webnovel

Semangat Yang Membara

Kringgg kringggg...

Bel sudah berbunyi, menandakan pelajaran hari ini telah selesai. Riski sangat bersemangat karena setelah ini ia akan mencari pekerjaan yang cocok untuknya, tapi yang menjadi permasalahannya adalah, dimana ia harus mencari kerja? Bagaimana caranya agar bisa bekerja? Apalagi Riski juga masih belum lulus sekolah, apakah bisa mendapatkan sebuah pekerjaan?

Pertanyaan-pertanyaan yang membuat hati Riski menjadi ragu-ragu. Riski juga tak mau menceritakan masalah ini ke teman sekolahnya, bahkan teman terdekatnya. Karena Riski tak mau di kasihani oleh mereka, Riski masih bisa berusaha dan di kasihani itu rasanya tidak enak.

Riski mengambil tas sekolahnya dan berjalan keluar kelas, dengan langkah yang ragu-ragu, wajah yang di tekuk, dan tangan yang lemas.

"Ahh, yang penting cari aja dulu deh. Aku juga gak mau hidup begini terus! Yuk bisa!" batin Riski mencoba menyemangati dirinya sendiri.

Alhasil, langkah kakinya menjadi semakin yakin, setiap pijakan ia menghempaskannya dengan kuat. Wajah yang kembali sumringah tersenyum lebar seperti bunga yang mekar merokah, dan tangannya yang mengayun dengan penuh arti seakan tangannya sial untuk bekerja.

Setelah berhasil keluar dari gerbang sekolahan, langkah Riski kembali terhenti. Ia memikirkan kemana arah yang di tujunya, ia terhenti cukup lama dengan menengok kanan dan kiri, jalan mana yang akan Riski tempuh.

"Kayaknya aku ke kanan aja deh, soalnya kan tangan kanan baik. Tangan kiri buat cebok dan tangan kanan buat makan, makan yang berarti untuk sebuah rejeki. Oke, kali ini aku akan ke kanan" batin Riski, lalu ia melangkah ke kanan. Masih belum terpikirkan kemana langkahnya akan menuju, yang terpenting sekarang Riski sudah memutuskan ke kanan.

Riski terus berjalan mencari informasi-informasi di sekelilingnya, dengan harapan ada sebuah lowongan pekerjaan yang tidak membutuhkan ijazah. Sesekali kalo ada tiang listrik, Riski juga membaca berita yang ada di sana. Tapi, nihil. Berita di tiang listrik kebanyakan tentang iklan sedot wc.

Riski tak boleh menyerah begitu saja, masa belum apa-apa sudah menyerah duluan. Dengan tekad dan semangat yang membara ia terus berjalan, mengikuti langkah kakinya.

Pandangan Riski tiba-tiba di perlihatkan dengan penjual sayur dan seorang ibu-ibu di sana. Penjual sayur itu di kerumuni oleh banyak sekali ibu-ibu. Apakah Riski bisa seperti orang yang menjual sayur itu?

Riski hanya diam, memikirkan caranya agar bisa seperti orang itu. Yang kerjanya hanya dengan membawa sepeda, yang sudah di modif dengan gerobaknya dan tentu ada berbagai macam sayur dan lauk di sana.

"Apa mungkin jadi penjual sayur keliling aja, ya? Itu bukan ide yang buruk, lagian juga halal. Hmm, menarik" batin Riski dengan mengangguk-anggukan kepalanya antusias.

Riski kembali memikirkannya lagi, "Tapi, bagaimana bisa aku mendapatkan uang untuk membeli gerobak dan sayurnya? Uang jajan aja aku gak ada, bagaimana aku bisa mendapatkan modal? Tidak jadi menarik rupanya" antusias Riski kembali reda setelah memikirkan itu semua, ia hanya terdiam di pinggir jalan.

Bukan Riski namanya jika menyerah begitu saja, ia mempunyai ide yang sangat bagus jika berhasil. Tapi, Riski harus menunggu ibu-ibu itu semua selesai belanja, Riski duduk di trotoar pinggir jalan dengan terus melihat ke arah penjual sayur.

Dari sudut mata Riski, ia terlihat begitu yakin dengan ide ini. Kaki dan tangannya juga merasakan sedikit gemeteran, jikalau rencana yang telah ia susun gagal.

