webnovel

Curahan hati

Rere melepas pelukannya dari Syafa, ia memegang pundak sahabatnya itu dengan uraian air mata. Rere ingin berbicara, tapi setiap kali melihat wajah Syafa rasanya mulutnya tidak mampu mengeluarkan kata-kata.

Ruangan siang itu bernuansa kesedihan. Syafa ikut menangis karena Rere tak kunjung menceritakan apa yang membuatnya sampai menangis sesegukan seperti itu. Syafa hanya takut kalau sikap atau omongannya ada yang melukai hati Rere.

"Kalau aku ada salah bilang, Re. Jangan nangis kayak gini, aku ikut nangis juga loh."

Rere menhirup nafas sedalam-dalamnya kemudian menghembuskannya perlahan. Ia juga membenarkan posisi duduknya dan menatap Syafa dengan tatapan paling dalam.

"Semua tentang Aldebaran yang kamu ceritakan kepada aku selama satu tahun ini, semuanya bohong kan? Aldebaran bukan suami yang perhatian, dia juga tidak memperlakukan mu seperti seorang istri, dia punya sifat dingin, bahkan lebih parahnya dia menghianati ketulusan kamu, di saat kamu lagi hamil! Suami macam apa itu, Fa dan kamu terus-menerus sabar dan membela suami tidak tahu diri itu!" Rere mengeluarkan semua unek-unek yang sudah ia simpan beberapa hari ini.

Syafa kaget bukan kepalang dan masih berusaha membantah, bahkan ia menertawai sahabatnya itu. "Kamu lagi sakit, Re? Siapa sih yang kasih sahabat aku ini berita hoax?" tanya Syafa sembari merayu.

Lagi-lagi Rere tidak habis pikir dengan isi hati dan pikiran sahabatnya itu. Ada seorang wanita sekaligus istri di dunia ini yang begitu tulus kepada seorang laki-laki yang justru sudah membuat luka yang paling menyakitkan.

"Aku udah lihat semuanya, semua curahan hati yang kamu tulis di buku diary kamu itu cukup menjadi bukti kalau kamu memang sedang tidak baik-baik saja. Aku enggak mau kamu tutupi ini lagi dari aku, Fa. Aku sahabat kamu yang bisa kamu jadikan tempat untuk berteduh, berbagi derita, berbagi kebahagiaan dan apapun itu."

Syafa langsung memeluk Rere dengan erat dan menangis sejadi-jadinya. Air mata yang selama ini ia tahan, akhirnya tumpah begitu deras. Rere menepuk pelan punggung Syafa sembari menenangkannya. Sekarang, Syafa hanya butuh semangat dan kehadiran setidakanya satu orang untuknya bebagi cerita dan orang itu sudah ketemu.

"Maaf Re, aku hanya enggak mau kalau orang terdekat aku ikut memikul beban ini. Aku mampu menanggungnya sendiri, Re. Aku mohon jangan kasih tahu siapapun tentang masalah ini. Janji ya, Re."

Tidak banyak yang bisa Rere lakukan, mungkin salah satunya menutup semua penderitaan Syafa kepada orang lain termasuk kedua orang tua Syafa. Sebagai sahabat, Rere akan selalu disamping Syafa, kapanpun dan dimanapun, bahkan setelah tiada Rere akan selalu ada didekat Syafa.

"Makasih ya, Re. Aku enggak tahu harus mau bilang apa lagi selain terima kasih. Selama ini kamu selalu ada didekat aku. Semoga Allah menyatukan kita disurga kelak."

"Aaamin Ya Allah." Sebuah senyuman manis terbit diwajah keduanya usai tangisan yang begitu hebat.

Rere memegang perut Syafa lembut dan mengajak calon buah hati sahabatnya berbicara. "Sayang, sehat-sehat ya di dalam perutnya bunda. Kamu anak hebat dan juga punya bunda yang hebat. Onty janji akan selalu ada buat kamu dan bunda kamu."

Tak terasa air mata Syafa kembali menetes. Memang benar, punya sahabat yang saling menyayangi karena Allah, nuansanya sangat berbeda. Pembicaraannya selalu berujung dengan kasih sayang dan sangat menenangkan.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu aula pertemuan itu mengagetkan Syafa dan Rere yang sedang asyik menikmati kebahagian campur haru itu. Keduanya segera menghapus air mata dan pura-pura semuanya baik-baik saja.

Betapa terkejutnya Rere saat melihat Aldebaran sudah ada di depan pintu aula pertemuan itu. "P-Pak, Al. Ada apa kesini, Pak?" tanya Rere takut-takut.

"Mau jemput istri saya. Syafanya ada kan?"

Rere mengangguk pelan dengan ekspresi menegangkan. Syafa yang melihat Rere kebingungan sendiri. "Kenapa, Re?"

