Tiba-tiba Azka menepi dan menghentikan mobilnya persis di depan sebuah coffe shop. Seketika pula Sabrina terheran.
"Kenapa berhenti di sini, Tuan?" Sabrina tercengang.
"Turun! Ada yang harus saya bicarakan!" Azka melepaskan safety belt dan bergegas turun dari mobil.
Sikap Azka semakin membuat hati Sabrina bertambah gelisah. Ia turun dari mobil mewah berwarna hitam milik Azka kemudian berjalan dengan perlahan mengikuti langkah tuan mudanya masuk ke dalam coffe shop. Mereka berdua duduk di sofa putih di dalam coffe shop dan mulai memesan makan serta minum.
'Oh sepertinya Tuan Azka mau sarapan dulu.' Batin Sabrina yang mulai menerka-nerka dan mulai menetralkan perasaannya.
"Makan dulu cepat," titah Azka pada Sabrina dengan ketus seketika setelah makanan di sajikan oleh pelayan.
Sabrina menganggukan kepalanya dan mulai mengambil makanan di hadapannya, meskipun dia sedikit aneh dengan tingkah Azka.
Seusai makan Azka menyuruh Sabrina segera minum obat sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Tanpa bisa menolak Sabrina meminum obat yang sudah di sodorkan oleh Azka.
"Oh iya, Tuan. Apa yang hendak tuan bicarakan?" Sabrina yang tertunduk hormat tak berani menatap Azka yang begitu sinis.
"Kamu masih belum memberikan jawaban atas pertanyaan saya kemarin malam," ketus Azka.
Mendengar penuturan Azka, Sabrina tersentak dan mulai kembali gelisah. Awalnya ia pikir, Azka tak mengingat persoalan kemarin. Namun nyatanya ia tetap menagih jawabannya.
"Jawab! Apa tujuan kamu masuk ke rumah saya?" Sambung Azka dengan menaikkan nada bicaranya.
"Saya murni hanya untuk menyambung hidup, Tuan. Tidak ada tujuan lain, selain mencari sesuap nasi," lirih Sabrina pada Azka yang seketika melayangkan tatapan nanar padanya.
"Tapi saya lihat, kamu separti orang berpendidikan. Bagaimana dengan mobil mewah kamu dulu? Jangan bilang jika kamu pernah jadi driver!" Petanyaan Azka bagaikan belati yang menusuk ke dalam paru-paru Sabrina.
Seketika Sabrina menjadi sesak nafas. Dan bingung harus berkata apa.
"Haruskah saya ceritakan kisah masa lalu saya pada tuan?" jawab Sabrina dengan nada datar.
"Iya! Karena ini menyangkut keselamatan keluarga saya!" tegas Azka penuh selidik.
"Ya ampun, Tuan. Saya tidak ada niat apa-apa. Kedatangan saya ke rumah tuan murni sekedar mencari kerja demi kelangsungan hidup saya," lirih Sabrina seraya memegang dadanya yang mulai terasa sesak.
"Saya tidak minta lebih, hanya kejujuran itu aja kok apa susahnya sih!" Tatapan Azka penuh selidik membuat Sabrina tidak bisa menghindar.
Akhirnya Sabrina pasrah, terpaksa menceritakan kisah kelamnya yang sangat menyakitkan, meskipun sebenarnya ia enggan menggali memori pahit yang telah ia kubur dalam-dalam.
"Memang benar mobil merah yang dulu sempat Tuan lihat, itu adalah mobil saya. Dan sebelumnya saya pernah bekerja di salah satu kantor ternama di Jakarta Pusat, sebelum akhirnya saya terperosok ke dalam lubang lara yang sangat dalam," lirih Sabrina, seketika terlihat bulir bening yang telah membendung di bola matanya akan tetapi ia bendung agar tidak luruh.
"Terus kenapa sekarang malah jadi asisten rumah tangga?" tanya Azka yang semakin penasaran.
"Mobil saya di duga sebagai pelaku tabrak lari, padahal saya sama sekali tidak melakukannya bahkan tidak tahu apa-apa," sambung Sabrina terbata-bata seketika air matanya luruh tak bisa di bendung lagi.
"Terus!" Azka semakin penasaran mendengar cerita Sabrina.
"Saya terbukti bersalah dan di vonis 5 tahun penjara, beruntungnya saya dapat terbebas dengan hanya 3 tahun masa tahanan," sambung Sabrina.
