webnovel

7. Green Paprika

Setelah tiga hari berlalu tanpa ketukan teror di siang bolong, Kurnia berasumsi bahwa Aristo telah memutuskan untuk pergi dari kehidupan Diandra—dan Kurnia—selama-lamanya.

Oke.

Selama-lamanyaaaa....

"Kakak lo beneran belum pulang?"

Aah, rasanya Kurnia ingin sekali meneriakkan kata itu tepat di depan wajah Aristo sekarang.

"Udah jam empat sore. Masa sih dia belum pulang jam segini."

"Yeah." Kurnia menyahut jengkel. Benar-benar merepotkan. Ia langsung melirik ponselnya ketika benda itu bergetar. Akhirnya Diandra menjawab pesannnya.

Diandra: Gw msh di sklh ni, ada tugas kelompok. Bilangin sama Ibu, Kur 16.18

Kurnia mengerinyit. Dasar, seenaknya saja menyuruh-nyuruh. Ia kemudian mengangkat pandangannya dari ponsel kepada Aristo. "Kakak gue ada tugas kelompok katanya. Ngerjainnya di sekolah."

"Yaah," desah Aristo kecewa.

Kurnia memutar bola mata. "Lagian lo itu, udah nggak ada harapan juga masih aja datang. Maksa amat. Lo nggak capek pulang-pergi naik bus kota tanpa hasil? Lo itu kurang kerjaan atau apa."

Aristo tidak menjawab. Menghempaskan tubuhnya di sofa lalu meraih remote televisi dan dengan seenaknya menyalakan televisi. Kurnia gusar melihatnya, tapi ia sudah benar-benar kehabisan energi bahkan hanya untuk bereaksi dan menggampar kepala Aristo dengan vas bunga yang ada di atas meja di dekatnya.

"Eh Kurnia, teman kamu datang?"

Kurnia melirik lambat ketika mendengar suara ibunya. Wanita itu baru saja turun dari tangga. Sementara itu Aristo terkesiap dan langsung menurunkan kakinya dari sofa. Tersenyum sopan dan sedikit malu.

Ibu Diandra balas tersenyum. "Nggak apa-apa. Kamu teman Kurnia yang waktu itu 'kan? Anggap saja di rumah sendiri."

Dan Kurnia langsung mendelik ketika Aristo kembali mengangkat kakinya ke atas sofa setelah membalas, "Oke, Tante." Dasar tidak tahu diri.

"Kamu kok nggak bilang kalau teman kamu datang, Kur? Nggak kamu buatin minum juga. Kamu ini gimana."

"Ah, nggak perlu repot-repot, Tante."

I smell bullshit, maan.

"Lagian saya juga nggak punya urusan penting-penting banget, sebenarnya. Cuma ingin main aja," tambah Aristo sambil menggaruk tengkuknya.

"Iya, Bu. Dia memang gak penting," timpal Kurnia datar—mengacuhkan delikan dari ibunya. Dia melanjutkan, "Oh iya, tadi Diandra bilang dia ada kerja kelompok hari ini, jadi dia masih di sekolah sekarang."

"Ah, pantesan aja dia belum pulang-pulang," sahut wanita itu. "Jam berapa kira-kira dia udah pulang? Perlu dijemput, nggak? Bilangin ke dia supaya jangan pulang terlalu larut."

Kurnia duduk di samping Aristo seraya merespon singkat, "Santai aja, Bu. Nggak akan ada yang mau nyulik orang kayak dia. Rugi."

Wanita itu langsung menghardik tajam perkataan putranya itu. "Hush, jangan asal bicara kamu. Peduli dikit dong sama kakakmu."

Kenapa harus? Dia aja gak peduli kalo gue tersiksa batin tiap minggu karena orang gila yang ngegebet dia nggak punya otak.

———————————————————————

"Oi, pecundang! Letakin kursinya, bego! Lo bisa mecahin kepala gue."

"Memang itu tujuannya, Kadet," ujar Aristo dengan nada mencemooh. "Lo kira untuk apa gue matiin pengaturan DQ-nya tadi?"

