webnovel

Menciptakan Metode Baru (2)

Ardhi dan Riski kini sudah berada di warnet. Warnet yang tak jauh dari kediaman Riski. Di sini, banyak sekali orang yang bermain game online. Disediakan banyak komputer dengan fasilitas ac, wifi yang super kencang, dan tempat duduk yang nyaman.

Banyak anak muda yang menghabiskan waktunya untuk bermain game, ada yang seharian. Riski tidak tertarik dengan dunia game itu, selain bisa bikin kecanduan, game juga bisa menghabiskan banyak uang. Uang buat ke warnet, membeli camilan, minum, dan membeli kebutuhan di dalam game itu sendiri. Biasanya anak yang menghabiskan uang di game akan mendapatkan sesuatu yang berbeda dari yang tidak melalukan top up.

"Lo mau logo yang kayak gimana, Ris? Inspirasi lo kayak logo apa?" tanya Ardhi setelah menghadap layar komputer.

"Tulisan doang paling. Biar mudah di baca, kan nantinya pelanggan gue kebanyakan orang tua. Jadi, biar gampang aja. Nggak yang aneh-aneh." jelas Riski. Kebanyakan memang logo usaha selalu model yang sulit untuk dibaca dan di pahami maksud dari logo tersebut. Padahal logo berperan penting dalam usaha, agar dapat diketahui oleh banyak orang.

Riski mulai mengedit logo miliknya, di sebelahnya Ardhi juga sangat serius melihatnya. Ardhi baru pertama ini menemukan orang seperti Riski, orang yang gigih dalam usahanya, karena teman-teman yang lain tidak memikirkan hal semacam ini.

Ardhi lalu teringat, "Kan lo belum punya handphone, otomatis lo juga belum punya nomor dong? Kan di kartu nama pastinya akan ada nomor handphone lo." kata Ardhi.

Riski mengambil sesuatu di saku celananya, dan memperlihatkannya pada Ardhi, "Gue udah siapin, Ar. Tenang aja, meskipun gue belum punya handphone, gue nyicil beli nomornya." jawab Riski.

Ardhi tertawa mendengarkan penjelasan Riski, ada -ada saja ulah temannya ini. Padahal nomor kartu juga ada masa aktifnya, "Oh, masih baru ya?" tanya Ardhi melihat masa aktifnya.

"Iyaa dongg, gue beli baru-baru ini aja." jawab Riski yang masih fokus dengan layar konsole. Riski memperhatikan bagian mana yang kurang menarik.

"Bagus tuhh. Sesimpel itu atau mau lo tambahin lagi?"

"Lo ada saran, Ar?"

"Kan usaha lo jenisnya sayuran. Gue cuman saran aja warna hijau, melambangkan sayuran." tukas Ardhi cerdas. Soalnya yang berada di komputer memiliki warna biru, sungguh sangat tidak cocok dengan namanya sayuran. Mana ada sayur berwarna biru? Kalo ada pun pasti sayur yang di tuangkan ke dalam ember cat berwarna biru.

"Oh iya bener juga lo. Pantes gue tadi mikir apa yang kurang, ternyata ini." Lalu Riski mengubah warna logonya menjadi biru. Logo itu nantinya akan Riski tempel di setiap kemasan sayurnya.

"Ris.." ucap Ardhi dengan memandang wajah Riski.

"Iya?"

"Kalo misalnya nanti ada yang pesan sayuran ke lo, tapi cuman sebiji sawi misalnya. Lo bakalan tetap antar itu? Atau ada minimal order agar mendapatkan gratis ongkos kirim? Kalo cuman beli dikit, rugi di elo. Apalagi kalo rumahnya jauh, gimana solusi lo akan hal itu?" tanya Ardhi, hal itu yang ia pikirkan sedari tadi. Tenaga, uang, diperlukan dalam usaha itu. Apalagi hanya membeli sebiji?

"Gue juga sempat bingung akan hal itu, Ar. Tapi, kalo masih pemula gini, dan ini merupakan konsep baru juga. Jadi, gue akan tetap antarkan sayur itu meskipun sebiji. Di kartu nama nanti juga akan gue tulis, biar keliatan menarik aja. Isinya gini 'Pesan berapapun sayur, akan siap diantarkan dengan total'. Bagaimana? Bisa di buat media promosi juga, kan? Biar gampang di ketahui masyarakat semuanya." jelas Riski, ia tetep kekeuh pada pendiriannya. Meskipun ia rugi, tak apa.

