webnovel

Rumah Papa dan Keluarga Tiri

Hari ini adalah hari pertama ku di Jakarta bersama papa. Setelah dari Bandara Soekarno-Hatta kami menaiki taksi untuk menuju rumah. Kami berangkat setelah melaksanakan acara tahlilan tiga hari kematian Mama di Kalsel. Kata Papa, tahlilan tujuh hari nya akan di selenggarakan di rumah Papa yang ada disini.

Aku memang anak nya cenderung bobrok, tetapi aku bersyukur karena memiliki teman-teman yang suka mengajakku pada kebaikan. Bersama mereka aku sering diajak pergi kajian bersama. Rasanya lebih semangat ketika pergi kajian bersama teman-teman. Diantara mereka semua mungkin aku lah yang paling jauh dari kata sholehah, tetapi aku masih berusaha untuk itu.

Acil Yati pun hari ini juga sudah bertolak ke Arab Saudi untuk kembali pada pekerjaan nya. Aku bersyukur saat Mama pergi untuk selama nya, Acil Yati tengah datang kerumah ku hingga aku tidak benar-benar sendiri sampai Papa menjemputku. Mungkin akan lebih sulit bagiku jika aku hanya sendirian. Sampai sekarang pun aku masih tidak menyangka akan kematian Mama yang begitu mendadak. Hati ku masih saja bergerimis hingga sekarang. Di depan orang-orang aku akan berusaha untuk terlihat tegar meskipun sebenarnya aku begitu rapuh.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku selalu menatap keluar jendela, menatap gedung-gedung yang tinggi menjulang. Ini menjadi kali pertama ku melihat pemandangan seperti ini secara langsung. Aku tidak pernah menduga akan merasakan bagaimana padat nya kota Jakarta.

"Gimana Sha? Seneng gak ikut Papa ke Jakarta?" tanya Papa.

Aku menoleh menatap Papa dengan senyum ku. "Iya, Pah," jawab ku.

Papa pun ikut tersenyum. "Kalau diperhatikan, wajah kamu mirip dengan Papa ya. Akhirnya Papa bisa melihat senyum salah satu anak Papa yang cantik ini secara langsung. Telah lama Papa merindukan kamu, betapa Papa ingin melihat kamu tumbuh menjadi sosok anak yang kuat. Mama mu memang orang yang baik, Papa dapat melihat sosok nya melalui diri mu."

Aku terharu mendengarnya. "Pa, sebenarnya dari tadi Nasha kepikiran sesuatu."

Sejujurnya aku ingin menggunakan kata 'ulun' ketika menyebut diriku ke Papa, tetapi rasanya aneh saja karena yang pasti Papa tidak akan terbiasa. Kalau di Kalsel, menggunakan kata 'aku' kepada orang yang lebih tua, dinilai kurang sopan. Begitu juga yang kini ku rasakan. Ini hanya tentang kebiasaan. Aku pun tau, bagi orang-orang disini, menggunakan kata 'aku' kepada yang lebih tua, itu sah-sah saja. Sekali lagi, ini hanya tentang kebiasaan. Alhasil aku lebih memilih menyebutkan nama ku sendiri ketika berbicara dengan Papa, meskipun menurutku kesan nya terdengar manja.

"Kepikiran apa, Sha?"

"Risha pernah denger, kematian mendadak itu adalah tanda kemurkaan Allah. Kemarin mama meninggal nya mendadak, gak ada sakit sebelum nya Pa, Risha takut ...." Aku merasa kesulitan melanjutkan kalimatku. Setiap mengingat Mama, aku selalu saja ingin menangis.

"Sha," panggil Papa memotong ucapan ku.

Aku menatap Papa, mendengarkan nya yang ingin berbicara.

"Dengarkan Papa." Papa menjeda ucapan nya sejenak. "Dari 'Aisyah bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda⁣, 'Kematian mendadak adalah istirahat bagi mukmin dan penyesalan bagi orang kafir'."

Aku menyimak penjelasan Papa. "Itu arti inya, gak semua kematian mendadak itu adalah murka dari Allah, Pah?"

"Iya. Oleh karena itu, yang terbaik adalah bagaimana kita mempersiapkan bekal yang akan dibawa untuk kehidupan setelah kematian. Karena yang nama nya umur kita gak akan pernah tau. Mau itu tua, muda, semua nya pasti akan mati, tinggal menunggu waktu."