"Hah payah, lu. Bilang aja lo nggak bisa menang kalo hanya dengan tangan kosong." Jari Kurnia memutar tuas dualshock*-nya dengan semakin bengis. Brock Lesnar turun dari ring gulat. Mengambil sesuatu di bawah ring. Jeng ... jeng ... kursi lipat.

[*Nama game controller Sony Playstation]

"Lo memang plagiator," desis Aristo setengah jengkel. "Sini, naik lo cepat. Maju hadapin gue."

"With pleasure, Sir." Seringai kecil berkembang di bibir Kurnia. "Kita lihat kepala siapa yang bakal bocor duluan."

Brock Lesnar naik kembali ke ring dengan kedua tangannya yang memegang kaki kursi lipat. Pria itu mendekati Triple H yang juga memegang kursi.

Kurnia bersiul, "The show begin."

Aristo tersenyum masam. Dia berpotensi kalah melawan Kurnia yang jari-jarinya lincah dan jelas sudah terbiasa. Pemuda itu mendesah pelan ketika lagi-lagi merasakan dualshock di tangannya sedikit tergelincir. Grip-nya tidak sekokoh milik Aristo yang ada di rumah—tentu saja. Ia sudah asing dengan Playstation 2 dan sepaket perangkat kerasnya. Dia memang pernah punya konsol ini dulu—tetapi ia sudah menjualnya ke situs pasar online barang-barang bekas sebelum digantikan dengan Playstation 4 yang dibanderol dengan harga lima juta ke atas.

Tentu saja Aristo tidak akan protes dan mengatakan bahwa masalah kecil itu lah yang membuatnya kalah dari Kurnia. Yang benar saja. Hanya pecundang yang mencari-cari alasan.

Tapi pemuda itu mengakui kalau Kurnia sekarang memang sedang dalam posisi yang lebih unggul darinya.

Kurnia dengan semangat menggerakkan tuas dan menekan tombol-tombol di game controller-nya. Brock Lesnar memukuli badan Triple H dengan kursi secara beruntun. Kursi yang awalnya dipegang lawannya itu sampai lepas dan jatuh ke lantai ring.

"Woah, lihat siapa yang sedang terdesak," ucap Kurnia dengan nada lambat yang menyebalkan.

Aristo meringis kecil ketika melihat pionnya terhuyung-huyung dan mendapati kondisi kritis di bagian tubuh atas pionnya. Dan sekarang pukulan Brock Lesnar sudah mulai mengarah ke kepalanya. Heh, gawat bisa-bisa—

"Kurniaa ... belikan paprika hijau ke supermarket dong, Nak!"

"Hah?" Kurnia mendadak menautkan alisnya sebal. Dan semakin jengkel ketika Aristo yang duduk di sampingnya menirukan suara desahan panjang bagai penonton yang kecewa—"Ooooooooh."—yang lebih mirip dengan olok-olokan.

Kurnia geram. Memutuskan untuk mengacuhkan panggilan ibunya. Ia menekan tombol dengan semakin bernafsu. Kursi menghantam kepala Triple H berkali-kali. Kurnia bisa melihat lawannya itu berusaha menangkis dan sekali-kali mencari celah untuk menghantamkan tinju padanya—usaha yang sia-sia.

"KURNIAA!"

Suara ibunya sudah naik satu oktaf. Kurnia mengerang pelan, "Ck, apaan sih Bu," lalu menekan tombol pause untuk menjeda permainan. Ia berdiri dan menghempaskan game controller-nya ke atas sofa. Mengancam Aristo agar tidak menekan tombol play sebelum ia datang. Anak itu kemudian berjalan menuju dapur—arah datangnya suara menggelegar ibunya.

Aristo hanya terbahak memandang punggung Kurnia. Ia bisa mendengar percakapan ibu dan anak itu dari dapur.

"Beliin paprika, minyak goreng, ... ah, Ibu buatin deh daftarnya—nanti kamu lupa. Lauk kita nggak cukup sampai besok pagi. Jadi Ibu mau masak omelet besok pagi. Memangnya kamu mau nggak sarapan besok?"

