Pesta pun di gelar setelah gue sukses dan berhasil dalam pagelaran fashion show kali ini. Gue memeluk erat Lidya karena kalau bukan dia.entah apa yang terjadi. Pesta di gelar disalah satu klub terkenal di New York yang di pesan khusus oleh Amelia.
"Amelia !" teriak gue.
"Mariana !" balasnya, kami berpelukan erat.
"Terima kasih banyak Amel! atas semuanya !" ucap gue kepada sahabat yang sangat dekat dan gue sayangi.
"Itu juga berkat usaha kamu sayang! tadi gue lihat lo di wawancarai ya ?" tanyanya gue mengangguk ada beberapa majalah fashion ternama yang mewawancarai gue, tadi ada juga sekedar saja, ada juga ingin membuat artikel tentang gue. Dan gue senang sekali.
"Waduh Amel, gue sampai stress tadi! tapi syukurlah semua berjalan lancar !" ujar gue, Amelia hanya tertawa saja.
"Ya udah, ayo gue perkenalkan kesemuanya !" ajak Amelia.
"Waduh Mel gue berantakan gini !" ucap gue, tidak pede.
"Udah deh lo tetep cantik kok !" jawab Amelia dan menarik tangan gue.
Akhirnya gue diperkenalkan kepada papa tirinya sama nyokapnya, anaknya James yang mirip banget dengan papanya Julian, dan akhirnya dengan seorang lelaki tampan gagah yang gue lihat fotonya di apartemen Amelia, ternyata lebih ganteng aslinya dibanding di foto.
"Sayang, kenalkan ini teman baikku Mariana! Mariana ini suami gue Bagaskoro !" ucap Amelia memperkenalkan diri gue kepada suaminya.
"Hallo, kenalkan aku Mariana !" ujar gue memperkenalkan diri dan mengulurkan tangan.
"Hallo juga, aku Bagaskoro, panggil saja Bagas !" gue tertegun dengan suara beratnya mirip Mario dan juga tangan kerasnya yang hangat. Dia melepaskan jabatannya dan tersenyum. Membuat gue memerah.
"Mel, dia cocok dengan lo ?" bisik gue ke Amelia dia tersenyum dan melirik ke arah lelaki itu dengan tatapan cinta. Ah irinya gue.
"Terima kasih Mariana !" jawabnya dan memeluk gue.
Pesta pun di gelar, gue mengucapkan terima kasih kepada para model yang berhasil memperagakan baju gue di pagelaran tadi. Gue pun melepas semuanya dengan menari dan minum bersama mereka.
Sementara gue tersenyum melihat Amelia sedang berdangsa dengan Bagas, lelaki itu agak sedikit kaku. Lagi-lagi hal itu mengingatkan gue akan bulan madu kedua dan yang pertama ke Bali. Ya waktu itu gue memutuskan untuk bulan madu kembali setelah sekian lama dan aktifitas pekerjaan kita yang super sibuk. Tapi tidak hanya berdua justru bersama Juna dan keluarga besar Mario.
---------------
Waktu itu Juna berumur 2 tahun, dia sangat menggemaskan. Ketika naik pesawat gue baru tahu kalau Mario agak takut naik pesawat padahal dulu pernah walau tidak sebangku, waktu itu gue dikelas bisnis dan dia di ekonomi, jadi tidak tahu. Gue mengenang waktu lalu, gue merasa jahat sekali kepadanya.
"Kamu engga apa-apa ?" mukannya pucat apalagi dia memangku Juna.
"Engga apa-apa, aku cuman takut naik pesawat !" ucapnya pelan, gue tersenyum.
"Ya udah pegang tangan aku ya !" kata gue, karena Juna tidak mau lepas dari Mario. Dia mengangguk, Semua keluarganya begitu tapi tak separah Mario. Kini Mario dan keluarga berada di kelas bisnis yang nyaman.
Kita pun sampai di Bali, Mario terkejut karena ini hotel yang sama dengan yang waktu itu, bukan mengungkit masa lalu, tapi gue ingin memperbaiki yang semestinya seharusnya dulu gue lakukan bukan bersama lelaki lain ketika berbulan madu padahal sudah resmi menjadi suami istri. Gue ungkapkan itu kepada Mario sekaligus meminta maaf, dia menerimanya dan itu membuat gue begitu mencintainya. Kita menginap di sebuah resort bersebelahan antara kamar kami dan keluarga Mario.
Suatu hari, kami menitipkan Juna untuk sebentar agar kami berdua bisa bersama, ibu Maemunah tidak keberatan dengan itu.
"Kita kemana ?" tanya Mario, gue tersenyum.
"Lo kan menyuruh mata-mata untuk mengikuti gue ke sebuah klub ? nah kta akan kesana !" Ajak gue ke Mario, dia tertegun dan tertawa, gue hanya bisa mencubitnya dengan gemas.