Aku mengangguk mengerti dengan penjelasan Papa. Ternyata Papa adalah orang yang paham agama, aku bisa bertanya banyak hal nanti nya dengan Papa.

"Dirumah nanti kamu bakal Papa kenalin sama Mama Nida, dan dua kakak mu, Daniel dan Raya."

"Mama dan saudara tiri, Pah?" tanya ku sedikit terbelalak.

"Iya," jawab Papa seraya mengangguk.

Tak terasa jalan taksi pun berhenti tepat didepan sebuah rumah yang bisa dibilang besar dengan pagar nya yang tinggi. Aku dan Papa turun dari taksi seusai membayarnya.

"Ini rumah Papah?" tanya ku sembari menyapu pandangan ke sekitar.

Papa mengangguk dan tersenyum pada ku. "Ayo masuk," ajak Papa.

Kami berdua menyusuri pekarangan rumah yang terdapat banyak tanaman hias cantik itu menuju pintu depan. Beberapa kali aku menyentuh bunga-bunga yang ada disana, semua nya nampak sangat terawat, aku paling suka dengan bunga mawar dan bunga kertas.

Papa mengetuk pintu beberapa kali saat kami sudah berada tepat didepan nya. Tak lama keluar lah sosok wanita paruh baya dengan balutan hijab navy nya.

"Alhamdulillah ... akhirnya Papah pulang," sambut wanita itu dengan ramah kemudian bersaliman mencium punggung tangan Papa.

Wanita itu menoleh pada ku dengan tatapan heran. "Ini siapa, Pah?" tanya nya pada Papa.

Dia tersenyum ramah kepada ku. Seperti nya dia adalah ibu tiri ku. Aku pun membalas senyuman nya dengan senyuman ku yang agak canggung.

"Nanti Papa jelasin di dalam, kita masuk dulu ya," ajak Papa.

"Iya, Pa." Wanita itu kembali menatapku dan mengangguk sekilas mengisyaratkan agar aku mengikuti nya masuk ke dalam.

Saat melangkah masuk, aku speechless. Rumah Papa begitu mewah menurut ku. Sofa empuk yang tertata rapi. Disudut ruangan terdapat akuarium berukuran cukup besar dengan banyak ikan-ikan kecil berwarna-warni. Guci-guci dari yang besar sampai yang kecil ikut mempercantik ruangan karena penataan nya yang tepat. Seketika aku menjadi teringat adegan di sinetron yang biasanya kalau orang kampung di ajak tinggal dirumah mewah, mereka akan memecahkan guci lalu dimintai ganti rugi dengan harga yang mahal. Mendadak aku jadi takut berada dekat deretan guci yang berjejer diatas lemari pernak-pernik unik itu.

Aku duduk disamping Papa. Wanita ramah itu juga ikut duduk bersama kami di ruang tamu itu.

"Mah, panggilin Daniel sama Raya, mereka ada 'kan?"

"Raya tadi pergi bareng temen nya. Daniel ada kok Pah dikamar nya, biar Mama panggilin."

Wanita itu beranjak dari tempat nya. Tak lama kemudian dia kembali lagi bersama seorang pria muda yang mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dari ku. Kedua orang itu pun duduk di salah satu sofa.

"Sha, kenalin, ini Mama Nida." Papa menunjuk wanita paruh baya tadi. "Dan ini Daniel, Kakak kamu."

Kedua orang itu memasang ekspresi heran menatap ku.

"Mah, Niel. Kenalin juga, dia Risha. Anak Papah."

Sontak kedua orang itu menganga.

"Anak Papah?" tanya wanita yang Papa kenalkan kepada ku sebagai Mama tiri ku itu. Nada suara nya langsung meninggi.

"Iya, Mah," jawab Papa.

"Anak Papah gimana? Anak kita kan cuma ada dua? Apa dia anak selingkuhan Papa sama wanita yang dulu itu?" nampak sorot amarah dari wanita itu saat mengajukan pertanyaan beruntun nya itu.

"Mah tenang dulu. Biar Papa jelaskan."

"Tenang gimana Pah? Papa kemarin pergi gak bilang-bilang, dan sekarang Papa pulang bawa anak haram ini? Anak hasil perselingkuhan Papa. Maksud Papa apa?" wanita itu menatapku begitu menghujam hingga aku hanya bisa menunduk dengan bendungan air mata yang sudah hampir pecah.

***

Bersambung.