Kurnia sudah mengirim pesan singkat via LINE sehingga Aristo dapat berjalan dengan yakin menuju halaman belakang rumah Diandra. Seperti perjanjian, Kurnia membiarkan pintu belakang tidak terkunci dan menjamin kemulusan langkah Aristo.
Pemuda itu mulai mendengar suara-suara yang berasal dari televisi ketika ia sudah memasuki ruang makan. Aristo kemudian mengintip hati-hati dari kusen pintu. Diandra tampak serius menonton—meski matanya terus menampilkan tatapan minim ekspresi. Aristo beralih pada Kurnia, dan mendapati kalau anak itu ternyata tengah menatapnya.
Aristo menaikkan alis.
Kurnia mengangguk. Mengancungkan jempol sembunyi-sembunyi.
Aristo keluar dari ruang makan. Berjalan pelan memasuki ruang tengah. Mendekati sofa tempat Diandra dan Kurnia duduk. Diandra tampaknya terlalu fokus dengan makan siang dan tontonanya sehingga belum menyadari kehadiran Aristo—sampai tiba-tiba pemuda itu berdiri di depan layar televisi LCD, menghalangi pandangan Diandra.
Gadis itu membelalak dengan nasi yang masih memenuhi mulut. Menggemaskan—pikir Aristo. Gadis itu meletakkan piringnya ke meja dan sepertinya akan beranjak jika saja tidak ada Kurnia yang sedari tadi ternyata sudah bersiap menahan kedua lengannya.
——————————————————————
Diandra bersumpah kalau hari ini ia tidak mendapat perasaan buruk sedikitpun. Itulah sebabnya dia terkejut sejadi-jadinya ketika kemalangan seperti ini menimpanya.
Dua pria yang peringainya sebelas dua belas dengan iblis itu akhirnya bekerjasama—ini benar-benar di luar prediksinya. Argh, bodoh banget gue. Gadis itu mengutuki dirinya dalam hati. Kenapa ia tidak pernah terpikir kalau kondisi Kurnia yang jengkel dan ingin Aristo menyelesaikan urusannya secepatnya bisa menciptakan simbiosis mutualisme di antara keduanya?
Gadis itu dengan pasrah mengunyah nasi di mulutnya dan menelannya. Aristo yang memperhatikan gerak-gerik Diandra sejak tadi tiba-tiba berjalan ke dapur dan kembali dengan segelas air putih. Pemuda itu kemudian menyodorkannya pada Diandra. "Minum dulu."
Gila.
Apa mereka berdua sedang disewa oleh reality show? Atau sebaliknya—Aristo yang menyewa kru reality show-nya? Jika itu benar, pasti akan ada pertanyaan semacam; Apakah kamu, Diandra Putri, menyukai Filo Aristo Cakra? Tolong jawab yang jujur, sejujur-jujurnya, dari hati yang terdalam.
Diandra—jujur—merinding membayangkannya.
"Minum, Din,"pinta Aristo lagi ketika mendapati Diandra tidak menyentuh gelasnya.
Diandra akhirnya meminum air itu. Berhubung kedua tangannya ditahan Kurnia di belakang, Aristo-lah yang memegangi gelas. Aristo menatap Diandra sambil menyodorkan gelas sampai bibir gadis itu menyentuh tepi gelas.
"Nafsuan banget lo lihat kakak gue minum. Tahan, bro," celutuk Kurnia tidak tahu tata krama.
Aristo mendelik pada adik Diandra itu.
Sementara Diandra tampaknya tidak peduli dengan itu. Gadis itu memang meneguk air putih dengan ekspresi tertekuk—tapi ekspresinya itu lebih ditujukan kepada apa yang akan terjadi setelah ini.
"Apa-apaan ini?" mulai Diandra tajam.
Aristo tersenyum charming seperti biasa. "Sorry," ucapnya. "Karena lo nggak pernah mau peduliin gue setiap kali gue datang, jadinya gue harus pakai cara begini."
Wajah Diandra semakin berkerut murka. Gadis itu kemudian mengalihkan tatapannya dengan cepat kepada adik laki-lakinya. "Dan lo. Ini maksudnya apa? Bukannya lo nggak pro sama Aristo? Dasar pengkhianat."