"Yaah, tapi 'kan Ibu bisa beli sendiri."

"Kamu anak durhaka, ya. Mau Ibu kutuk?"

"Jangan dong, Bu."

"Makanya pergi sana. Supermarketnya dekat aja juga. Kamu 'kan bisa naik sepeda."

"Iya, iyaa."

"Ini daftar belanja sama uangnya. Kembaliannya jangan dilarikan."

Aristo ngakak ketika melihat wajah kusut Kurnia keluar dari dapur. Anak itu berjalan menghampirinya dengan lesu.

"Gue mau pergi ke supermarket sebentar. Jangan di-play du—"

KA BOOM.

"Arrggh ... anjir, Kurnia!" ringis Aristo diselingi umpatan ketika Kurnia tanpa aba-aba meledak dan menendang lutut kirinya dengan kekuatan yang tidak kira-kira. Aristo sampai merasa ingin berguling-guling di lantai. Serangan tersebut membuat pemuda itu kaget dan menjatuhkan game controller yang ada di tangannya ke lantai, membuat ia mendapat bonus tendangan di tulang keringnya dari Kurnia.

Tapi setidaknya Aristo berhasil melancarkan teknik spesialnya untuk menghajar si Brock Lesnar andalan bocah tengik itu.

Kurnia menatap nanar layar televisi.

Triple H menendang perut Brock Lesnar—yang kepalanya sudah berlumur darah—dengan lututnya lalu membekuk kedua tangan lawannya itu ke belakang punggung. Pria berambut pirang keriting itu kemudian memasukkan kepala lawannya di celah kedua paha atasnya dan—peristiwa selanjutnya sebaiknya tidak perlu dideskripsikan.

"This is Smack Down,"Aristo bersenandung.

"Diam lo,"cela Kurnia. "Dasar licik. Udah gue bilang jangan lanjut permainanya dulu, anjing lo memang."

Aristo tertawa ringan. Kemudian kembali menggerakkan tuasnya dan membanting lawannya sampai jatuh ke lantai ring. Triple H membekuk kaki Brock Lesnar, berusaha menahan semua pergerakan pria itu.

Wasit dengan seragam garis-garis hitam-putih vertikal datang mendekat dan mulai menghitung.

.

Three...

.

.

Two...

.

.

.

One!

.

.

Bel berdenting nyaring. Triple H menang. Aristo tertawa setan. Kurnia menoyor kepala pemuda itu.

"Ya elah, ini cuma permainan, Kur. Nggak usah marah segitunya, oi," ringis Aristo.

Kurnia memutar bola mata. Ia tidak marah. Ia hanya kesal. Sangat kesal sampai merasa ingin menghajar Aristo dengan smack-nya Undertaker—salah satu yang cukup mudah ditiru.

"Terserah, deh. Lagian gue mau pergi ke supermarket. Lo tunggu di sini aja sambil nge-game. Lo boleh utak-atik kumpulan game gue. Asal jangan ganggu gugat mission dalam setiap game gue."

"Huh?" Aristo langsung meletakkan game controller di tangannya ke atas sofa mendengar hal itu. "Gue ikut lo aja deh." Pemuda itu berdiri dari sofa. "Gue segan sama nyokap lo."

Kurnia menatap Aristo, berpikir sejenak. Kemudian, "Lo bisa pake sepeda kakak gue. Supermarketnya dekat kok."

"Oh? Supermarket di mal yang waktu itu?"

"Nggak. Di situ mahal. Ada satu lagi, yang berdiri sendiri. Lebih dekat lagi dari sini."

"Rumah lo strategis, ya," gumam Aristo.

"Memang itu alasan kami pindah dulu," sahut Kurnia datar. "Ayo cepetan."

"Oke." Aristo kemudian mematikan konsol permainan. "Sepeda Diandra nggak terlalu feminin 'kan?"

"Menurut lo? Apa kakak gue bahkan kelihatan feminin?"