Setelah menunggu kurang lebih 15 menit, penjual sayur itu sudah sepi. Ibu-ibu yang belanja juga sudah pulang kerumahnya masing-masing. Riski berlari menuju penjual sayur itu, setiap langkah kakinya memiliki makna bahwa ini harus berhasil.

Melihat ada anak yang mendatanginya, penjual sayur itu pun menunggu. Mungkin ada yang masih membeli dagangannya, pikirnya.

"Ada yang bisa di bantu, nak?" tanya penjual sayur itu dengan nada yang sangat lembut.

"Ada!" jawab Riski dengan ngos-ngosan.

"Iya, mau beli apa?" tanya penjual sayur itu lagi.

Riski justru menunduk mendengar pertanyaan itu, karena maksud tujuannya kesini bukan untuk membeli sayur dan lauknya.

"Nak? Kenapa diam aja?"

"Mau beli apa, kebetulan ini juga banyak yang habis"

Riski mengangkat wajahnya dan menatap sosok wanita yang sudah tua itu, "Sebenarnya aku mau kerja, boleh nggak aku gantiin ibu? Kasihan ibu juga sudah tua. Masalah gaji, terserah ibu aja deh. Yang penting aku dapat uang untuk jajan dan sedikit menabung untuk biaya ke SMA.."

Mendengar pernyataan Riski yang begitu menyedihkan, membuat wanita tua itu sedikit tersentak kaget. Bagaimana bisa anak kecil ini minta bekerja? Apa ia tidak memiliki orang tua yang memberinya uang jajan? Apa tidak ada yang membiayai sekolahnya?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang berada di kepala wanita tua itu. Lalu, ia mendekat ke arah Riski, "Sini, duduk dulu di sana yuk? Mau?" katanya lembut dan menuntun Riski untuk duduk di sebuah kursi yang terbuat dari semen.

Riski mengangguk hanya jawaban itu yang bisa ia lontarkan.

Setelah mereka berdua duduk, wanita tua itu memperkenalkan dirinya, "Nama aku Widya, kalo nama kamu siapa?"

"Riski" jawabnya singkat.

"Kalo boleh tau kenapa kamu ingin sekali bekerja? Apa orang tua kamu tidak memberi uang saku?" tanya Widya to the point.

"Aku ingin membantu ekonomi ibuku.." jawab Riski dengan menundukan kepalanya.

Widya mengelus rambut Riski dengan lembut, "Memangnya, ayah kamu dimana? Kok ingin membantu ekonomi ibu?"

"Ayah sama ibu sudah pisah, dan aku hidup sama ibu. Ibu bekerja jualan makanan, tapi ya hasilnya dari sana juga buat kakak, aku, dan ibu sendiri. Terus juga buat bayar uang kontrakan rumah, kadang masih kurang. Makanya aku ingin membantu ibu, agar tak kesusahan, dan banting tulang dalam menghidupi aku" jelas Riski dengan air mata yang sudah mulai membasahi pipi yang lenuh jerawatnya.

Widya kaget mendengarkan cerita Riski, hatinya tersentuh dan ikut bersedih, "Kakak kamu ada berapa? Masih sekolah juga?"

"Ada dua, yang satu udah kerja dan satunya lagi masih SMA." jawab Riski dengan jujur.

Widya menghela napasnya dalam-dalam, tak heran jika Riski sangat menginginkan pekerjaan ini. Widya sangat paham, dengan kondisi Riski saat ini. Dan Widya percaya, kalo anak seperti Riski ini berkata jujur dan seadanya. Buktinya dia meneteskan air mata ketika bercerita, itu yang membuatnya semakin yakin untuk membantunya.

"Yasudah, kamu boleh bekerja. Nanti aku jelasin semuanya ya, tapi jangan sekarang. Gimana kalo besok? Kamu besok pulang sekolah jam berapa? Kita ketemuan di sini lagi yaa?" tukas Widya dan berdiri dari duduknya, karena hari juga sudah semakin sore.

"Beneran, bu? Riski boleh bekerja di sini? Ini nggak bohong, kan? Tapi, Riski besok pulang jam 2 siang, kita ketemuan jam berapa kalo boleh tau?" jawab Riski semangat.

"Kita ketemuan di sini jam 4 aja ya, kamu ganti pakaian terlebih dahulu, oke?"

"Okee, kalo begitu Riski ijin pulang dulu yaaa. Makasih atas kerjaannya" Riski mencium tangan Widya dan berjalan pulang dengan cepat.