hal memiliki arti masing-masing sesuai bagaimana cara pandang kita melihatnya," Il Woo memegangi dadanya.

Meski pun terlihat mustahil, ia ingin melihat senyuman gadis itu. Karena ia tahu seperti apa perasaan gadis itu.