Aristo menyeringai kecil. "Dia terlalu netral. Saking netralnya jadi cocok main drama psikologi dengan plot twist."—tapi keren, dan gue suka.

"Tuh, lo tahu."

———————————————————————

Kurnia mengucapkan terima kasih pada staf wanita di supermarket yang telah memberitahunya rak tempat garam berada. Kurnia—jujur saja—meskipun sering ikut bersama keluarganya saat belanja bulanan, ia tidak pernah memperhatikan, apalagi mengingat-ingat, tempat di mana barang-barang kebutuhan pokok berada. Dia hanya akan sibuk mencari rak cemilan.

"Kenapa gue yang harus megangin keranjangnya coba?"

"Ck, berisik lo." Kurnia mengambil garam dapur lalu menghempaskannya pelan ke dalam keranjang. "Lo sendiri 'kan tadi yang minta ikut. Jadi lo setidaknya sedikit menunjukkan kalo diri lo itu berguna dibawa. Gue nggak perlu pajangan buat dibawa-bawa."

Entah kenapa, Aristo tidak bisa mengendalikan tawanya. Pemuda itu tertawa pelan di belakang Kurnia. Rasa geli familiar ketika mendengar ucapan semacam itu menjalar di perutnya.

Kurnia sendiri tengah mengernyit memandang daftar belanja yang sebenarnya isinya tidak terlalu banyak. "Sekarang paprika hijau, sama daun bawang juga ... mm, pasti satu rak," gumamnya. Anak itu kemudian celingak-celinguk dan akhirnya matanya menangkap rak dingin tempat buah-buahan dan kotak-kotak susu serta minuman segar.

Kurnia langsung melangkah ke sana. Aristo hanya pasrah mengikuti dari belakang.

Sesampainya di rak yang dituju, Kurnia langsung menjumpai bahan yang dicari-carinya lalu langsung mengambilnya masing-masing satu kemasan piring styrofoam yang dibalut plastik bening, baik untuk paprika maupun daun bawang.

"Satu pack aja paprikanya?"

"Iya. Cuma untuk buat omelet besok pagi kok. Itu isinya juga udah tiga buah. Lagian paprika mahal."

"Ada lagi?"

"Minyak goreng. Anjir, yang dua liter. Berat deh bawaan gue nanti."

"Kan nanti gue bisa bantu. Nanti lo minta aja mbak kasirnya supaya palstik untuk daun bawang dan paprika dipisah sama minyak goreng dan garam."

"Oh, oke." Kurnia mengangguk. Mulai berpikir kalau ia tidak menyesal membiarkan Aristo ikut dengannya. Mereka kemudian berjalan mencari rak minyak goreng yang ternyata tidak terlalu jauh dari rak buah dan sayur.

Kurnia menemukan merek dan isi bersih minyak goreng yang sesuai dengan permintaan ibunya di daftar belanja. Ia mengangkatnya dari rak dan memasukkannya ke dalam keranjang. Tetapi anak itu langsung terkesiap saat ia selesai memasukkan kemasan minyak goreng dan mengangkat pandangannya dari keranjang.

Aristo mengangkat alis melihat reaksi Kurnia. "Apa?" tanyanya. "Lo encok cuma gara-gara angkat minyak dua liter?"

"Enggak, bego," sanggah Kurnia. Anak itu kemudian sedikit berseru, "Diandra!"

"Hah?" Aristo langsung membalikkan badannya mendengar hal itu.

Dan benar saja, tidak jauh di belakangnya Diandra sedang berjongkok dengan seorang pemuda yang berdiri di belakangnya. Mereka berdua memakai seragam olahraga yang sama—yang artinya mereka satu sekolah—dan berada di depan rak cokelat batangan yang biasanya digunakan untuk membuat kue.

"Lo ngapain di sini? Bukannya lo kerja kelompok di sekolah?" tanya Kurnia dengan nada terkejut. "Lo bohong, huh. Rupanya lo lagi kencan."

