"Gue cinta sama Amanda dengan tulus. Bagi gue dia bukan pembawa sial, tapi dia membuat gue bahagia. Gue nggak bakalan tinggalin dia karena gue nggak bisa jauh dari Amanda, ngerti lo?" Tegas Roy.
"Satu hal lagi, gue rasa lo iri dengan Amanda, dia dikelilingi orang-orang yang sayang sama dia dengan tulus, termasuk kedua orang tua lo, makanyablo fitnah dia dan meracui semua orang agar mereka benci sama Amanda, kan?" Lanjutnya.
"Tahu apa lo tentang kehidupan gue, hah?!" Bentak Tika tak terima.
"Orang bodoh pun tahu kalau lo iri sama Amanda!!" Ejek Roy.
Kali ini Tika benar-benar disekmat dan tak berani membalas ucapan Roy. "Gue pikir, nggak ada lagi yang mau sama lo, anak pembawa sial!!" Sindir Tika.
"Jaga ucapan lo, tik. Lo yang pembawa sial, semuanya kacau karena lo! Kenapa saat itu lo tega fitnah gue di depan Mama sama Papa? Jelas-jelas gue bantu lo menuju mobil, tapi lo dengan sengaja melepaskan tangan gue seakan gue mendorong lo ke tengah jalan dan akhirnya lo tertabrak."
Satu tamparan mendarat mulus di pipi Tika. Yah, Amanda bisa menamparnya sangat keras. "Lo? Berani banget lo tampr gue?" Tika hendak menjambak lagi rambut Amanda, namun Roy menghentikannya.
"Jangan pernah lo sentuh Amanda!!" Bentak Roy.
"Minggir nggak ada satu orang pun yang boleh memihak sama dia. Dia nggak boleh bahagia asal lo tahu, dia nggak boleh punya teman, gue pengin dia merasakan sendirian di bumi ini." Tunjuk Tika mengeluarkan amarahnya.
"Lo itu nggak lebih dari anak pembawa sial, tahu nggak?!" Makanya Rendy tinggalin lo dan memilih gue, sahabat lo nggak percaya lagi karena lo menggoda pacarnya. Mama sangat benci sama lo karena lo itu beban, tapi gue bahagia semua orang berpaling dari lo."
"Dasar cewek nggak punya hati. Apa salah gue sama lo, hah?!"
Seketika Tika menghentikan tawanya dan menatap Amanda dari jauh karena ada Roy yang jadi perantara.
"Lo mau tahu apa salah lo, hah? Semuanya berawal dari kakek dan nenenk!!! Mereka selau_"
"Mohon maaf bagi pengunjung jangan membuat keributa. Ini rumah sakit, kalian jangan membuat pasien lain terganggu. Kami pihak rumah sakit meminta anda segera keluar, jam besuk sudah habis!" Kata seorang suster menegur Tika.
Ucapan tika terhenti ketika suster masuk dan menghentikan keributan ini, Roy sengaja memencet tombol panggilan agar Tika segera diusir. Kalau tidak, bakalan terjadi perang antara mereka berdua.
"Sialan Awas lo!"
Tika keluar dan membanting pintu sangat keras. Roy menghela nanas lega lalu melirik Amanda ternyata cewek itu menangis.
"Kenapa lo lakuin iti,?"
"Lakuin apa?" Roy yang duduk di sofa menoleh.
"Kenapa lo bohong sama tika kalau kita pacatan?"
"Eh... Emm.. nggak apa-apa, gue refleks," jawab Roy menggaruk tengkuknya.
Hati Amanda meras tak puas dengan jawaban Roy. Memangnya jawaban apa yang dia nantikan? Apakah dia bebarap lebih.
Sorry, da, gue belum bisa jujur ke elo. Sebenarnya gue tulus sama ucapan gue tadi, bayin Roy menatap amanda.
Suara bunyi ponsel membuat Amanda menoleh, dia menatap layar ponselnya, ternyata dari kak Raka.
Kak Raka :
Dek, maafin Kakak, Kakak sama Papa nggak bisa jagain kamu di rumah sakit. Kami berdua harus pergi mengunjung Kakek dan Nenek.
Mengurus dokumen di sana. Kamu nggak apa-apa kan?
Amanda menghela napas lalu membalas pesan itu.