"Kenapa kamu tidak berusaha membuktikan kalo memang tidak bersalah? Kenapa hanya diam dan pasrah?" Selidik Azka.
"Karena saya tidak mampu mengumpulkan bukti-buktinya, bahkan saya juga tidak tahu siapa yang melekukannya. Yang saya tahu pada saat kejadian mobil saya di pakai teman kantor saya, kemudian dia terbang ke luar negri dan tidak ada kabarnya sampai sekarang," ungkap Sabrina dengan sedikit menaikan nada suaranya.
Azka sejenak termenung, entah apa yang ada di pikirannya. Sabrina hanya berharap Azka tidak berpikir negatif tentangnya.
"Apa ada alasan yang bisa membuat saya percaya sama ucapan kamu?" ujar Azka yang tak menghiraukan kesedihan Sabrina.
"Saya belum yakin kalau kamu bukan orang jahat," sambung Azka yang seketika membuat hati Sabrina semakin tercabik-cabik.
"Saya tidak punya alasan apapun, Tuan. Saya hanya tidak mau pulang ke rumah orang tua saya. Dan ingin memulai hidup baru walaupun hanya sebagai asisten rumah tangga," lirih Sabrina mencoba parsah.
"Jika orang tua saya tahu tentang semua ini, mereka tak akan tunggu lama untuk mengusir kalian dari rumah!" ancam Azka seraya melirik sinis pada Sabrina.
Sabrina mulai mengusap air matanya dengan kasar dan mencoba pasrah. Mungkin ia harus mulai mengubur keinginannya untuk merubah masa kelamnya.
"Namun, bisa saya pastikan tidak akan ada yang tahu tentang semua ini, dengan satu syarat!" Sambung Azka mulai memanfaatkan kesempatan.
"Syarat! Apa itu?" Mendengar ucapan Azka seketika pula Sabrina terperangah dan sedikit mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk lesu.
"Kamu harus menjadi pacar saya dan menemani saya dalam satu malam! Setelah itu, selesai!" Azka menatap sinis Sabrina tanpa sedikitpun iba terhadapnya.
Entah apa yang ada di pikiran Azka sampai tega mengajukan syarat yang membuat Sabrina terperangah dan terpojok.
Apa yang akan di lakukan Azka dalam waktu satu malam itu. Apa yang sebenarnya ia inginkan dari Sabrina. Pikiran Sabrina semakin berkecamuk dan tidak karuan.
Sementara di satu sisi ada Nazwa yang sedang manggantungkan hidupnya dengan pekerjaan ini.
"Apa yang akan tuan lakukan?" tanya Sabrina penuh selidik, dengan wajah yang mulai pucat ia tidak mampu menyembunyikan kekhawatirannya.
"Jawab saja setuju apa tidak!" tanya Azka penuh ketegasan.
Dengan semua kisah pilu yang telah Sabrina lewati, rasanya ia tak mungkin begitu saja menyerah hanya pada pilihan yang akan membuatnya kembali terperosok ke dalam lubang lara.
"Maaf, Tuan. Saya tidak akan semudah itu menggadaikan harga diri saya," tutur Sabrina yang tetap dengan bahasa yang lembut dan penuh hormat.
Mendengar penuturan Sabrina seketika Azka tertawa seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa, Tuan? Apa ada yang lucu dengan jawaban saya?" Sabrina sudah tak bisa tersenyum lagi untuk saat ini.
"Jadi artinya kamu tidak setuju? Dan sudah siap keluar dari rumah saya?" Azka menyodorkan senyuman sinis.
"Saya hanya tidak ingin menggadaikn harga diri saya, Tuan. Tolong maafkan saya," lirih Sabrina dengan air mata yang mulai kembali luruh di pipi beningnya.
"Saya tidak minta harga diri kamu, Sabrina! Saya hanya minta temani saya dan jadi milik saya dalam satu malam!" ujar Azka memperjelas.
"Artinya, Tuan. Akan menyentuh tubuh saya kan?" lirih Sabrina semakin tak bisa membendung air matanya. "Tolong, Tuan. Kasih saya pilihan yang lain, jangan seperti itu. Saya mohon," sambung Sabrina dengan menundukan kepalanya mencoba mengais belas kasihan dari Azka.