Diandra melotot mendengarnya. Dia nyaris saja membalas ucapan adiknya jika saja Aristo yang menemani Kurnia mendadak maju dan mencengkram kerah baju Ardi.

"Lo—" Tatapan intimidatif Aristo menghujam Ardi. "—lo bahkan satu sekolah sama Diandra, huh." Kepalan tangan Aristo yang mencengkram kerah Ardi bergetar. Ingin sekali melayangkan tinju—tentu saja. Jika dipikir-pikir, memang Aristo tidak pantas untuk marah. Tapi ia tidak bisa tidak marah. Ia hanya ingin marah. "Heh, pengecut lo. Diam-diam rebut incaran orang. Maksud lo apa?"

"Gue nggak ngerti kenapa lo merasa pantas nonjok gue," balas Ardi tenang ketika kepalan kanan Aristo mulai terangkat. "Gue nggak salah 'kan. Bukannya lo ditolak."

Nah 'kan.

"H-hei." Diandra berusaha menengahi, menurunkan paksa tangan Aristo. "Tenang. Lo—ck," Diandra mendecak. Ia tidak tega memarahi Aristo. Ia juga tidak ingin. "Gue berulang kali udah minta maaf 'kan soal itu? Gue nggak bisa nerima lo, karena gue memang ... yeah, memang nggak suka sama lo. Oke?" Diandra tersenyum canggung. "Nggak apa-apa 'kan?"

Tolong jangan bilang kayak gitu. Aristo menurunkan tangannya. Ia tentu saja jauh lebih suka saat Diandra menolaknya mentah-mentah, menendang lututnya, dan memasang wajah jutek terhadapnya tanpa ada seorang pun yang sudah berdiri di samping gadis itu.

"Oi, oi." Kurnia tiba-tiba menarik kerah baju Aristo ke belakang, agar pemuda itu menjauh dari Ardi. Anak itu menatap Aristo dengan sorot mata calm-down-fucker.

Aristo melengos. Menghela napas kemudian menyelipkan kedua tangannya di saku jaketnya. Berusaha meredam kelabilannya. "Sorry," ucapnya kemudian.

Ardi menggaruk tengkuknya canggung. "Well, gue juga minta maaf," ucapnya. "Gue nggak bersaing terang-terangan—"

Diandra mendengus jijik mendengarnya.

"—tapi gue memang udah lama suka sama Diandra. Tiba-tiba aja dia nembak gue, jadi ... yah ... gak mungkin gue sia-siain."

Aristo melirik tidak percaya pada Diandra sementara gadis itu melengos dan tersenyum kesal seraya menginjak kaki Ardi.

Ardi meringis. Berusaha mengabaikan Diandra. Dia melanjutkan, "Lo boleh tinju muka gue lain kali—jangan di tempat umum."

"Gue nggak sabar nunggunya."

"Tapi gue minta; lo tolong jangan datangin rumah Diandra lagi. Dia dongkol setengah mati dan sasaran tembaknya gue, kadang-kadang."

Aristo tidak menjawab.

Diandra berdehem. "Jadi, kalian kenapa ada di sini?"

Kurnia memutar bola mata. "Harusnya kami yang nanya. Kalian kenapa bisa ada di sini? Bukannya tadi lo bilang lagi ngerjain tugas kelompok di sekolah? Dan gue sendiri disuruh beli bahan buat omelet besok pagi, ngomong-ngomong."

"Oh," tanggap Diandra datar. "Kami latihan untuk tugas kelompok Seni Musik di sekolah tadi. Dan besok juga ada kerja kelompok ngebuat cornflakes cokelat. Ini lagi nyari bahannya. Teman-teman sekelompok yang lain seenaknya nitip ke kami," jelasnya jengkel.

"Huh, cornflakes? Di sekolah lo ada pelajaran memasak?"

"Agroindustri," koreksi Ardi.

"Bukannya agroindustri biasanya pake bahan-bahan baku pertanian?"

Diandra mengedik malas. Hanya mengambil sekotak cokelat dari rak lalu melemparkannya ke keranjang yang dipegang Ardi.