Masuknya Aldebaran ke dalam ruangan itu membuat Syafa kaget bukan kepalang. Pasalnya, Syafa tidak ada memberitahu Al kalau dia menemui Rere. Syafa juga lupa sebelum berangkat tadi mengirim pesan, padahal biasanya Syafa tidak pernah absen untuk memberitahu suaminya itu.

"Kok Mas Al bisa tahu kalau aku disini?"

"Enggak penting aku tahu dari mana. Kenapa kamu enggak bilang mau ketemu Rere dan telepon aku juga enggak diangkat?" tanya Al dengan wajah yang serius.

Dengan cepat Syafa mengecek ponselnya dan benar saja sudah ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Aldebaran dan anehnya lagi Syafa tidak tahu kalau ponselnya dalam mode hening, apalagi tadi sibuk menangis dengan Rere. Jadi, tidak punya waktu untuk melihat ponsel.

"Maaf Mas, aku lupa ngabarin tadi."

"Sebentar lagi jam istirahat, aku mau ajak kamu makan siang. Mau nggak?" tanya Aldebaran.

Selama menikah, baru kali ini Aldebaran mengajak Syafa makan siang. Namun, Syafa bingung harus mengiyakannya atau tidak, pasalnya ia sekarang sedang membantu Rere untuk menyelesaikan pekerjaannya .

"Kalau enggak mau ya udah. Lain kali kabari kalau mau kemana dan kalau suaminya nelpon diangkat, jangan pura-pura enggak tahu," tutur Al dengan wajah dinginnya.

Bukannya Syafa yang merasa bahagia, tapi Rere merasa kesemsem melihat sikap Aldebaran yang begitu romantis meski sifat dinginnya masih melekat. Rere memberi kode kepada Syafa untuk menerima ajakan itu. Sebenanya juga, Rere tidak melakukan input data apapun, itu cuma rencana Rere agar bisa mencurahkan semua isi hatinya yang sudah tidak bisa ia tahan lagi.

"Syafa mau kok, Pak. Rere udah selesai sama Syafanya." Rere menarik tangan Syafa dan mendorongnya pelan ke arah Al. "Sekarang giliran kalian berdua."

****

Di sepanjang perjalanan menuju tempat makan, keduanya tidak membuka percakapan apapun. Jangan harap kalau Al mau memulai duluan. Kalau memang iya berarti ada yang aneh dengan laki-laki dingin itu.

Sesekali Syafa menoleh ke arah Al yang sedang fiokus menyetir. Ia masih penasaran bagaimana suaminya itu tahu keberadaanya, bahkan tepat dimana ia berada.

"Kenapa?" tanya Al yang muali menyadari sikap Syafa.

Syafa menggelengkan kepalanya cepat. "Mbak Mona enggak diajak?" tanya Syafa.

Al diam sejenak, ia masih memikirkan jawaban yang pas untuk menjawab pertanyaan istrinya itu. Syafa juga tidak boleh tahu semuanya sebelum benar-benar waktunya. Al harus memainkan perannya dengan baik tanpa menimbulkan kecurigaan Syafa maupun keluarganya.

"Bagian Mona besok. Aku minta sama kamu, jangan bahas Mona. Kalian udah aku bagi waktunya masing-masing,' ujar Aldebaran.

Tidak ada yang bisa Syafa bantah dari omongan suaminya itu. Sebagai seorang istri dia harus menurut.

Aldebaran memarkirkan mobilnya di tempat parkir dan tidak lupa membukakan pintu mobil untuk Syafa. Entah setan apa yang merasuki Aldebaran saat itu, yang Syafa pikirkan adalah Aldebaran ingin menepati janjinya sebelum menikahi Mona, yaitu memperlakukan istrinya dengan adil. Mungkin itu alasannya.

Sejak masuknya mereka ke restoran itu, para pengunjung memusatkan pandangan mereka ke arah Aldebaran dan Syafa. Tidak sedikit pula memuji mereka dengan pasangan yang serasi, meski ada beberapa yang mengoceh tidak jelas tentang Aldebaran yang punya istri tidak berkelas.

Al tahu dengan ucapan-ucapan itu, makanya ia membawa Syafa ke tempat VIP agar tidak diganggu oleh orang lain. Biar mereka juga makan dengan tenang.

"Syafa enggak masalah kok, Mas."

"Aku yang males denger omongan tidak berpendidikan itu! Aku ngajak kamu ke sini biar bisa ngilangin mumet kepala aku."

Ada secercah senyuman tipis terbit diwajah Syafa. "Berarti Syafa bisa bikin Mas Al tenang? Apa Mas Al sekarang sudah bisa mencintai Syafa?"