Me:
Iya, nggak apa-apa, Kak. Amanda bisa sendiri, kok.
Kak Raka:
Nggak! Kamu nggak boleh sendiri.
Nanti Kakak suruh Tika sama Mama temani kamu.
Me:
Please, Kak, aku nggak mau lihat mereka dulu, yang ada nanti kami berdebat. Kakak tahu sendiri, kan, mereka ngimana?
Mama nggak mau anggap aku anaknya.
Di sisi lain Raka merasa sedih karena keluarganya tak seindah dulu. Kebenaran membuatnya merasa hancur. Yah, Dodi dan Nining telah menjelaskan rahasia terbesar keluarga mereka. Namun Rak tidak tega mengatakan hal itu, bagaimanapun dia sangat sayang terhadap Amanda melebihi sayangnya ke Tika.
Kak Raka:
Ya udah, nanti Kakak akan mnghubungi seseorang menemani kamu.
Amanda menautkan alisnya bingung, siap yang akan menemaninya? Dia tidak punya keluarga yang bisa menemaninya.
"Da!!!"
"Hah, apa?" Panggilan dari Roy membuatnya menoleh.
"Kakak lo suruh gue temani Lo di sini sampai lo ke luar," kata Roy membuat Amanda terkejut.
"Kenapa dia suruh lo?"
"Nggak tahu."
"Ish! Cepat kasih tahu gue, kayaknya lo nggak pernah ketemu Kakak gue, deh. Tapi, kok, suruh lo?"
Roy hanya tersenyum misterius, biarkan saja Amanda penasaran. Roy juga senang karena amanat ini, sejujurnya dia memang ingin menemani Amanda.
"Gue nggak sendiri, kok, jagain lo. Nanti bakalan_"
"AMANDA!!!!" teriakan itu membuat mata Amanda melotot.
"Nah, tuh mereka datang." Roy bangkit dan tersenyum.
Senyum Amanda melebar melihat siapa yang datang, di sana ada Nabila, Irma, Riko, dan Fadli, teman-teman sekolahnya yang baik.
"Minggir, due duluan, woi!" Kata Riko ingin masuk, tetapi Nabila menghalangi.
""Cowok harus mengalah sama cewek tahu!" Ucap Nabila tak mau kalah.
"Nggak. Gue mau lihat Amanda duluan."
"Gue mau lihat juga kali, dia teman gue."
"Kalau lo teman dia, gue juga teman dia tahu."
Amanda geleng-geleng kepala melihat tingkah Nabila dan Riko, bayangkan mereka berdua debat di depan pintu hanya karena ingin masuk duluan.
"Woi, lo berdua bodoh atau bego, sih? Mau masuk saja direbutin, nggak pikir buat buka pintu ini?" Seru Irma.
Riko dan Nabila melongo melihat Irma dan Fadli dengan mudah masuk hanya membuka pintu yang satunya, benar saja kenapa mereka sangat bodoh tidak membuka pintu yang satunya? Kenap mereka malah berdebat ingin masuk dengan keadaan hanya satu pintu yang terbuka?
Padahala jika kedua pintu itu di buka mereka bisa leluasa masuk tanpa berdebat.
Itulah depinisi bodoh. Akhirnya mereka berdua mengikuti Fadli dan Irma masuk, Amanda dan Toy hanya menatap mereka tertawa.
"Ish! Cowok macam lo, kok, bisa ada di dunia ini, nggak mau mengalah sama cewek," gurutu Nabila yang sudah masuk.
"Ya, bisa, lah, gue lahir berkat kerja sama Mama-Papa gue, hasil goyangan mereka membuat gue ada di dunia ini. Gitu aja ditanyain, dasar bego," ketus Riko. Mata Nabila melotot seketika mendengar ucapan Riko yang sangat vulgar.
"Aw! Kenapa lo tonjok gue?! Sakit tahu!" Nabila meninju pipi Riko hingga cowok itu meringis kesakitan.
"Kalau ngomong bisa difilter dulu, nggak? Dasar omes lo!"
"Lah? Kanlo tanya, yaudah gue jawab memangnya omongan gue salah?"
"Ya, jelas salah,bego!" Kini giliran Roy menyahut.
"Salahnya di mana coba?" Riko masih ngotot.
"Salahnya kenapa nyokap lo lahirin putra yang otaknya nggak sempurna," bisik Roy.