———————————————————————

"Jadi itu Ardi," gumam Kurnia begitu mereka keluar dari supermarket sambil menenteng tas plastik belanjaan. Anak itu kemudian menyuruh Aristo berhenti berjalan dan menghadapnya.

"Apaan."

Kurnia untuk sementara tetap menatap wajah Aristo dengan seksama sebelum kemudian berkata ringan, "Iya sih, muka lo lebih flamboyan. Tapi si Ardi lebih kalem dan berkepala dingin."

"Sialan lo."

Kurnia tertawa santai. Menghampiri sepeda mereka yang terparkir di halaman supermarket. Kurnia menggantungkan plastik yang dipegangnya ke stang sepeda. Dan tiba-tiba saja Aristo datang dan menggantungkan plastiknya ke stang sepeda Kurnia yang satunya lagi.

"Oi, apa-apaan ini," protes anak bungsu itu. "Lo bilang mau bantuin gue bawa barangnya pulang."

Aristo tersenyum singkat. "Diandra aja yang bantu lo. Dia nggak punya kendaraan 'kan? Biar nanti dia sekalian pulang ke rumah." Aristo kemudian menoleh ke belakang dan melihat Ardi dan Diandra sudah keluar dengan kantung belanjaan mereka. "Nah, mereka udah keluar tuh. Gue langsung pulang aja, supaya nggak perlu jalan jauh-jauh lagi ke halte. Bye."

Kurnia menatap heran punggung Aristo yang berlalu dengan santai.

"Si Filo pulang?"

"Huh?" Kurnia menoleh. Kakaknya sudah berdiri di dekatnya. Anak itu mengangguk singkat. "Nih, lo bantuin gue bawa belanjaan Ibu pulang," pintanya seraya mengangkat kantung plastik berisi paprika dan daun bawang.

"Eh? Jadi belanjaan gue—"

"Biar gue aja yang bawa." Ardi menarik kantung plastik belanjaan dari tangan Diandra lalu memasukkannya ke ransel sekolahnya. "Lagian belanjaan kita nggak banyak. Cuma cornflakes, cokelat batang, sama kertas kue."

"Tapi besok lo jangan lupa bawa."

"Iya, tenang aja lo."

Diandra kemudian berjalan menuju sepedanya dan menggantungkan kantung yang diberikan Kurnia ke stang sepedanya. Gadis itu berhenti sejenak—berpikir. "Lo naik angkot?"

"Ya iya lah." Ardi mengerinyit. "Mau lo?"

"Gue antar."

Ardi mengekeh bingung. "Hah?"

"Naik." Diandra menginstruksikan Ardi untuk naik ke belakang sepeda dengan dagunya. "Berdiri di belakang. Ada pijakan kaki tuh."

Sekarang giliran Kurnia yang heran. "Hah? Memang rumahnya dekat?"

"Lumayan dekat kok. Makanya selama UN gue sering kabur ke rumah dia," jawab Diandra.

"Oh." Berarti gue nggak salah selama ini menganggap si Aristo gila, pikir anak itu. "Kalo gitu, gue duluan deh."

Sepeda Kurnia melesat, menyisakan Ardi yang menatap Diandra ragu.

"Sanggup lo?"

"Sepele lo. Kalau pun gue nggak sanggup, itu artinya lo harus diet."

Ardi mendelik. Berjalan mendekati sepeda itu dan menarik bahu Diandra. Memintanya turun dari bangku kemudi. "Gue aja yang bawa sepedanya. Gue nggak mau kita jatuh." Kini pemuda itu yang duduk di bangku sepeda. "Lo naik di belakang. Badan gue pasti lebih berat. Lo kurus-pendek habisnya."

"Pendek pala lo." Tapi akhirnya Diandra naik ke belakang juga. "Jangan sampai kantong di stangnya jatuh. Gue seret ke hadapan nyokap gue lo nanti."

"Santai aja. Pegangan."

"Ugh—oi, jangan mendadak zig-zag, bego! Lo sengaja 'kan.