Mario terkejut, dengan mata melotot melihat keadaan di dalam Klub malam eksklusif banyak kalangan atas dan memang mahal, tidak sembarangan orang ke sini. Gue memang sering kesini untuk menenangkan diri, memang suatu yang tidak baik.
"Bagaimana ?" tanya gue, sambil memeluk tangannya dengan erat.
"Aku belum pernah datang ketempat seperti ini !" jawabnya, gue tersenyum. Gue memesan minuman tidak beralkohol, hidup gue memang berubah dtrastis setelah mencintai Mario, dia mengajarkan sesuatu yang belum pernah gue lakukan selama ini terutama ibadah. Dan gue merasa tenang dan damai.
"Jangan khawwtir ini tidak ada alkoholnya !" bisik gue, Mario pun meminumnya.
"Enak ? aku sudah berubah, berkat kamu !" gue menatapnya dan mencium pipinya.
"Enak, syukurlah !" jawabnya. Dia membalas ciuman gue dan gue membalas memeluknya.
Gue pun mengajaknya untuk berdangsa, dia sempat menolak tapi gue tetap paksa akhirnya gerakan kakulah yang terjadi dilakukan Mario, gue hanya tertawa dia pun ikutan tertawa. Kita berpelukan dan saling cium.
--------------------
"Mba kok tersenyun sendiri ?" tanya Lidya. Mengejutkan gue.
"Engga gue ... hanya mengenang Mario" jawab gue, terdiam. Lidya memeluk gue.
"Yang sabar ya mba !" ucapnya, gue mengangguk sambil menatap Amelia dan Bagas yang terlihat mesra.
Pesta pun usai, gue kembali ke apartemen untuk beristirahat, gue menelpon Daniel bahwa semua sukses, gue akan pulang tiga hari lagi. Karena banyak pekerjaan di Indonesia, esok harinya gue dan Lidya ke Laundry pakaian untuk pemotretan dengan salah satu majalah Fashion terkenal di sini.
Keesokan harinya, gue, Lidya dan para model datang ke gedung kantor redaksi The Star tempat majalah 'F' fashion. Gue tertegun karena di sambut oleh Bagaskoro.
"Selamat datang di kantor The Star Media !" sapanya ke gue.
"Anda bekerja disini ?" tanya gue heran.
"Bukan, aku pemlik dari The Star Media !" jawabnya dan menjelaskan semuanya, gue tertegun, dia mirip Mario dulu ketika dipindah dari bagian adminitrasi ke bagian kontruksi di perusahaan papa dan memperlihatkan kemampuannya, gue pernah bertanya kok bisa ? Mario mengatakan dia seorang cenayang, paranormal dan sebagainya tetapi tidak bisa melihat hantu ataupun melihat masa depan atau masa lalu. Tapi dia bisa merubah yang hancur menjadi baik. Awalnya ragu tapi kemudian gue percaya.
"Ada apa ?" tanyanya ketika gue tanpa sadar menatapnya lekat.
"Maafkan aku, anda mirip almarhum suamiku Mario !" jawab gue.
"Oh, aku turut berduka cita !" ucapnya menyesal. Gue mengatakan tidak apa-apa dan meminta maaf.
Pemotretan pun tiba, gue di bantu Lidya memakaikan baju ke para model, sementara Bagas pamitan pergi untuk urusan yang lain, gue berterima kasih atas semuanya.
"Kok mirip pak Mario ya ?" ujar Lidya setelah dia pergi.
"Apa maksudmu Lidya ?" gue menatap dia heran.
"Entah tapi gerak geriknya !" jawab Lidya, dia mengenal Mario, kadang gue selalu meminta pendapat tentang bisnis gue dan rancanganya, selain itu dia sering datang dan bertemu Lidya dan langsung dekat. Gue terdiam.
"Lidya. cuman mirip ! lagi pula dia milik Amelia !" ujar gue.
"Maaf mba, hanya ketika melihatnya yang dalam ingatan saya, dia pak Mario !" jawabnya, gue meminta dia fokus.
Selain pemotretan ada juga wawancara mengenai profil gue, setelah selesai gue balik ke apartemen, Amelia menelpon dia mengundang gue untuk makan malam bersama, gue setuju dan akan datang, tanpa sadar gue menatap foto besar antara Amelia dan Bagas, Amelia tampak cantik dengan gaun putih dengan belahan dada terlihat seksi, sedang Bagas memeluk pinggang dengan mengunakan jas hitam dan kemeja tanpa dasi, kancingnya dibiarkan terbuka. Gue tertegun melihat sesuatu di dada Bagas ... ah tidak mungkin, dia bukan Mario ... tapi ...
Bersambung ....