"Whoa, whoa." Kurnia memasang ekspresi pura-pura syok. Diandra semakin ingin menampol anak itu saat melihat seringai bertengger manis di bibirnya. "Gue 'kan juga nggak pernah bilang kalo gue ada di pihak lo. Gue cuma mau masalah kalian cepat selesai. Baik 'kan gue?"
Baik kepala lo, batin Diandra gusar. Ini akan jadi peristiwa horor kedua setelah insiden pencurian ciuman di perpustakaan dalam catatan hidupnya.
"Sekarang kalian mau apa?" Seperti biasa, Diandra adalah straight-forwarder. "Dan sebaiknya jangan macam-macam. Kalo nggak, gue teriak ke Ibu."
"Kami nggak akan macam-macam, kok," balas Kurnia. "Kalo si sableng ini berani macam-macam, gue bakal pindah haluan dan tonjok mukanya. Secara, lo tetap kakak gue."
"Kalo gitu lepasin tangan gue!" Diandra menggerak-gerakkan lengannya risih.
"Lo harus janji dulu untuk nggak kabur."
Diandra menatap benci Aristo. Tapi akhirnya ia memejamkan matanya sejenak dan menghembuskan napas perlahan. "Gue janji."
Aristo memberi instruksi pada Kurnia. Anak itu kemudian melepaskan tangan Diandra.
Kurnia kembali duduk bersender santai di sofa. Berujar, "Sekarang silahkan mulai acara kalian," dan mengambil sebungkus kacang polong dari balik bantal sofa.
Sialan ni bocah. Dia nyiapin cemilan, cela Aristo dalam hati.
Sementara Diandra sudah tampak tidak sabaran. "Jadi?" ucapnya cepat.
Aristo menggaruk canggung tengkuknya. Entah kenapa di saat-saat seperti ini dia malah bingung mau berkata apa. "Hmm ... err—mau coba kencan dengan gue?"
"Nggak."
End.
Of.
Story.
Kurnia terbahak di tempat.
Aristo menyumpah dalam hati supaya anak itu tersedak kacang polong dan berakhir di UGD.
Diandra bersiap-siap untuk mengambil piringnya dan beranjak. Tapi menyebalkannya, Aristo selalu menahan lengannya di detik-detik ketika ia akan kabur.
"Sekali lagi aja, Din. Gue minta kesempatan."
"Nggak. Gue nggak mau." Diandra menyentak lengannya kasar. "Lagian kenapa lo terobsesi segitunya sama gue? Apa sih yang lo lihat dari gue?"
"Gue suka pertanyaan lo, Kak."
Diandra mengabaikan bocah itu.
Aristo mendesah. "Kenapa lo nggak mau beri gue peluang?"
"Jangan balas pertanyaan dengan pertanyaan." Diandra mendengus kesal. Ia menarik napas. "Tapi kalo lo memang mau tahu, well, gue nggak beri lo peluang karena gue gak suka sama lo. Sedikit pun. Gue naksir orang lain."
Batin Aristo mencelos. Wah, ternyata lebih menyakitkan dari yang waktu itu, pikirnya. "Siapa?"gumamnya pelan. "Yang lo suka ... siapa?"
"Ardi."
Alis Aristo naik. "Ardi?"
"Iya, Ardi. Ardi—Lazuardi Prasetya. Lo lupa?"
"Lazuardi—a-apa." Aristo sedikit terperanjat. Langsung ingat pada mantan teman sekelasnya yang pendiam—diam-diam makan dalam—itu. Pemuda itu memang ada sedikit curiga pada Ardi semenjak acara perpisahan di hotel. Tapi ia tidak menyangka kalau kecurigaannya itu benar.
"Tapi 'kan gue masih bisa punya kesempatan, seharusnya," dalih Aristo.
"Nggak bisa, Filo. Gue pacaran sama dia."
"Wa-ow."
"Diem lo!"
Kurnia cengengesan ketika kakaknya akhirnya tidak tahan untuk tidak menghardiknya. "Habisnya, gue nggak nyangka kakak gue bisa pacaran. Gue kira lo lesbi. Kenapa lo nggak pernah cerita?" tanyanya meskipun tahu kalau kakaknya itu bukan gadis tipe curhat.
Diandra tidak menjawab. Gadis itu hanya mengambil piringnya dari atas meja kemudian melenggang santai ke kamarnya sambil memakan mie goreng di piringnya.