"Kalo lo rugi dari sana gimana, Ris? Kalo misalnya ini misalnya, ada orang yang hanya pesan sebiji doang terus?" tanya Ardhi menyakinkan kembali.

"Ahh, gak masalah. Namanya juga usaha, pasti ada ruginya, Ar. Yang gak boleh itu adalah, kalo udan rugi tapi tidak mau berbenah dan akhirnya menyerah. Ingat, Ar, semua orang pasti memiliki rejeki dan tidak tertukar."

Ardhi menghembuskan napasnya, "Iyaa deh, tapi gue juga nggak yakin ada orang setega itu. Masa tega pesen dikit, terus rumahnya jauh."

"Nah, gue juga yakin akan hal itu. Yang membuat gue yakin lagi adalah, memasak kan nggak dengan satu sayuran doang. Pasti ada pelengkap yang lainnya." jawab Riski penuh penekanan yakin.

"Kalo barang pelengkapnya udah ada di rumah bagaimana?"

"Ahh, lo ada aja pertanyaan yang nyeleneh. Pertanyaan yang lain gak ada? Misalnya kalo pesenan gue banyak...." Riski menghentikan ucapannya, ia berpikir bagaimana kalo ada yang memesan dalam satu waktu? Bodoh, Riski belum memikirkan akan hal itu.

"Kenapa?" tanya Ardhi.

"Gimana kalo ada orang yang pesan dalam satu waktu? Sedangkan gue kerja sendirian di sini, jadi mau tak mau kan harus antri. Apalagi gue juga mengirim ada waktunya. Kalo itu terjadi bagaimana? Kalo pelanggan marah-marah ke gue gimana? Kalo pelanggan itu nggak mau antri gimana?" Riski di hantui beberapa pertanyaan yang ia sendiri tak bisa menjawab.

"Tenang, kan lo punya handphone. Jadi siapa yang duluan sms lo atau telfon yang lo duluin. Kalo misalnya ada lagi yang minta, nah lo bilang aja sama pelanggan lo kalo masih antri dan mengirim. Nah, masalah waktunya lo sendiri yang mengira-ngira seberapa jauh jarak rumah yang pertama tadi. Beres kan?" jelas Ardhi dengan sombongnya.

Riski menggeleng-gelengkan kepalanya, "Ya allah, kenapa gue nggak bisa kepikiran akan hal itu ya. Btw, makasih yaa. Benar juga apa yang lo omongin, duluin pelanggan yang pertama ya."

"Betul, nggak usah khawatir akan hal itu. Kalo misalnya usaha lo bertambah besar, pesanan lebib banyak. Ya lo tinggal nyari pekerja lagi, buat packing dan ngirimnya. Gue doain aja bisa besar ya usaha lo." Ardhi menepuk pundak Riski agar semangat kedepannya.

"Makasih atas doanya, Ar. Tapi untuk saat ini gue nggak mau jumawa dulu, nggak mau mikir besar dulu. Karena gue takut kalo mimpi gue bakalan kebesaran, yang penting gue bisa mencukupi pelanggan gue semuanya aja udah senang."

"Iya, tapi untuk mencapai kesana lo juga nggak harus monoton, Ris. Untuk mencapai kesuksesan lo harus ada rencana, ada rencana cadangan dan masih banyak lagi." perintah Ardhi, ia menasehati temannya untuk terus kreatif dalam usahanya. Karena di setiap kreatif itu akan selalu menghadirkan cara untuk berhasil, meskipun terkadang cara kita itu dianggap salah sama orang lain. Tapi, pasti akan ada yang menghargainya.

"Iya, pelan-pelan aja mikirnya. Sambil jalan, ini belum di mulai aja gue udah pusing banget ini. Apalagi udah beli sayuran, mau tak mau besok harus mulai jualan. Dan nanti sore sampai malem gue harus menyebarkan kartu nama ini." kata Riski penuh semangat.