Aristo hanya bisa menatap punggung gadis itu tidak percaya.
Ketika Diandra sudah menghilang di ujung tangga, Kurnia tertawa terbahak-bahak. "Udah? Gitu aja? Singkat amat durasinya." Ia menepuk-nepuk lututnya. "Gokil deh lo."
Aristo menghembuskan napasnya kesal dan menghempaskan diri ke sebelah Kurnia. Mendapati hal itu, Kurnia langsung menepuk-nepuk bahu Aristo dengan kencang. Pemuda yang lebih senior itu berdecak risih dan menepis kasar tangan Kurnia.
Tawa Kurnia mulai mereda. Ia menyodorkan bungkusan kacang polong pada Aristo. "Nih. Bagus untuk jiwa lo saat ini."
Aristo melirik dongkol bungkusan itu sekilas, tapi akhirnya tetap menjulurkan tangannya ke dalam dan melahap kacang polong itu. Mengunyahnya lumat-lumat. Kesal setengah mati. Sedih setengah mati. Galau minta ampun.
Aristo membatin lesu. Apa coba salahnya sampai-sampai ia ditolak dua kali oleh Diandra? Ditambah, dia juga ditikung oleh temannya. Padahal selama ini ia sudah berjuang mati-matian. Ah, apa ini karma karena gue sering putus-nyambung sama cewek? Tapi yang benar aja, meskipun predikat gue playboy, gue nggak sebrengsek itu sampai pantas dapat karma. Gue masih tahu batas.
Kurnia tidak bisa menahan rasa geli di perutnya ketika melihat tampang letoy Aristo. Kurnia kembali menyodorkan bungkus kacang polongnya. "Mau nambah?" Tapi Aristo tidak mengacuhkannya. "Woi,"tegur anak itu.
"Ck, diam dulu lo." Aristo mengusap wajah kemudian menyandar frustrasi. "Gue depresi nih. Kakak lo parah banget sama gue. Masa ngasih kesempatan juga nggak bisa."
Kurnia tertawa dipaksakan sambil memutar bola mata. "Lo tahu dari awal 'kan kalo kakak gue nggak suka, bahkan nggak peduli sama lo. Dia bukan tipe PHP, bego. Harusnya lo bersyukur. Lagian apa lo nggak dengar tadi? Dia udah punya pacar—si Aldi."
"Ardi," koreksi Aristo mendengus geli.
"Ya, ya." Kurnia mengibaskan tangannya remeh. "Ganteng gak tuh anak?"
"Gantengan gue."
"Wow. Nggak bisa gue bayangin. Muka lo aja mirip pantat panci, gimana lagi muka si Ardi itu ya."
"Anjing lo."
Kurnia hanya ngakak sebebas-bebasnya. Aksi Aristo-Diandra tadi itu memang lebih seru dari film romance-comedy manapun. Lebih menyentuh dari drama teater manapun. Asli; mantab jiwa.
"Lo memang..." Aristo nyaris speechless. Melirik raut cengengesan Kurnia dengan penuh dendam. "Menikmati banget ya, huh."
Tapi Kurnia tidak menggubris Aristo. Hanya sibuk tertawa dengan segala nada-nada mengejek yang mampu dikerahkannya.
Aristo menghela napas dalam—usaha menekan kejengkelan agar ia tidak menjejalkan kepala Kurnia ke dalam got. Pemuda itu bangkit berdiri dari sofa dan mencengkram lengan kanan Kurnia dengan tiba-tiba.
Spontan, Kurnia berhenti tertawa dan menatap heran Aristo. Ia juga mengambil ancang-ancang—mungkin si Aristo mau ngajak gue berantem karena kepalang kesalnya.
Tapi Aristo kemudian hanya menarik lengannya. "Berdiri lo."
"H-hah?" Kurnia cengo.
"Berdiri, o'on."
Oke, Kurnia tidak sudi dikatai o'on oleh seseorang yang baru saja ditolak mentah-mentah oleh gebetannya lima menit yang lalu. Anak itu segera bangkit dari sofa. "Lo mau apa sih," erangnya malas.
Aristo membalikkan badan menuju pintu depan, masih menarik lengan kanan Kurnia. "Lo ikut gue."